Advertisement

  • Pahlawan Sampah Pahlawan tanpa tanda jasa itu bernama tukang sampah! Barangkali kalimat itulah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi objektif tukang sampah yang telah berjasa merawat lingkungan sekitar kita. Bayangkan, betapa ruwetnya hidup ini jika tak ada satu orang pun yang ikhlas menjadi seperti mereka. Lalat berkerumun di depan rumah, sisa-sisa makanan dan plastik berserakan di mana-mana, bau busuk menyengat hidung membuat perut jadi mual, dan segala bentuk ketidaknyamanan lainnya.

    Ya, tak ada yang berani menjadi pahlawan sampah kecuali mereka yang memiliki jiwa yang kuat dan nurani yang bersih. Jiwa mereka terlanjur kuat untuk mengenyahkan bisikan-bisikan setan yang selalu meledek bahwa menjadi tukang sampah adalah hina, profesi rendahan, manusia kotor, sekotor sampah itu. Nurani mereka terlanjur bersih untuk sekedar mengumpat-umpat dan mendiamkan tumpukan kotoran menjelama kebusukan.

    Tak pernah terlintas di benak mereka, apalagi membayangkan dirinya menjadi tukang sampah, yang berjalan dari rumah ke rumah, dari gang ke gang, hanya demi memunguti barang buangan (sampah) orang lain. Ketika semua orang membenci dan menghindari bau busuk atau lalat yang kadang membawa laknat, pahlawan sampah ini malah dipaksa mengakrabinya dari hari ke hari, dengan resiko yang berat; terkena penyakit tentulah amat tinggi, selain gangguan pernapasan, penyakit kulit bisa jadi menjadi ancaman yang selalu mengintip mereka.

    Parahnya, pahlawan kita ini jarang sekali, bahkan nyaris dikatakan tidak ada yang mengenakan perlengkapan yang seharusnya, seperti masker, kaus tangan, sepatu boot, bahkan jaket panjang. Dan yang tak jarang, pahlawan yang hampir tak pernah dilirik dan dihiraukan orang ini berpenghasilan minim dan perkerjaannya dinilai hina oleh sebagian besar masyarakat! Jangankan untuk berperalatan lengkap denga masker, kaus tangan dan segala tetek bengeknya, berpikir pun barangkali tak pernah! Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah sepotong mimpi, bahwa esok pagi anak dan istri mereka merengek minta sesuap nasi.

    # # # # #


    Pukul 2.00 dini hari. Jalan Jemur Wonosari mulai senyap. Hanya satu dua motor yang kebetulan melintas. Fajar sepertinya belum merekah. Bau busuk tiba-tiba menyengat dari luar warnet SMART, tempat saya bekerja sebagai operator warnet. Rutinitas yang hampir terjadi tipa malam. Bila bau menusuk mulai tercium, berarti sang Pahlawan talah datang, karena setelah mengangkut "barang-barangnya", ia biasanya akan membiarkan tutup tong sampah terbuka. Dan tanpa disuruh, saya pun langsung berjalan ke depan warnet menuju tong sampah, lalu menutupnya kembali.

    Begitulah, hampir tiap malam, di saat kebanyakan orang terlelap dalam tidurnya, Pahlawan kita terus menyusuri lorong demi lorong, dari satu tong sampah ke tong sampah yang lain, dengan gerobak tuanya yang tetap setia menemani. Ia terus berjalan, tanpa menolah ke belakang. Rasanya ia ingin begitu cepat meninggalkan setiap orang yang ditemuinya, tanpa sepatah kata pun. Ia sepertinya memang pahlawan sunyi. Sesunyi ikhlas-baktinya pada masyarakat...

    Setiap kali keluar menutup tong sampah, saya hanya bisa melihat punggunya yang begitu tabah. Dalam pandanganku yang nanar, ia masih terlihat santun tanpa kepongahan setitik pun, dan tentu tanpa dasi selayaknya para pejabat di istana negara, yang kadang justru dijuluki sampah negara! Ya, dia tetaplah lelaki tua dengan kesahajaan yang tak pernah ia paksakan. Dalam hati saya seringkali berucap:"Sungguh, kau dalah guru terbaik kehidupanku, wahai pahlawan tanpa tanda jasa...."

    Sumber : http://www.sejenak-kemudian.co.cc/2010/01/guruku-pahlawan-sampah.html

    more
  • TEORI STUKTURAL FUNGSIONAL EMILE DURKHEIM 1.Pengantar Teori Struktural Fungsional.‎
    Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk ‎dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ‎ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur ‎yang berada di luar diri pengamat.‎

    Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ ‎merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana ‎pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, ‎menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan ‎mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, ‎menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa ‎dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya ‎berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan ‎konsep struktur.‎

    Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, ‎menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan ‎hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan ‎mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat ‎seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.‎

    Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, ‎yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari ‎proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” ‎Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, ‎fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan ‎oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara ‎kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, ‎proyeksi, atau program yang telah ditentukan.‎

    Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa ‎fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai ‎apa yang diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada ‎aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam ‎batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi ‎juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya ‎dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh ‎Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas ‎dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain ‎melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam ‎melaksanakan fungsinya tersebut.

    Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi ‎politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik ‎komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam ‎mempertahankan kelangsungan hidupnya.‎

    Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang ‎dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem ‎sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat ‎yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) ‎dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada ‎susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem ‎politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses ‎politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor ‎termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan ‎yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.‎

    Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. ‎Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam ‎penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam ‎sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan ‎Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain ‎fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi ‎partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai ‎politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi ‎politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik ‎menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.‎

    Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” ‎dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik ‎seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat ‎oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. ‎Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu ‎yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam ‎keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi ‎maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh ‎dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus ‎dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka ‎bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem ‎sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, ‎mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. ‎Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang ‎pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali ‎dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal ‎sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan ‎patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.‎

    Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua ‎orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-‎Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat ‎masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran ‎mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di ‎dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu ‎sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme ‎struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer.

    Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman ‎kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya ‎dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan ‎yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown ‎‎(1976:505). ‎

    Jasa Malinowski terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda ‎dari Brown, mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi ‎menganalisa kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian ‎yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: ‎‎551).‎

    Dalam membahas sejarah fungsionalisme struktural, Alvin Gouldner (1970: ‎‎138-157) mengingatkan pada pembaca-pembacanya akan lingkungan di mana ‎fungsionalisme aliran Parson berkembang. Walaupun kala itu adalah merupakan masa ‎kegoncangan ekonomi di dalam maupun di luar negeri sebagai akibat dari depresi ‎besar. Teori fungsionalisme Parsons mengungkapkan suatu keyakinan akan perubahan ‎dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial ‎yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh ‎keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan ‎setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang ‎kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih ‎lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan ‎oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang ‎dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru ‎Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas ‎personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.‎

    Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak ‎selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar ‎berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur ‎sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. ‎Coser dan Rosenberg (1976: 490) melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural ‎berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. ‎Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep ‎kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada ‎seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan ‎pola-pola yang relatif abadi”.‎

    Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah berkuasa sebagai ‎suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer ‎Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di dalam pidato kepemimpinannya di ‎hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh ‎dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi ‎dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori ‎fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa ‎para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang ‎potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.‎

    ‎2. Pengertian Solidaritas Mekanik Dan Organik‎
    a. Solidaritas Mekanik
    Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang ‎masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya ‎pembagian kerja diantara para anggota kelompok.‎
    b. Solidaritas Organik
    Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah ‎kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh ‎saling ketergantungan antaranggota.‎

    ‎3.Konsep Dasar Tentang Anomy‎
    Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk ‎menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa ‎Yunani a-: “tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan”.‎
    Macam-macam Anomi itu ada 3‎
    ‎1.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Individu
    ‎2.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Masyarakat
    ‎3.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Sastra Dan Film‎

    ‎1. Anomie sebagai kekacauan pada diri individu‎
    Émile Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata ini ‎dalam bukunya yang menguraikan sebab-sebab bunuh diri untuk menggambarkan ‎keadaan atau kekacauan dalam diri individu, yang dicirikan oleh ketidakhadiran atau ‎berkurangnya standar atau nilai-nilai, dan perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan yang ‎menyertainya. Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami ‎perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau ‎semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori ‎dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan ‎sehari-hari.‎

    Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan ‎dasar bagi nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami ‎anomie. Lebih jauh ia berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam ‎kehidupan ekonomi modern sejak Revolusi Industri menyebabkan individu mengejar ‎tujuan-tujuan yang egois ketimbang kebaikan komunitas yang lebih luas.‎

    Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam ‎karyanya. Ia mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial ‎bersama dan cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata ‎lain, individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama ‎dari suatu masyarakat tertentu, namn tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut ‎dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu itu akan ‎memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri.‎

    ‎2. Anomie sebagai kekacauan masyarakat‎
    Kata ini (kadang-kadang juga dieja “anomy”) telah digunakan untuk ‎masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami ‎kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ‎ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-‎aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan ‎bukan kerja sama. Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ‎ini.‎

    Anomie sebagai kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi”. ‎Kata “anarkhi” menunjukkan tidak adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, ‎sementara “anomie” menunjukkan tidak adanya aturan, struktur dan organisasi. ‎Banyak penentang anarkhisme mengklaim bahwa anarkhi dengan sendirinya ‎mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan mengatakan bahwa ‎komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan keteraturan ‎‎(lih. misalnya Law of Eristic Escalation). Kamus Webster 1913, sebuah versi yang ‎lebih tua, melaporkan penggunaan kata “anomie” dalam pengertian “ketidakpedulian ‎atau pelanggaran terhadap hukum”.‎

