Advertisement

  • PENYIMPANGAN TASAWUF DARI SEGI AQIDAH

    Oleh : Maltuful Anam

    BAB I
    PENDAHULUAN


    A.Latar Belakang
    Kita semua tahu mengapa Iblis dilaknat Allah selama-lamanya? Karena dia mendustakan ayat-ayat Allah. Kita semua tahu mengapa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memberitahukan bahwa segala bentuk aturan yang diada-adakan dalam Islam pelakunya di neraka? Karena ia membuat kedustaan terhadap Allah, karena ibadah yang dilakukannya dinyatakan sebagai bagian dari agama Allah dan berasal dari-Nya.

    Memang sepintas lalu tidak ada yang perlu disangsikan tentang tasawuf, apalagi para pelakunya adalah orang-orang yang tekun beribadah, shalat malam, puasa, dan bahkan banyak yang tidak pernah lowong puasanya, walau satu hari pun. Sehingga banyak orang-orang pada zaman sekarang yang dangkal ilmu agamanya, lansung terpesona, lalu mereka pun bergabung dengan kelompok-kelompok sufi.

    Banyak ghuluw yang dilakukan orang-orang sufi, yang membuat mereka nyaris lepas dari Islam laksana anak panah yang lepas dari tali busurnya. Di dalam makalah ini kita dapat membaca berbagai penyimpangan mereka, dari perkataan yang diyakini mereka sebagai kebenaran padahal tidak lain merupakn penyelewengan dari agama, dan pada juga sekte-sekte ekstrim dalam dunia tasawuf yang membuat mereka tersesat dari kebenaran.

    Yang pasti menurut strategi Iblis dalam peperangan, dia lebih suka berkonspirasi dengan orang-orang sufi yang mengikuti jalan bid'ah daripada berkonspirasi dengan maling, perampok, pezina, pencuri, dan bahkan orang kafir sekalipun. Suatu saat bila datang hidayah para pendosa tersebut dapat bertaubat dari dosa-dosanya. Tapi orang sufi dan ahli bid'ah jangan harap mau bertaubat, karena mereka menganggap amalannya merupakan bagian dari syariat dan ajaran Islam. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari mereka. Setidak-tidaknya, itulah yang melatar belakangi makalah yang ada di hadapan para pembaca sekalian, sekaligus memunculkan rumusan masalah dibawah ini.

    B.Rumusan Masalah
    1.Bagaimanakah Historisitas Tasawuf?
    2.Bagaimana Penyimpangan Ajaran Tasawuf dari Segi Aqidah?
    3.Apasajakah sekte-sekte yang menyimpang dalam tasawuf dari Segi Aqidah?

    C.Tujuan
    Bagi yang merasa penasaran atau mulai tertarik mendalami tasawuf, sebaiknya tahu dulu baik-buruknya, menimbang plus-minusnya, dan mempelajari seluk-beluknya secara sungguh-sungguh. Begitulah tuntunan Islam. Bahkan calon muallaf pun tak perlu disuruh cepat-cepat memeluk agama Islam kalau memang belum paham benar tentang Islam dan pernak-perniknya. Karena itu, melangkah dengan nol persiapan ke dalam dunia tasawuf adalah sebuah kebodohan yang amat nyata.

    Apa gunanya tasawuf? Atau, kalau mau pertanyaannya ‘dipermudah’ lagi, bolehlah kita modifikasi menjadi : Mau apa ikut tasawuf?
    Penulis berharap bagi yang mempunyai ketertarikan dengan tasawuf mengerti dengan fenomena –fenomena penyelewengan yang terjadi dalam tasawuf agar tidak serta merta menilai tasawuf sebagai ajaran sacral yang tidak mengenal kesalahan.

    BAB II
    PEMBAHASAN


    A.Historisitas Tasawuf
    Kata “Tasawuf” dan “Sufi” belum dikenal pada masa-masa awal Islam, kata ini adalah ungkapan baru yang masuk ke dalam Islam yang dibawa oleh ummat-umat lain.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawa berkata: “Adapun kata Sufi belum dikenal pada abad-abad ke tiga hijriah, akan tetapi baru terkenal setelah itu. Pendapat ini telah diungkapkan oleh lebih dari seorang imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad-Darani dan yang lain. Terdapat riwayat bahwa Abu Sufyan Ats-Tsauri pernah menyebut-nyebut tentang sufi, sebagian lagi mengungkapkannya dari Hasan Basri. Ada perbedaan pendapat tentang kata “sufi” yang disandingkan dibelakang namanya, yang sebenarnya itu adalah nama nasab seperti “qurosyi”, “madany” dan yang semacamnya.