    ‎3. Anomie dalam sastra dan film‎
    Dalam novel eksistensialis karya Albert Camus Orang Asing, tokoh ‎protagonisnya, Mersault bergumul untuk membangun suatu sistem nilai individual ‎sementara ia menanggapi hilangnya system yang lama. Ia berada dalam keadaan ‎anomie, seperti yang terlihat dalam apatismenya yang tampak dalam kalimat-kalimat ‎pembukaannya: “Aujourd’hui, maman est morte. Ou peut-être hier, je ne sais pas.” ‎‎(“Hari ini ibunda meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tak tahu.”) Camus ‎mengungkapkan konflik Mersault dengan struktur nilai yang diberikan oleh agama ‎tradisional dalam suatu dialog hampir pada bagian penutup bukunya dengan seorang ‎pastur Katolik yang berseru, “Apakah engkau ingin hidupku tidak bermakna?”‎

    Dostoevsky, yang karyanya seringkali dianggap sebagai pendahulu filosofis ‎bagi eksistensialisme, seringkali mengungkapkan keprihatinan yang sama dalam ‎novel-novelnya. Dalam The Brothers Karamazov, tokoh Dimitri Karamazov bertanya ‎kepada sahabatnya yang ateis, Rakitin, “…tanpa Allah dan kehidupan kekal? Jadi ‎segala sesuatunya sah, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai?’” ‎Raskolnikov, anti-hero dari novel Dostoevsky Kejahatan dan Hukuman, ‎mengungkapkan filsafatnya ke dalam tindakan ketika ia membunuh seorang juru ‎gadai tua dan saudara perempuannya, dan belakangan merasionalisasikan tindakannya ‎itu kepada dirinya sendiri dengan kata-kata, “… yang kubunuh bukanlah manusia, ‎melainkan sebuah prinsip!”‎

    Yang lebih belakangan, protagonis dari film Taxi Driver karya Martin ‎Scorsese dan protagonis dari Fight Club, yang aslinya ditulis oleh Chuck Palahniuk ‎dan belakangan dijadikan film, dapat dikatakan mengalami anomie.‎

    more
  • TEORI STUKTURAL FUNGSIONAL EMILE DURKHEIM 1.Pengantar Teori Struktural Fungsional.‎
    Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk ‎dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ‎ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur ‎yang berada di luar diri pengamat.‎

    Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ ‎merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana ‎pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, ‎menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan ‎mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, ‎menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa ‎dan sistem sosial.

    Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya ‎berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan ‎konsep struktur.‎
    Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, ‎menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan ‎hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan ‎mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat ‎seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.‎

    Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, ‎yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari ‎proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” ‎Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, ‎fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan ‎oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara ‎kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, ‎proyeksi, atau program yang telah ditentukan.‎

    Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa ‎fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai ‎apa yang diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada ‎aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam ‎batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi ‎juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya ‎dan meningkatkan nilai tersebut.

    Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh ‎Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas ‎dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain ‎melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam ‎melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi ‎politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik ‎komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam ‎mempertahankan kelangsungan hidupnya.‎

    Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang ‎dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem ‎sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat ‎yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) ‎dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada ‎susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem ‎politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses ‎politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor ‎termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan ‎yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.‎

    Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. ‎Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam ‎penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam ‎sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan ‎Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain ‎fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi ‎partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai ‎politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi ‎politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik ‎menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.‎

    Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” ‎dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik ‎seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat ‎oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. ‎Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu ‎yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam ‎keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi ‎maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh ‎dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus ‎dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka ‎bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem ‎sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, ‎mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. ‎Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang ‎pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali ‎dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal ‎sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan ‎patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.‎

    Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua ‎orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-‎Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat ‎masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran ‎mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di ‎dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu ‎sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme ‎struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer:‎

    Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman ‎kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya ‎dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan ‎yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown ‎‎(1976:505). ‎

    Jasa Malinowski terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda ‎dari Brown, mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi ‎menganalisa kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian ‎yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: ‎‎551).‎
    Dalam membahas sejarah fungsionalisme struktural, Alvin Gouldner (1970: ‎‎138-157) mengingatkan pada pembaca-pembacanya akan lingkungan di mana ‎fungsionalisme aliran Parson berkembang. Walaupun kala itu adalah merupakan masa ‎kegoncangan ekonomi di dalam maupun di luar negeri sebagai akibat dari depresi ‎besar. Teori fungsionalisme Parsons mengungkapkan suatu keyakinan akan perubahan ‎dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial ‎yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh ‎keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan ‎setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang ‎kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih ‎lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar.

    Sebagaimana yang dinyatakan ‎oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang ‎dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru ‎Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas ‎personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.‎
    Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak ‎selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar ‎berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur ‎sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. ‎Coser dan Rosenberg (1976: 490) melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural ‎berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. ‎Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep ‎kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada ‎seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan ‎pola-pola yang relatif abadi”.‎

    Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah berkuasa sebagai ‎suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer ‎Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di dalam pidato kepemimpinannya di ‎hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh ‎dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi ‎dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori ‎fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa ‎para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang ‎potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.‎

    2. Pengertian Solidaritas Mekanik Dan Organik‎

    a. Solidaritas Mekanik
    Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang ‎masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya ‎pembagian kerja diantara para anggota kelompok.‎
    b. Solidaritas Organik
    Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah ‎kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh ‎saling ketergantungan antaranggota.‎

    3.Konsep Dasar Tentan Anomy‎
    Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk ‎menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa ‎Yunani a-: “tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan”.‎

    Macam-macam Anomi itu ada 3‎
    ‎1.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Individu
    ‎2.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Masyarakat
    ‎3.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Sastra Dan Film‎

    1. Anomie sebagai kekacauan pada diri individu‎
    Émile Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata ini ‎dalam bukunya yang menguraikan sebab-sebab bunuh diri untuk menggambarkan ‎keadaan atau kekacauan dalam diri individu, yang dicirikan oleh ketidakhadiran atau ‎berkurangnya standar atau nilai-nilai, dan perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan yang ‎menyertainya. Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami ‎perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau ‎semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori ‎dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan ‎sehari-hari.‎

    Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan ‎dasar bagi nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami ‎anomie. Lebih jauh ia berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam ‎kehidupan ekonomi modern sejak Revolusi Industri menyebabkan individu mengejar ‎tujuan-tujuan yang egois ketimbang kebaikan komunitas yang lebih luas.‎

    Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam ‎karyanya. Ia mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial ‎bersama dan cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata ‎lain, individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama ‎dari suatu masyarakat tertentu, namn tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut ‎dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu itu akan ‎memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri.‎

    2. Anomie sebagai kekacauan masyarakat‎
    Kata ini (kadang-kadang juga dieja “anomy”) telah digunakan untuk ‎masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami ‎kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ‎ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-‎aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan ‎bukan kerja sama. Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ‎ini.‎

    Anomie sebagai kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi”. ‎Kata “anarkhi” menunjukkan tidak adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, ‎sementara “anomie” menunjukkan tidak adanya aturan, struktur dan organisasi. ‎Banyak penentang anarkhisme mengklaim bahwa anarkhi dengan sendirinya ‎mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan mengatakan bahwa ‎komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan keteraturan ‎‎(lih. misalnya Law of Eristic Escalation). Kamus Webster 1913, sebuah versi yang ‎lebih tua, melaporkan penggunaan kata “anomie” dalam pengertian “ketidakpedulian ‎atau pelanggaran terhadap hukum”.‎

    3. Anomie dalam sastra dan film‎
    Dalam novel eksistensialis karya Albert Camus Orang Asing, tokoh ‎protagonisnya, Mersault bergumul untuk membangun suatu sistem nilai individual ‎sementara ia menanggapi hilangnya system yang lama. Ia berada dalam keadaan ‎anomie, seperti yang terlihat dalam apatismenya yang tampak dalam kalimat-kalimat ‎pembukaannya: “Aujourd’hui, maman est morte. Ou peut-être hier, je ne sais pas.” ‎‎(“Hari ini ibunda meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tak tahu.”) Camus ‎mengungkapkan konflik Mersault dengan struktur nilai yang diberikan oleh agama ‎tradisional dalam suatu dialog hampir pada bagian penutup bukunya dengan seorang ‎pastur Katolik yang berseru, “Apakah engkau ingin hidupku tidak bermakna?”‎

    Dostoevsky, yang karyanya seringkali dianggap sebagai pendahulu filosofis ‎bagi eksistensialisme, seringkali mengungkapkan keprihatinan yang sama dalam ‎novel-novelnya. Dalam The Brothers Karamazov, tokoh Dimitri Karamazov bertanya ‎kepada sahabatnya yang ateis, Rakitin, “…tanpa Allah dan kehidupan kekal? Jadi ‎segala sesuatunya sah, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai?’” ‎Raskolnikov, anti-hero dari novel Dostoevsky Kejahatan dan Hukuman, ‎mengungkapkan filsafatnya ke dalam tindakan ketika ia membunuh seorang juru ‎gadai tua dan saudara perempuannya, dan belakangan merasionalisasikan tindakannya ‎itu kepada dirinya sendiri dengan kata-kata, “… yang kubunuh bukanlah manusia, ‎melainkan sebuah prinsip!”‎
    Yang lebih belakangan, protagonis dari film Taxi Driver karya Martin ‎Scorsese dan protagonis dari Fight Club, yang aslinya ditulis oleh Chuck Palahniuk ‎dan belakangan dijadikan film, dapat dikatakan mengalami anomie.‎

    more
  • ASSESMENT Dalam Pembelajaran PAI
    Oleh : Luluk Maghfiroh

    A. PENGERTIAN
    Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang diginakan, yakni pengukuran, assessment, dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Sementara pengertian assessment adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai pada taraf pengambilan keputusan.

    Sedangkan evaluasi sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian, Namun dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni :
    1.Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu
    2.Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan aras tujuan yang jelas
    3.Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.

    Meskipun memiliki banyak definisi, sebenarnya evaluasi pertama kali dikembangkan oleh Ralph Tayler (1950), yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Lalu dikembangkan lagi oleh dua orang ahli lain yakni, Cronbach dan Stuff lebeam .

    Dilihat dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa secara teoritik ketiga istilah tersebut memiliki definisi berbeda. Namun, dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluai pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) dan pembandingan (assessment). Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa, assessment dan evaluasi adalah sama, karena merupakan sistem penilaian hasil belajar.

    Dari uraian diatas sudah jelas sekali pengertian assessment, measurement, dan evaluasi. Adapun assessment dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu : Suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama islam.

    B. TUJUAN DAN FUNGSI ASSESSMENT
    Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut :
    1.Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
    2.Untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran.
    3.Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
    4.Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa fdalam rangka perbaikan.

    Selain memiliki beberapa tujuan seperti yang disebutkan diatas, assessment atau penelitian memiliki fungsi sebagai alat seleksi, penempatan, diagnostik, formatif, dan sumatif. Guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Adapu penjelasannya, sebagai berikut :

    1.Fungsi selektif, dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan.
    2.Fungsi penempatan, dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta didik) dapat mengikutu pendidikan pada jenis atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
    3.Fungsi diagnostik, dilaksanakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
    4.Fungsi formatif, dilaksanakan untuk memberikan umpan balik guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan remedial atau perbaikan bagi murid.
    5.Fungsi sumatif, dilaksanakan untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid.

    Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa assessment merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan assessment atau penilaian, guru dapat mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian peserta didik.

    C. PENDEKATAN, PRINSIP DAN ACUAN ASSESSMENT
    Dalam melakukan assessment, harus dilakukan pendekatan. Adapun pendekatan- pendekatan tersebut adalah :
    •Menggunakan berbagai teknik.
    •Menekankan hasil dengan memperhatikan input dan proses.
    •Melihat dari perspektif taksonomi tujuan pendidikan, menilai perkembangan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesuai karakteristik mata pelajaran.
    •Menerapkan standar kompetensi lulusan.
    •Menerapkan sistem penilaian acuan kriteria dan standar pencapaian yang konsisten.
    •Menerapkan penilaian otentik untuk menjamin pencapaian kompetensi.
    Adapun prinsip-prinsip assessment, yaitu :
    •Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
    •Mencermnkan masalah dunia nyata.
    •Menggunakan berbagai ukuran, metode, teknik, dan kriteria sesuai dengan karakteristik dan essensi pengaloaman belajar.

    Selain pendekatan dan prinsip dalam assessment, hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah acuan dalam assessment, adalah acuan kriteria. Sebab, kriteria digunakan asumsi bahwa hampir semua orang belajar apapun akan mampu, hanya kecepatan dan waktunya yang berbeda. Asumsi tersebut mengindikasikan perlunya program perbaikan atau remidial. Namun demikian, agar sistem assessment memenuhi prinsip kesahihan dan keandalan, maka harus memperhatikan :
    •Aspek menyeluruh
    •Berkelanjutan
    •Berorientasi pada indikator ketercapaian
    •Sesuai dengan pengalaman belajar

    D. OBJEK ASSESSMENT
    Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian adalah apa yang harus dinilai itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu melihat kembali fungsi dari assessment, yaitu sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar peerta didik. Menurut Horward kingsley, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya.

    Selain pendapat Horward, masih banyak pendapat-pendat lain mengenai proses dan hasil belajar .Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut akhirnya diperoleh hasil pengklasifikasian secara garis besar, yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom. Dimana benyamin membaginya menjadi tiga ranah atau objek, yaitu Kognitif, afktif dan psikomotorik.

    1. KOGNITIF
    Ranah kognitif berkenaan engan hasil belajar intyelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
    •pengetahuan (recalling), kemampuan mengingat, misalnya: mengingat nama nabi
    •pemahaman (comprehension), kemampuan memahami, misalnya: menyimpulkan suatu paragraf
    •aplikasi (application), misalnya :menggunakan suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah
    •analisis (analysis), misalnya menganalisis suatu bentuk
    •sintesis (syntesis), misalnya : menformulasikan hasil ceramah dosen dikelas dengan lingkungan sekitar
    •dan evaluasi (evaluation), kemampuan mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.

    2. AFEKTIF
    Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dsb. Jika dalihat lebih dalam, pelajaran yang diberikan lebih banyak mengarah pada ranah kognitif, meskipun demikian ranah afektif tetap harus menjadi bagian intyegral dalam proses pembelajaran.

    Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu :
    •Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginana untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
    •Menanggapi (responding) reaksi yang diberikan, ketepatan aksi, perasaan,dll.
    •Menilai (evaluating) kesadaran menerima apa yang diberikan oleh para pendidik.
    •Mengorganisir(organiation) pengembangab norma dan nilai.
    •Membentuk watak (characterization) sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.

    3. PSIKOMOTORIK
    Psikomotorik merupakan tindakan seseorang yang dilandasi penjiwaan atas dasar teori yang dipahami dalam suatu mata pelajaran. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik diarahkan untuk menggali beberapa gerakan, ucapan, dan pengamalan keagamaan, seperti
    •Gerakan wudlu, shalat
    •Ucapan bacaan Al-Qur'an-qur’an dalam shalat
    •Ucapan kalimat thayyibah
    •Pengamalan, kebiasaan berdzikir, berdoa, maupun membaca Al-Qur'an-qur’an

    Adapun tingkatan ketrampilan alam psikomotorik, yaitu :
    •Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar)
    •Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar
    •Kemampuan perseptual
    •Kemampuan di bidang fisik
    •Gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks
    •Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi

    E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
    Penilaian berbasis kelas(PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasikan pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan
    PBK merupakan arti penilaian sebagai assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur kebrrhasilan suatu program pendidikan.

    Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa sevara individu pada khususnya. Adapun fungsi PBK, yaitu :
    1.Memberikan umpan balik bagi sisa mengenaim kemampuan dan kekurangannya
    2.Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa
    3.Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya
    4.Memungkinkan siswa mencapai kometensi yang telah ditentukan

    Selain fungsi PBK memiliki beberapa tujuan, yaitu :
    1.Mengetahui kemajuan belajar siswa
    2.Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran
    3.Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa
    4.Membantu siswa untuk memilih bidang pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya

    Adpun prinsip-prinsip PBK haruslah sangat diperhatikan, yaitu :
    1.Valid, PBK harus mengukur objek obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih
    2.Mendidik, PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa
    3.Berorientasi pada kompetensi
    4.Adil dan objektif
    5.Terbuka, PBK Hendaknya dilakukan secara terbuka bagi semua kalangan
    6.Berkesinambungan, PBK harus dilakukan secara terus-menerus
    7.Menyeluruh, PBK harus menyeluruh dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
    8.Bermakna, PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak


    DAFTAR PUSTAKA

    •Arikunto suharsini, 2005.Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan.Jakarta: Bumi aksara
    •Zuhairini,1983.Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.Surabaya: Usaha nasional
    •Majid abdul, 2005.Perencanaan Pembelajaran.Bandung: Rosda karya
    •Nasution, 2003.Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar.Jakarta: Bumi aksara
    •Hamalik oemar, 2004.Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Bumi aksara
    •Sudjana nana, 2005.Penilaian hasil proses belajar mengajar.Bandung: Rosda karya
    •Nurkancana wayan, 1986. Evaluasi Pendidikan.Surabaya: Usaha nasional
    •Mulyasa,2003.Kurikilum Berbasis Kompetensi.Bandung:Rosda karya

    more
  • Mengenal Filsafat Fenomenologi
    Pendahuluan

    Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.

    Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.

    Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.

    Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap fenomenologi.

    Pembahasan

    A. Hakekat Fenomenologi
    Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

    Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

    Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

    Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.

    Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

    Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

    Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.

    Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).

    Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

    Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.

    Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

    B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
    Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).

    Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

    Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.

    Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
    1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

    2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.

    3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

    4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

    Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

    C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
    Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.

    Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.

    Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

    Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.

    Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

    Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

    D. Kritik Terhadap Fenomenologi
    Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.

    Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

    Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

    Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

    Penutup
    Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.

    Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles."

    DAFTAR PUSTAKA

    Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.

    Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

    Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.

    Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.

    Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.

    Kasiram, Moh., 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program Pascasarjana UIIS Malang.

    Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

    Sills, David L., (Ed.), 1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell Collier & Macmillan, Inc.

    Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.

    more
  • ILMU-SOSIAL-BERBASIS-HERMENEUTIK. oleh TSANIN A. ZUHAIRY

    Pengantar
    Setiap penelitian dan observasi senantiasa bermuara pada sebuah pengetahuan. Dan pengetahuan yang akan dihasilkan juga bergantung pada objek yang akan diteliti. Meminjam distingsi W. Dilthey, jika obyek yang diteliti dan diobservasibertaut dengan berbagai gejala alam, maka masuk ke dalam tipe ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Tapi, jika obyek yang diteliti dan diobservasi terkait dengan gejala kemanusiaan dan kebudayaan, maka masuk ke dalam tipe ilmuilmu roh/budaya (geisteswissenschaften).

    Persoalannya sekarang, apakah dengan perbedaan obyek itu, juga diperlukan pendekatan yang berbeda? Jawabannya dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini adalah tak perlu ada perbedaan pendekatan.2 Karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi. Diyakini bahawa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan seluruh wilayah kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Pandangan ini dipopulerkan Auguste Comte, Ernst March, para filsuf Lingkungan Wina, yang notabene sebagai tokoh dan penganut aliran Positivisme.

    Pendekatan ilmu-ilmu alam yang meniscayakan adanya distansi penuh, netralitas, bebas kepentingan, universal dan dapat diterapkan secara instrumental diandaikan oleh positivisme dapat diterapkan pada penelitian sosial. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dipahami sebagai potret fakta sosial yang bebas dari kepentingan (free value), tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Siapapun orangnya, asal memenuhi prosedur-prosedur penelitian yang dibuat ilmu alam, tidak akan mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan. Sehingga pengetahuan itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, karena sifatnya yang universal dan instrumental.

    Paradigma-paradigma semacam itu, kini turut mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu di Indonesia. Baik secara canggih atau kasar, pendekatan ilmu alam juga diterapkan dalam penelitian sosial, seolah tanpa persoalan. Padahal, dengan paradigma semacam itu, sebuah penelitian hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu, pengetahuan tidak mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Di sini positivisme mengidap sebuah masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan (episteme), melainkan juga bagi kemanusiaan.

    Memang, dewasa ini positivisme telah mengalami pembaruan dalam beberapa segi, seperti digagas oleh para filsuf Lingkungan Wina (Wiener Kreist) yang dikenal dengan positvisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis,5 namun tetap tidak bisa keluar dari karakter aslinya yang bersifat empiris-obyektif, deduktif-nomologis, instrumental dan bebas nilai. Dengan standar itu, positivisme tetap tidak akan mampu menangkap-menangkap proses-proses sosial, seperti tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.

    Verstehen: Paradigma Ilmu Sosial
    Dunia kehidupan sosial sebagai wilayah operasi ilmu-ilmu sosial dapat dikatakan sebagai pengetahuan pra-teoritis. Dikatakan demikian, karena dunia kehidupan sebagai objek ilmu-ilmu sosial belum terstruktur secara simbolis. Para pelaku kehidupan sosial dalam berbicara bukan dengan silogisme dan juga bertindak bukan menurut pola hubungan subjek-objek, seperti disebut Habermas dengan ‘tindakan instrumental’. Para pelaku dalam kehidupan sosial hanya mampu berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisinal manusia serta bertindak dalam kerangka ‘tindakan komunikatif’: suatu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik.

    Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam ilmu sosial bukanlah ‘kausalitas’, melainkan ‘makna’. Karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak berbeda dengan pelakudalam dunia sosial. Ia harus masuk dan berpartisipasi dalam dunia kehidupan sosial itu.

    Pada titik ini, tampak jelas perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati objeknya. Menyitir pendapat Dilthey, ilmu-ilmu alam hanya berusaha menjelaskan (eklaren) objeknya menurut penyebabnya (kausalitas). Disini pengalaman dan teori berdiri secara diametral. Antara subjek-objek terdapat sebuah distansi. Sementara ilmu-ilmu sosial bertumpu pada verstehen, yakni paduan pengalaman dan pemahaman teoritis. Karena pengalaman dan struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia kehidupan sosial tak bisa tampak ‘dari luar’ seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, tetapi harus melibatkan subjek sosial itu sendiri. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produk-produk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerjasama sosial, dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui ‘dari dalam’.

    Hermeneutik sebagai Alternatif
    Kini, bagaimana seorang ilmuwan sosial dapat mengetahui objeknya ‘dari dalam’? Jurgen Habermas menawarakan Hermeneutik sebagai metode alternatif yang dapat digunakan. Metode ini sudah lama dipakai dalam teologi, filsafat, tafsir teks-klasik, tafsir Kitab Suci, dan seterusnya, dan sekarang ini diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.

    Sejak awal, metode Hermeneutik senantiasa berurusan dengan penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Pengertian “teks” dapat diperluas dalam penelitian sosial menjadi objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks itu dihasilkan oleh “pengarang” yaitu para pelaku sosial—analogi-analogi teks dan dunia sosial perlu diikuti. Sebagai sebuah teks, masyarakat yang hendak ditafsirkan untuk dipahami dan ditangkap maknanya (sinnverstehen), tentu mengharuskan keterlibatan “peneliti dari dalam”. Keterlibatan itu, menurut Fredrich Schleiermacher menyaratkan adanya empati psikologis. Artinya, peneliti harus mampu masuk kedalam isi teks-sosial (yaitu pranata-pranata, tingkah laku, interaksi, dan seterusnya) sampai “mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu pengalaman para plaku sosial. Bagaimanapun harus disadari, peneliti sesungguhnya adalah reproduksi pengalaman para pelaku sosial.

    Namun, teori empati yang dikampanyekan Schleiermacher dianggap terlalu psikologistis oleh Dilthey. Yang direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks-sosial itu terbentuk.9 Kalau anda meneliti upacara inisiasi, kepemimpinan desa, karya seni, sistem kepercayaan religius orang Yogya dan seterusnya, anda harus menemukan kaitan-kaitan antara proses-proses mental para pelaku dan bagaimana semua itu dilahirkan dalam bentuk pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur-praksis, melainkan struktur-struktur simbolis.

    Setelah menemukanketerlibatan metodis itu, peneliti perlu menangkap tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks-sosial (pelaku sosial). Pengalaman adalah unsur-unsur subjektif yang ada dalam penghayatan internal pelaku-sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pengertian, pandangan, gerak hati, dan seterusnya. Itu semua mendapat bentuk lahiriahnya dalam wujud tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan seterusnya. Pemahaman dari konfrontasi, dialog, dan pencapaian konsensus terjadi. Di sini pula pemahaman dialektis antara pengarang dan peneliti tidak hanya menjadi inti penafsiran hermeneutis, melainkan juga praksis komunikasi.

    Catatan
    Tulisan ini secara garis besar disarikan dari buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003.

    Bandingkan dengan tulisan Jujun Suriasumantri “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Cet. Keenambelas, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2006, hal. 19-20.

    F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 23

    ‘Masalah’ terjadi karena peralihan masyarakat dari keaadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Cara berpikir lama (mitis, teologis) ditinggalkan tapi cara berpikir baru (saintis) belum sepenuhnya terintegrasi dalam diri manusia, sehingga hanya menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya welltanschauung.

    Lihat, K. Bertens, Fisafat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, hal 128.
    F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 122

    F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 63

    F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis”, h. 31

    F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik”, hal. 64

    F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis”, h. 32

    more
  • Hakekat Pendidik Dan Peserta Didik
    Oleh : Muhdlar Abdullah*

    BAB I
    Pendahuluan


    Sebelum kami menjelskan Hakekat Pendidik dan Pesrta Didik pelu kiranya kami menjelaskan apa pendidikan itu. Menurut Ki Hajar Dewantara, pengertian secara umum adalah selalu berdasarkan pada apa yang dapat kita saksikan dalam semua macam pendidikan, maka dengan demikian teranglah bahwa yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan dadalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun yang di maksud dengan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak tersebut agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

    Dan perlu kita ketahui bahwa di dalam “pendidikan” mempunyai pengertian suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang didalamnya mengandung beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan, diantaranya adalah :

    1)Didalam bimbingan ada pembimbingnya ( pendidik ) dan yang dibimbing (terdidik).
    2)Bimbingan mempunyai arah yang bertitik tolak pada dasar pendidikan dan berakhir pada tujuaqn pendidikan.
    3)Bimbingan berlangsung pada suatu tempat, lingkungan atau lembaga pendidikan tertentu.
    4)Bimbingan merupakan proses, maka harus proses ini berlangsung dalam jangka waktu terntu.
    5)Didalam bimbingan harus mempunyai bahan yang akan disampaikan pada anak didik untuk mengembangkan pribadi seperti yang di inginkan.
    6)Didalam bimbingan menggunakan metode tertentu.


    BAB II
    PEMBAHASAN


    A. Hakekat Pendidik
    Dikutip dari Abudin Nata, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik.Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.

    Jika menjelaskan pendidik ini selalu dikaitkan dengan bidang tugas dan pekejaan, maka fareable yang melekat adalah lembaga pendidika. Dan ini juga menunjukkan bahwa akhirnya pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada diri seseorang yang tugasnya adalah mendidik atau memberrikan pendidikan.

    a.Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik.
    Tugas-tugas dari seorang pendidik adalah :
    1)Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
    2)Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
    3)Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya.
    Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membaha hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.

    Sedangkan tanggung jawab dari seorang pendidik adalah :
    1)Bertanggung moral.
    2)Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
    3)Tanggung jawab kemasyarakatan.
    4)Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.

    b.Tujuan Pendidik.
    Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.

    Orang yang pertama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan anaknya.
    Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Namun karena mereka tidak mempunayai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira mampu atau berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.

    B. Syarat-syarat dan Sifat-sifat yang Harus dimiliki oleh Seorang Pendidik.
    Syarat-syarat umum bagi seorang pendidik adalah : Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit, syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu :
    1)Harus beragama.
    2)Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
    3)Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya dalam membentuk Negara yang demokratis.
    4)Harus memiliki perasaan panggilan murni.

    Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
    1)Integritas peribadi, peribadi yang segala aspeknya berkembang secara harmonis.
    2)Integritas sosial, yaitu peribadi yang merupakan satuan dengan masyarakat.
    3)Integritas susila, yaitu peribadi yang telah menyatukan diri dengan norma-norma susila yang dipilihnya.

    Adapun menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat tertenru agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, seperti yang diungkapkan oleh beliau adalah :

    1)Memiliki sifat Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari ridha Allah.
    2)Seorang Guru harus jauh dari dosa besar.
    3)Ikhlas dalam pekerjaan.
    4)Bersifat pemaaf.
    5)Harus mencintai peserta didiknya.

    C.Hakekat Peserta Didik
    Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
    Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

    Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :

    1). Aspek Paedogogis.
    Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.

    2). Aspek Sosiologi dan Kultural.
    Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.

    3). Aspek Tauhid.
    Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).


    KESIMPULAN

    Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.

    Seorang pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa" tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.

    Sedangkan peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.


    DAFTAR PUSTAKA
    Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta 2005.
    Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1984.
    Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta :Rineka cipta, 1981.
    H. M. Arifin, Ilmu Pendidian Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
    Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1998.
    Nasution S. Sosialisasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1995


    * Adalah Mahasiswa Jurtusan Pendidikan Bahasa Arab Fak. Tarbiyah IAIN SUnan Ampel Surabaya angkatan 2007.

    more
  • Resume Pengantar Studi Islam
    Oleh : M.Nur Salim

    BAB I
    Sumber-Sumber Ajaran Islam

    A.Al-Qur’an
    1.Makna Al-Qur’an
    Secara etimologi Al Qur’an adalah bentuk masdar dari kata QARAA yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologi , Al Qu’an bebrarti firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril dengan bahasa arab sebgai pedoman hidup manusia yang diturunkan secara mutawatir , sebagai mu’jizat nabi muhmmad, yang membacanya bernilai ibadah,yang dimulai dengan surat Al Fatehah dan diakhiri dengan surat An nas.

    2.Nama-nama bagi alqur’an
    a.Alquran(bacaan karena Alqur’an adalah suatu kitab yang banyak dibaca bahkan dihafal.
    b.Alfurqan(pembeda) karena Alqur’an memuat penjelasan yang membedakan antara yang hak dan yang batil,halal dan haram,yang sah dan tidak sah.
    c.Alkitab(tulisan) karena Alqur’an adalah sebnuah kitab yang ditulis sedemikian rupa berbagai lembaran dan dicatat secara seksama dlam lembaran tulang,pelepahkurma,kertasdan bentuk sarana lainnya.
    d.Al-Dzikir(peringatan) karena Alqur’an memuat berbagai peringatan kepada ummat manusia.

    3.Sejarah turunnya Al Qur’an
    Ketika nabi Muhammad sedang bertakhannus digua hiro’Allah mengutus malaikat jibril kepadanya untuk menyampaikan wahyu pertama ya’ni surat Al Alaq ayat 1-5 yang bertepatan pada tanggal 17 ramadan.
    Sedangkan masa terakhir turunnya Al Qur’an adalah masa mendekati wafatnya nabi muahammad (terdapata perbedaan, antara 9 djulhijjah 10 Hijriah dan 69 hari sesudah Haji wada’
    Periode turunnya al Qur’an berkisar antara 12 tahun 5 bulan dan 14 hari ketika dimekkah dan antara 12 tahun 2 bulan 22 hari (12 tahun 5 bulan 2hari menurut versi yang lain).

    4.Sejarah Pembukuan Al-Qur’an
    Pada mulanya Al Qur’an yang turun ditulis disembarang tempat dan media yang mudah dibaca, tidak dibukukan, nabi cenderung menyuruh untuk menghafalkan Al-Qur’an namun setelah perang badar yang membuat banyak terbunuhnya para pengahafal Al Qur’an maka nabi mulai menyuruh untuk menulis disamping juga menghafal, tetapi tidak untuk dibukukan.

    Ketika masa khalifah Abu Bakar, dimulai pengumpulan catatan Al-Qur’an atas asal usul umar bin Khattab. Dan diutuslah Zait bin TSabith untuk mengumpulkannya sesuai urutan yang ditetapkan nabi lalu mushaf itu disimpan dirumah Hafsah binti umar hingga masa kekhalifahan Uamr bin Khattab.

    Setelah itu pada masa Khalifah Utsman bin Affan, ketika wilayah islam sudah sangat meluas, muncullah permasalahan-permasalahan yang tidak memadainya jumlah Huffadz-huffadz yang banyak dari kalangan muallaf. Dan permasalahan ini bermacam-macamnya bacaan Al Qur’an sehingga khalifah Utsman memutuskan membentuk panitia untuk menyalin mushaf yang berada pada binti umar. Mushaf itu disalin beberapa buah ( ada yang mengatakan 4,5, dan 7 buah ). Yang 4 dikirim ke kuffah, Basrah, dan syiria seadangkan yang satunya ditetapkan dimadinah (yang mengatakan 5 buah, satunya dikirim ke Mekkah, yang mengatakan 7 buah 2 diantaranya ke Yaman dan Bahrain. Lalu semua mushaf yang tidak seragam dengan bentukan panitia tersebut dibakar.

    5.Qira’at Al-Qur’an
    Alqur’an diturunkan dalam bahasa arab,yang sejak zaman dahulu telah mengalami perbedaan lahjah yang bermacam-macam para pemakainya dari berbagai suku.

    6.Asbabun Nuzul
    Alqur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya.Alquran diturunkan adanya sebab saat itu banyak peristiwa-peristiwa yang telah dialami oleh Muhammad. Beliau telah menghadapi kaum quroisy yang telah membangkang ajakannya.sehingga turunlah Alqur’an sebagai peringatan orang-orang quroisy.

    7.Isi Kandungan Al-Qur’an
    1)Masalah ketuhanan
    2)Manusia sebagai Individu
    3)Manusia sebagai Anggota masyarakat
    4)Alam Semesta
    5)Kenabian dan Wahyu
    6)Lahirnya masyarakat muslim

    B.As-Sunnah
    1.Pengertian
    As-Sunnah yaitu suatu perkataan, perbuatan atau taqrir Rosulullah, yang bisa dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum syara’.
    Nama-nama lain bagi al-sunnah, antara lain:
    a.Al-Hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sebagainya.
    b.Al-Khobar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi, sahabat dan tabi’in
    c.Al-Atsar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada sahabat semata.
    d.Hadits Qudsi, yaitu titah Tuhan yang disampaikan dalam mimpi dengan jalan ilham kepada Nabi SAW, lalu menerangkannya menurut redaksi Nabu dengan disandarkan pada Allah.

    2.Macam-Macam As-Sunnah
    a)Sunnah Qawliyah
    b)Sunnah Fi’liyah
    c)Sunnah Taqririyah

    3.Sejarah Penulisan Sunnah
    Pada masa Nabi SAW, penulisan As-Sunnah tidak diizinkan oleh beliau,dengan harapan tidak bercampur dengan Al-Qur’an. Namun Nabi memberikan toleransi penulisan pada orang-orang tertentu yang mungkin dapat memelihara tercampurnya Dengan Al-Qur’an.
    Pada masa Khulafau ar-Rasyidin, adalah masa penyedikitan periwayatan hadits karena kehati-hatian dakam menjaga kemurniannya. Namun pada masa Ali ibn Abi Tholib, terutama setelah perang Shiffin yang menyebabkan terpecahnya umat Islam, menyebabkan setiap golongan berusaha mendapatkan legitimasi pendiriannya dari hadits sendiri-sendiri bahkan ada yang sampai membuat hadits palsu. Sehingga pada masa Umar ibn Abdul Aziz memprakarsai penulisan hadits.

    4.Macam-Macam Kitab Hadits
    Dengan metode teknik dan sistematika penukisan hadits maka kitab-kitab hadits digolongkan menjadi:
    a)Kitab al-Shihhah, yang berisi Hadits shahih
    b)Kitab al-Jami’, yang berisi Hadits-hadits dengan pokok bahasan : aqoid, rifaq, etiket makan dan minum, tafsir, tarikh, sirah, safar, qiyam, dan qu’ud
    c)Kitab Masanid, yang menyebutkan hadits menurut nama sahabat
    d)Kitab al-Mu’jam, yang berisi himpunan hadits menurut nama syaikh
    e)Kitab al-Mustadrok, yang menghimpun hadits menurut sysrat-syarat rawi
    f)Kitab al-Mustakhrojat, yang menghimpun hadits yang sanadnya ditulis kembali menurut versi penulisnya sendiri
    g)Kitab al-Ajza’, yang disusun secara sistematis
    h)Kitab al-Ashraf, yang berisi susunan hadits yang telah diringkas
    i)Kitab Zawaid, yang berisi hadits tambahan yang ditambahkan pada kitab lain
    j)Kitab al-Sunan, yang berisi hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah fiqhiyah
    k)Kitab Majami’, yang berisi hadits yang disusun berdasarkan kitab rujukannya
    l)Kitab al-Targhib wa al-Tarhib, yang berisi hadits-hadits yang berisi kabar gembira dan ancaman
    m)Kitab al-khamsah, yang disusun oleh 5 ulama’ ahli hadits kenamaan
    n)Kitab al-sittah, yang disusun oleh 6 ulama’ ahli hadits kenamaan

    5.Metode Takhrij hadits
    Yaitu metode untuk mngetahui letak suatu hadits dalam kitab, atau yang diperlukan.Diantara metode tersebut adalah:
    a)Apabila dikenal dari segi sahabat yang meriwayatkannya, maka penelusurannya menggunakan Kitab Masanid, al-ma’jim, dan al-athraf
    b)Apabila dikenal dari segi Satu kata dari matanya, maka penelusurannya menggunakan Kitab al-ashraf
    c)Apabila dikenal dari segi Temannya saja, maka penelusurannya menggunakan Kitab al-jami’, al-al-zawaid, dsb
    d)Cara paling mudah seperti diatas adalah apabila sebagian dari matan dapat dikenali
    e)Untuk mengetahui sumber aslinya, maka kitab itu aan menunjukkan dengan memberikan simbol-simbol

    6.Kedudukan As-Sunnah
    Di dalam Al-Qur’an telah menunjuk As-Sunnah sebagai sumber ajaran islam selain Al-Qura’an itu sendiri. Sehingga jelas bahwa As-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Namun ada sebagian ulama’ yang mengatakan bahwa kedudukannya sama dengan Al-Qur’an.

    7.Fungsi As-Sunnah
    a)As-Sunnah sebagai bayan tafshul, yaitu memberikan keterangan serta penjelasan terhadap ayat-ayat al-qur’an yang mujmal.
    b)As-Sunnah sebagai bayan takhshish, yaitu memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih umum
    c)Assunnah sebagai bayan ta’yin, yaitu memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-qur’an dalam menentukan berbagai maksud yang terkandung di dalamnya
    d)Assunnah sebagai dalil untuk nasikh dan mansukh
    e)Assunnah sebagai bayan ta’kid terhadap ayat-ayat Al-Qur’an karena keduanya memiliki kesamaan maksud
    f)Assunnah sebagai bayan ta’kid untuk memberikan uraian keterangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an karena keduanya memiliki kesamaan maksud

    C. IJTIHAD
    1.Pengertian Ijtihad
    Ijtihad berasal dari kata “Jahda” yang secara etimologi berarti mencurahkan segala kemampuan (berfikir) untuk mendapatkan sesuatu. Dan secara epistimologi berarti pegerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.

    Menurut mayoritas Ulama’ Ushul Fiqh adalah pencurahan segenap kesanggupan seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanny terhadap hukum syar'i’at.

    2.Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah
    Sejak masa Nabi Muhammad telah ada Ijtihad, namun bukan semata-mata disebabkan atas dorongan Beliau akan tetapi lahir atas insiatif sebagian sahabat.Lalu Pada masa sahabat, Ijtihad mulai benar-benar berfungsi sebagai alat penggali hukum yang tidak secara tidak tegas tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

    Masa Daulah Umayyah, berada dalam situasi perpecahan politik, banyak pemalsuan Hadits dan tersebarnya fatwa yang berlawanan. Hingga pada masa Daulah Abbasiyyah, muncul para Mujtahid yang diantaranya yakni MadzahibulArbaah. Lalu akibat dari keemasan periode ini, timbullah fatwa bahwa pintu Ijtihad telah tertutup yang sebenarnya memiliki tujuan positif, namun justru menimbulkan dampak negatif. Sebagai solusinya, diambil jalan tengah yaitu pintu Ijtihadf mutlak mustaqil, sudah tertutup.Sedngkan untuk Ijtihad Muntashib secara perorangan tertutup namun terbuka bagi yang memenuhi syarat dan dilakukan secara kolektif. Dan pintu Ijtihad Tarjih tetap terbuka.

    3.Urgensi Ijtihad
    a).Wajib ‘ain, bagi orang yang dimintai fatwa dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukum.
    b).Wajib Kifayah, bagi orang yang dimintai fatwa dan tidak dikhawatirkanperistiwa itu akan lenyap, sedangkan masih terdapat Mujtahid lain.
    c).Sunnah, apabila mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.

    4.Syarat-syarat Mujtahid
    a).Menguasai Bahasa Arab dari segala aspeknya
    b).Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum.
    c).Mengenal dan mengerti tentang hadits Nabi yang berhubungan dengan hukum.
    d).Mengerti tentang Ushul Fiqh.
    e).Mengenal Ijma'.

    5.Tingkatan Mujtahid
    Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain:
    a).Mujthid Mutlak(mustaqil), yaitu mujtahid yang memiliki kempuan mengali hukum syar'i’at yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah.
    b).Mujtahid Muntashib, yaitu mujtahidyang menggabungkan dirinya dan hasil ijtihadnya berafiliasi dengan suatu madzhab.
    c).Mujtahid Madzhab (Muqoyyad), yaitu mujtahid yang terikat pada Imam madzhab.
    d).MUjtahid Murajih, yaitu mujtahid yang tidak mengistinbatkan hukum-hukum furu’.

    6.Wilayah Ijtihad
    Wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah fiqhiyah, akan tetapi pada akhirnya wilayah tersebut meliputi: aqidah, filsafat, tasawuf, dan lain-lain. Di antara berbagai perkara, ada diantaranya yang tidak diperbolehkan untuk diijtihadi dan ada pula yang diperbolehkan.
    Hal-hal yang tidak boleh diijtihadkan antara lain:
    a).Masalah qoth’iyyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil naqli maupun aqli.
    b).Masalah-masalah yang telah dijinakkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa.
    Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkanantara lain adalah masalah-masalah dzanniyah. Masalah ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
    a).Hasil analisa para teolog,yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang.
    b).Aspek amaliyah yang dzanny,yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kriterianya dalam nash.
    c).Sebagian kaidah-kaidah dzanny, yaitu masalah qiyas,sebagian ulama’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hokum tersendiri,dan sebagian tidak karena qiyas bukan merupakan hokum tersendiri.

    BAB II
    Pokok-Pokok Ajaran Islam

    A.Akidah
    Aqidah dari bahasa arab ‘Aqidah yang bentuk jama’nya adalah ‘aqoid dan berarti faith, belief, kepercayaan. Sedangkan menurut Lubis ma’luf ialah ma’aqoda alaihi al-qolbi wa al dzomir yang artinya sesuau yang mengikat hati perasaan.Dari etimologi diatas dapat diketahui bahwa yang dimksud aqidah adalah keyajinan atau keimanan;da hal itu diistilahkan aqidah karena ia mengingatjan hati aseeorang kepada sesuatu yang diyakini atau diimani dan ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan selama hidupmya.Inilah m’na aqidah yang merupakan derivasi dari kata aqqada-yaqidu-aqqadan,
    Rukun iman kalau kita beerbicara tentang aqidah maka yang menjadi topik pembicaran adalah masalah keimanan yang berkaitan dengan rukun-rukun iman dan perannya dalam kehidupan beragama.

    Rukun iman ada enam antara lain: iman kepada Allah dan sifat-sifatnya para rasulnya, para malaikat,kitab-kitab yang di turunkan kepada rasul-rasulnya,hari akhir,Qodho’serta Qodhar.

    B.Syari’ah
    Istilah syari’ah dalam kontek kajian hukum islam lebih menggambarkan kumpulan-kumpulan normayang merupakan hasil dari proses tasrik.
    Kata tasrik merupakan bentuk masdar dari Syaara’ayang berarti menciptakan dan menetapkan Syari’ah. Sedangkan dalam istilah para ulama’ Fiqih bermakna menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusiabaik dalam hubungan dengan tuhan maupun hubungan dengan manusia lainnya.

    Tasrik di bagi menjadi dua macam yaitu: tasrik samawi (ilahi) dan Tasrik Wadh’I itu menurut para ulama’ yang di maksud tasrik ilahi adalah penetapan hukum yang di lakukan langsung oleh Allah dan rasulnya dalam Al Qur’an dan As sunna. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan mutlak, karena tidak ada yang kompeten untuk mengubahnya selain Allah sendiri. Sedangakan yang di maksud dengan tasrik Wadh’I adalah penentuan hukum yang di lakukan oleh para mujtahid,baik mujtahi mustambith maupun muthobik. Ketentuan-ketentuannya tidak abadi dan bisa berubah ubah, karena merupakan hasil dari kajian nalar para ulama’ yang tidak maksum sebagaimana Rasulullah dan amat di pengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakatnya.

    C.Akhlaq
    1.Pengertian Akhlak
    Seacara etimologis,kata Akhlak berasal dari bahasa arab akhlaq yang merupakan bentuk jama’ dari khuluq yang artinya budi pekerti, peringai tingkah laku,atau tabiat secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhlak, antara lain:
    1.Menurut ibrahim anis akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
    2.Menurut Abdul Karim Zaidan Akhlak adalah kumpulan-kumpulan nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannaya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk untuk kemudian terus melakukan atau meninggalkannya.jadi akhlak adalah harus bersifat spontan, tidak tomperer dan tidak perlu memikirkan pemikiran dan pertimbangan sera dorongan dari luar.
    2.Manfaat Materi
    Sebagaian pakar berpendapat bahwa manfaat materi adalah sebagai para meter akhlak menurut mereka perbuatan-perbuatan yang mendatangkan keuntungan materi bagi masyarakat di anggap sebagai akhlak yang terpuji. Pendapat ini sangat berbahaya terhadap terjalinnya hubungan kemasyrakatan, baik antara individu, kelompok.
    3.Hedonisme atau Kesenangan
    Setelah ahli filsafat menyelidiki bahwa ukuran baik dan buruk itu secara ilmu pengetahuan,diantara mereka ada yang berpendapat bahwa ukuran itu bahagia. Bahagia adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia. Mereka mengartikan bahagia dengan kelezatan dan sepi dari penderitaan
    4.Intuisi
    Zenon (342-470 SM) seorang filosof yunani yang mendirikan madhab intuisi, kemudian di ikuti oleh seorang filosof jerman Emmanuel kant (1724-1804). Madhab ini berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan selitas pandang.
    Kita dalam menilai baik dan buruknya suatu perbuatan tidak melihat pada akibatnya yang berupa kelezatan atau penderitaan seperti hedonism, tetapi dengan insting kita bisa menilainya tanpa melihat pada akibatnya.
    5.Moderat
    Madhab ini yang paling banyak tersebar dan di ikuti, dan banyak pula pengaruhnya terhadap peneliti dan pelajar. Sejak aristoteles (384-422 SM) meletakkanya ukuran Akhlak dengan mengatakan bahwa kemulian adalah pertengahan dua sisi. Beliau berkata sesungguhnya pertengahan suatu ialah yang titik jauhnya sama antara dua sisinya, dan itulah satu-satunya titik yang ada dalam segala kondisi atau keadaan.bagi manusia moderat ialah sesuatu yang tidak di celah karena kekurangan atau kelebihan.

    D.Tasawuf
    Islam adalah agama yang yunifersal, memberikan jawaban azasi terhadap berbagai kebutuhan manusia, batiniah, individual serta kolektif.Tasawuf merupakan salah satu bidang study islam yang memfokuskan perhatiannya terhadap dimensi esoterik yakni pembersihan aspek rohani manusia sehingga menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih yang memusatkan perhatiannya pada aspek jasmani manusia dan sering di sebut dimensi eksoteris. Melalui study tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tata cara melakukan pembersihan jiwa serta mengamalkan secrara benar karena pada saat ini kondisi masyarakat yang cenderung mengarah pada dekadensi moral, orientasi kehidupan yang secara materialistik dan hedonic.

    Kembalinya masyarakat pada saat ini pada tasawuf adalah cukup beralasan karena secara hitoris kehadiran tasawuf bermula sebagai upayah untuk mengatasi krisis akhlak di masyarakat islam pada masa dulu bergelimang dengan harta serta kemewahan sudah mulai terjerumus dalam kehidupan foyah-foyah yang pada akhirnya membawah bencana yakni kehancuran kota bagdad akibat serbuan bangsa mongol di tahun 1258 oleh karena itu marilah kita kembali ke jalan yang benar.

    BAB III
    Periodesasi Sejarah Islam

    A.Masa Klasik
    Periode klasik bermula ketika Muhammad SAW di utus menjadi Rasul namun ada pula yang berpendapat bahwa periode ini di tandai oleh peristiwa hijroh Rasul SAW ke madinah (16 juli 622 M). karena pada saat di madinah inilah eksitensi pemerintahan isalam di akui.

    Nabi Muhammad SAW di utus Al Qur’an sebagai penyangga utamanya karena pada saat itu orang arab sangat gandrung dengan kesusastraan maka Al Qur’an diturunkan dengan bahasa sastra seperti yang lazim di pakai oleh masyrakatnya hal ini di dasarkan atas pertimbangan
    1.untuk menyesuaikan diri dengan tradisi masyrakatnya sehingga dengan demikian bisa komunikatif
    2.untuk menentang dan mengungguli syair-syair jahiliyah yang pada waktu itu mashur.
    Selama berdakwah menemui gangguan dan rintangan yang keras bahkan sampai nyawanya terancam oleh masyarakat qurais akan tetapi dengan kesabarannya dapat mengatasi masalah tersebut.

    B.Masa Pertengahan
    Periode ini di tandai dengan kemunduran total imperium di bagdad.ia sebagai raksasa yang sedang sakit menuju ajalnya maka sdah barang tentu akan mudah ditebak bila kemudian pemerintahan pusat bagdad tidak dapat mempertahankan wilayah kekuasaannya. Kondisi seperti ini di mulai dengan adanya pemberontakan dengan lepasnya control kekuasaan secara politik di ceantero wilayah islam.masa tiga kerajaan besar (1500-1800 M) yaitu kerajaan usmani di turki, kerajaan sfawi di periyah, kerajaan mughol di India.

    C.Masa Modern
    Peride moderen ini di tandai dengan penetrasi barat atas dunia islam. Di mesir ekspedisi Napoleon Bonaparte membawa dampak positif bagi rakyat mesir khuusunya dan pada dunia islam pada umumnya ekspedisi terjadi pada tahun 1798 M itu pada mulanya bertujuan untuk memproteksi kepentingan para pedagang prancis di mesir yang merasa tidak mendapatkan ke adilan dari penguasa lokal akan tetapi tujuan utama ekspedisi ini sesungguhnya merupakan kebijakan politik pemerintah perancis yang ingin menjadikan medir sebagai basis militernya dalam menghadapi inggris yang pada saat itu berkuasa di India.


    BAB IV
    Isu-Isu Kontemporer

    A.Gender
    1.Kemunculan Isu Gender
    Akhir-akhir ini isu gender begitu kuat menyeruak ke dalam kehidupan masyarakat. Konon para aktivisnya ingin mengangkat derajat wanita agar sejajar dengan pria. Mereka mengklaim, ajaran agama yang membuat wanita jadi nomor dua. Sebenarnya gender adalah ide yang absurd.

    Wanita dan pria memang sama yaitu hamba Allah. Namun secara fitrah wanita dan pria diciptakan berbeda dengan hak dan kewajibannya. Karena ide gender inilah para wanita yang berkewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dituntut untuk berkarier, keluar rumah. Akibatnya bisa terjadi pendidikan anak terabaikan, rumah tangga berantakan.

    2.Permasalahan Yang Berkenaan dengan Gender
    Diantara permasalahan-permaalahan yang berkenaan dengan gender adalah ketidak-adilan gender yang merupakan masalah yang sangat sering terdengar. Sekurang-kurangnya ada lima bentuk ketidak-adilan dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat:
    1.Subordinasi atau menomorduakan perempuan
    2.Pelabelan negatif (Citra Baku)
    3.Kekerasan
    4.Beban Ganda
    5.Marginalisasi (Peminggiran)

    3.Gender dan Emansipasi
    Emansipasi digunakan untuk menggambarkan berbagai upaya untuk mendapatkan kesamaan hak dalam berpolitik ataupun persamaan lainnya. Karenanya emansipasi bisa digunakan tidak hanya untuk wanita namun misalnya untuk peranakan cina di Indonesia yang sering menerima diskriminasi. Dalam konteks emansipasi wanita yang kamu maksud, itu adalah sebuah upaya untuk memperjuangkan persamaan hak bagi kaum wanita.
    Sedangkan persamaan gender adalah persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Karena selama ini kaum wanita yang seringkali didiskriminasikan, maka tertanam dalam pemahaman kita selama ini bahwa persamaan gender adalah tentang persamaan hak kaum wanita. Ini yang salah. Gender itu sendiri berarti kelamin dan bukan perempuan
    -Kesetaraan Gender adalah kesamaan peluang dan kesempatan dalam bidang sosial,politik dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Dengan memperoleh kesamaan peluang dan kesempatan itu setiap orang dapat berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan
    -Keadilan Gender adalah suatu perlakuan yang sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai manusia yang bermartabat dalam keluarga dan masyarakat (contoh: perempuan berhak menerima upah yang sama besar dengan laki-laki dan memiliki kesempatan yang sama dalam berpolitik dan bekerja);

    Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49). Para pakar mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki.Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1,”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

    B.HAM
    1.Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Islam
    Sesungguhnya agama Islam telah mendominasi benua Asia, Afrika, dan sebagian Eropa selama beratus-ratus tahun lamanya dan telah menjadi faktor penting bagi kebangkitan bangsa-bangsa Eropa (Luhulima, 1999). Tetapi fakta historis seperti ini jadinya diabaikan mereka, sesudah orang-orang Islam ditaklukkan dalam perang Salib terakhir (abad 14-15) di Eropa, hingga pasca perang dunia kedua (1945).

    Oleh karenanya, kita dapat menemukan di berbagai surat dalam Kitab Suci Al Qur`an yang diturunkan pada awal-awal periode Mekah, yang berbicata tentang pengutukan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku pada masa itu. Al Qur`an tidak hanya mengutuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu, tetapi juga memberikan motivasi secara positif kepada manusia untuk menghargai hak-hak tersebut.

    Nabi Muhammad S.A.W. yang kehidupannya merupakan praktik nyata dari kandungan Al-Qur`an, sejak awal kenabiannya telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak asasi manusia ini. Setelah beliau hijrah ke kota Madinah dan mendirikan secara penuh suatu negara Islam sesuai dengan petunjuk Illahi, maka beliau segera menerapkan program jangka panjang untuk menghapus segala bentuk tekanan yang ada terhadap hak-hak asasi manusia.

    Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan berbagai tindakan sebagaimana telah ditetapkan dalam Al Qur`an yang menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-hak asasi mansia. Selain itu, beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia ini untuk segala zaman ketika berkhutbah di depan kaum muslim pada waktu haji wada` (perpisahan), yakni sebagaimana diriwayatkan dalam H.R. Muslim ("Kitab al-Hajj"),
    Kedudukan penting HAM sesudah wafatnya Rosulullah S.A.W. dan diteruskan oleh Khulafa ar-Rosyidin, serta sistem kekuasaan Islam berganti dengan monarki. Di sini HAM dalam Islam tetap mendapatkan perhatian luar biasa masyarakat Islam. HAM dalam Islam bukanlah sifat perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang terbatas, namun merupakan tujuan dari negara itu sendiri untuk menjaga hak-hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terampas hak-haknya.

    Jadi, setiap prinsip dasar pemerintahan Islam pada hakikatnya adalah berlakunya suatu praktik usaha perlindungan dari terjadinya pelanggaran HAM. Kini Islam telah memberikan sinar harapan bagi umat manusia yang menderita dengan cara memberikan, melaksanakan, dan menjamin respek terhadap hak-hak asasi manusia itu.

    Selanjutnya, untuk menandai permulaan abad ke-15 Era Islam, bulan September 1981, di Paris (Perancis), telah diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia. Deklarasi ini berdasarkan Kitab Suci Al-Qur`an dan As-Sunnah serta telah dicanangkan oleh para sarjana muslim, ahli hukum, dan para perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia.
    Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan, yakni mencakup :
    1)Hak Hidup
    2)Hak Kemerdekaan
    3)Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang tidak terizinkan
    4)Hak Mendapat Keadilan
    5)Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
    6)Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
    7)Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
    8)Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
    9)Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
    10)Hak-hak Minoritas
    11)Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan Publik
    12)Hak Kebebasan Percaya, Berpikir, dan Berbicara
    13)Hak Kebebasan Beragama
    14)Hak Berserikat Bebas
    15)Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
    16)Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
    17)Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
    18)Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
    19)Hak-hak Wanita yang Sudah Menikah.
    20)Hak Mendapatkan Pendidikan
    21)Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
    22)Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal

    2.Konsepsi Hak Asasi Manusia dalam Islam
    Menurut Syekh Syaukat Hussain (1996), hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh agama Islam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu:
    1.HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia; dan
    2.HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi dan lain-lainnya yang mereka miliki.
    Hak-hak asasi manusia khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya merupakan beberapa contoh dari kategori hak asasi manusia-hak asasi manusia ini.

    Hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam ialah : (1) Hak Hidup; (2) Hak-hak Milik; (3) Hak Perlindungan Kehormatan; (4) Hak Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi; (5) Hak Keamanan Kemerdekaan Pribadi; (6) Hak Perlindungan dari Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang; (7) Hak untuk Memprotes Kelaliman (Tirani); (8) Hak Kebebasan Ekspresi; (9) Hak Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan; (10) Hak Kebebasan Berserikat; (11) Hak Kebebasan Berpindah; (12) Hak Persamaan Hak dalam Hukum; (13) Hak Mendapatkan Keadilan; (14) Hak Mendapatkan Kebutuhan Dasar Hidup Manusia; dan (15) Hak Mendapatkan Pendidikan.

    C.Plurelisme
    1.Definisi Pluralisme
    Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

    2.Pluralisme dalam islam
    Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama, artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah.

    Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Namun ada sebagian golongan yang menganggap bahwa pluralisme adalah-diantaranya-menganggap bahwa semua agama adalah sama.Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.

    Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
    Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.

    Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi.

    3.Pluralisme Agama
    a.Terminologi Pluralisme dan Penggunaannya
    Pluralisme ialah paham kemajemukan atau paham yang beroirientasi kepada kemajemukan yang memiliki berbagai penerapan yang berbeda dalam berbagai filsafat agama, moral, hukum dan politik dimana batas kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketuggalan. Seperti dalam filsafat, sebagian orang tidak mempercayai aspek kesatuan dalam makhluk-makhluk Tuhan, dan pandangan ini kemudian disebut dengan heterogenitas wujud dan maujud. Lawan pandangan ini ialah paham panteisme atau paham yang menolak segala heterogenitas (panteisme ekstrem), atau paham yang menerima adanya keanekaragaman sekaligus ketunggalan. Pembahasan tentang ini secara detail ada di buku-buku filsafat.

    Pluralisme agama di dunia Nasrani pada beberapa dekade akhir diprakarsai atau dipromosikan oleh John Hick kelahiran 1922. Dalam hal ini dia mengatakan, “Menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka.

    D.Multikulturalisme
    1.Pengertian Multikulturalisme
    Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.
    2.Sosialisasi Multikulturalisme
    a.Melalui pendidikan formal/non-formal; kurikulum merefleksikan pluralitas masyarakat, termasuk masyarakat yang selama ini terpinggirkan
    b.Merajut ingatan kolektif masyarakat yang inklusif
    c.Pendidikan multicultural di masyarakat di antaranya:
    d.Massa media dan seni: film, majalah, sastra, musik pop, teater, kesenian
    e.Kegiatan profesi, hobi, komunikasi internet
    f.Saling membagi pengalaman lintas budaya sehari-hari
    g.Mengangkat pahlawan multicultural orang-orang kecil, rekan-rekan pemuda yang melintasi batas budaya, kelas, agama, etnisitas, ras, gender untuk menolong orang lain di daerah konflik, bencana dan dalam kehidupan sehari-hari

    3.Islam dan Multikulturalisme
    Sebenarnya, cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikulturalisme dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut. Memang belakangan telah muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi dan agama. Namun, gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari ulama-ulama konservatif.

    E.Pemberdaya Ekonomi
    1.Islam dan Masalah Kemiskinan
    Sikap umat Islam dalam melihat persoalan kemiskinan beragam. Mansour Fakih memetakannya ke dalam empat sudut pandang, yakni perspektif tradisionalis, modernis, revivalis dan transformatif . Dalam penglihatan kaum tradisionalis, permasalahan kemiskinan umat adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Kemiskinan dipandang sebagai ujian atas keimanan. Di sisi lain, pemikiran modernis menilai bahwa permasalah kemiskinan dan keterbelakangan pada dasarnya berakar pada persoalah karena ada yang salah dari sikap mental, budaya atau teologi mereka. Oleh karena itu, agar keluar dari lembah kemiskinan umat Islam harus mengubah pemikiran dan sikap keagamaan sesuai dengan semangat modernitas.

    Bagi penganut paham revivalis kemiskinan terjadi disebabkan karena semakin banyak umat Islam yang justru memakai ideologi atau “isme” lain sebagai dasar pijakan tinimbang menggunakan Al-Qur’an. Untuk menanggulangi kemiskinan, menurut mereka adalah dengan cara keluar dari belenggu ideologi di luar Islam (baca: sekuler) dan kembali pada landasan Islam, A-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan pemikiran transformatif percaya bahwa kemiskinan rakyat disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik dan kultur yang tidak adil. Oleh sebab itu, agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, sosial-politk dan budaya.
    2.Dakwah dan pemberdayaan ekonomi umat
    Dakwah lewat pemenuhan kebutuhan pokok sudah tentu tidak dengan cara langsung memberikan ‘ikan’ kepada kaum miskin, karena akan semakin menambah ketergantungan. Tetapi dengan cara membuat ‘kail’ sekaligus ‘sungai’/’lautan’ sistem ekonomi berkeadilan sehingga memungkinkan mereka dapat mengais nafkah hidup secara mandiri dan bermartabat.

    Dalam perspektif ekonomi Islam terkandung pada filosofi kewajiban yang gigih mengendalikan dan memperkuat tekanan ekonomi agar selaras dengan ketentuan filsafat moral islam. Ekonomi Islam tidak mengajarkan kesenangan yang tidak bermoral. Dalam pemberdayaan ekonomi perlu redistribusi pendapatan dan kekayaan untuk meningkatkan kesejahteraan materil dan rohani.

    F.Radikalisme
    1.Pengertian Radikalisme
    Radikalisme dalam beragama, atau “at-tatharruf ad-diiniy” didefinisikan oleh beliau sebagai suatu tindakan yang ‘berada di ujung’ atau ‘jauh dari pertengahan’. Sikap ini berlawanan sekali dengan sikap moderat atau “wasathiyah” yang diajarkan di dalam Islam. Ada pula istilah-istilah lain yang memiliki makna yang mirip dengan radikalisme ini, antara lain “ghuluw” (berlebihan), “tanaththu’” (melampaui batas), dan “tasydiid” (kerasa atau mempersulit). Semua makna ini menunjukkan bahwa sikap radikalisme adalah suatu sikap yang tidak diinginkan dalam Islam. Sebagai istilah yang cukup tua, radikalisme telah mengalami berbagai koreksi makna. Pemaknaan konsep ini sepertinya sangat tergantung pada “iklim” zaman. Terlepas dari semua perdebatan tentang makna istilah ini, sebagaimana makna umum yang dipakai sekarang, penggunaan istilah radikalisme di sini berintikan pemikiran garis keras dalam Islam yang seringkali membuahkan aksi-aksi kekerasan dan terorisme.

    Menguatnya radikalisme dalam Islam belakangan ini, yang ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan teror, telah menyedot banyak potensi dan energi kemanusiaan. Pengeboman di berbagai tempat telah merenggut hak hidup banyak orang yang tidak berdosa. Berbagai seminar dan dialog juga telah digelar untuk mengupas persoalan ini, sejak dari pencarian sebab sampai pada penawaran solusi.

    2.Kemunculan Radikalisme
    a.Pertama, pemahaman keagamaan yang keliru.
    b.Kedua, kekecewaan terhadap realitas kehidupan yang jauh dari nilai Islami.
    c.Ketiga, ketidakadilan sosial yang dialami umat Islam di banyak negara yang berpangkal pada ketidakadilan global oleh sistem dunia yang sekuler

    3.Radikalisme Dalam Agama
    Radikalisme dalam beragama harus dicegah sejak awal. Dalam urusan melempar jumrah, misalnya, Rasulullah saw. pernah memperingatkan kita agar tidak berlebihan. Cukuplah dengan kerikil kecil saja. Melempar jumrah dengan batu sebesar kepalan tangan, misalnya, tidak akan menambah keutamaan ibadah tersebut.

    Masih banyak jenis sikap radikal dalam beragama yang lainnya.Untuk itu, penuntasan masalah radikalisme dalam Islam mesti menyentuh berbagai persoalan di atas. Harus disadarkan bahwa kekerasan bukanlah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran dan metode aksi dalam menciptakan tatanan dunia yang damai dan agung. Adalah tugas setiap muslim, terutama ulama, dalam menyadarkan setiap orang yang telah terjabak pada penjara radikalisme. Mereka harus benar-benar menyadari bahwa kekerasan seperti itu bukanlah ajaran Islam.

    more

Buka Semua Folder | Tutup Semua

Kamus Online

Komentar Terbaru