    Ada yang mengatakan bahwa kalimat sufi berasal dari kata: Ahlissuffah ) , hal tersebut keliru, karena jika itu yang dimaksud maka kalimatnya berbunyi : Suffiyy (صفِّيّ). Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah barisan (shaf) terdepan dihadapan Allah, hal itu juga keliru, karena jika yang dimaksud demikian, maka yang benar adalah: صفِّيّ . Ada juga yang mengatakan bahwa ungkapan tersebut bermakna: makhluk pilihan Allah (صفوة), itu juga keliru, karena jika itu yang dimaksud, maka ungkapan yang benar adalah Shafawy (صَفَوِي). Ada yang mengatakan bahwa kalimat sufi berasal dari nama seseorang yaitu Sufah bin Bisyr bin Ad bin Bisyr bin Thabikhah, sebuah kabilah arab yang bertetangga dari Mekkah pada zaman dahulu yang terkenal suka beribadah, hal inipun jika sesuai dari sisi kalimat namun juga dianggap lemah, karena mereka tidak terkenal sebagai orang-orang yang suka beribadah dan seandainyapun mereka terkenal sebagai ahli ibadah, maka niscaya julukan tersebut lebih utama jika diberikan kepada para shahabat dan tabi’in serta tabi’ittabiin.

    Disisi lain orang-orang yang sering berbicara tentang istilah sufi tidaklah mengenal suku ini dan mereka tentu tidak akan rela jika istilah tersebut dikatakan berasal dari sebuah suku pada masa jahiliah yang tidak ada unsur Islamnya sedikitpun. Ada juga yang mengatakan –dan inilah yang terkenal- bahwa kalimat tersebut berasal dari kata الصوف (wol), karena sesungguhnya itulah kali pertama tasawuf muncul di Basrah.

    Yang pertama kali memperkenalkan tasawuf adalah sebagian sahabat Abdul Wahid bin Zaid sedangkan Abdul Wahid merupakan sahabat Hasan Al-Basri, dia terkenal dengan sikapnya yang berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah dan sikap khawatir (khouf), satu hal yang tidak di dapati pada penduduk kota saat itu. Abu Syaikh Al-Ashbahani meriwayatkan dalam sanadnya dari Muhammad bin Sirin yang mendapat berita bahwa satu kaum mengutamakan untuk memakai pakaian dari wol (shuf), maka dia berkata: “Sesung-guhnya ada suatu kaum yang memilih pakaian wol dengan mengatakan bahwa mereka ingin menyamai Al-Masih bin Maryam, padahal petunjuk nabi kita lebih kita cintai, beliau dahulu mengenakan pakaian dari katun atau lainnya, atau ucapan semacam itu”.

    Kemudian setelah itu dia berkata: “Mereka mengaitkan masalah itu dengan pakaian zahir yaitu pakaian yang terbuat dari wol maka mereka mengata-kannya sebagai sufi, akan tetapi sikap mereka tidak terikat dengan mengenakan pakaian wol tersebut, tidak juga mereka mewajibkannya dan menggan-tungkan permasalahannya dengan hal tersebut, akan tetapi dikaitkannya berdasarkan penampilan luarnya saja. Itulah asal kata tasawuf, kemudian setelah itu dia bercabang-cabang dan bermacam-macam” demi-kianlah komentar beliau –rahimahullah- ) yang men-jelaskan bahwa tasawuf mulai tumbuh berkembang di negri Islam oleh orang-orang yang suka beribadah di negri Basrah sebagai dampak dari sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah dan kemudian berkembang setelah itu, bahkan para penulis belakangan sampai pada kesimpulan bahwa tasawuf merupakan pengaruh dari agama-agama lain yang masuk ke negri-negri Islam, seperti agama Hindu dan Nashara. Pendapat tersebut dapat dimengerti berdasarkan apa yang diucapkan Ibnu Sirin yang mengatakan:

    “Sesungguhnya ada beberapa kaum yang memilih untuk mengenakan pakaian wol seraya mengatakan bahwa hal tersebut menyerupai Al-Masih bin Maryam, padahal petunjuk Nabi kita lebih kita cintai”. Hal tersebut memberi kesimpulan bahwa tasa-wuf memiliki keterkaitan dengan agama Nashrani !!.

    Doktor Sabir Tu’aimah menulis dalam bukunya: As-Sufiyah, mu’takadan wamaslakan (Sufi dalam aqidah dan prilaku): “Tampaknya tasawuf merupakan akibat dari adanya pengaruh kependetaan dalam agama Nashrani yang pada waktu itu para pendetanya mengenakan pakaian wol dan mereka banyak jumlahnya, yaitu golongan orang-orang yang total melakukan prilaku tersebut di negeri-negeri yang dimerdekakan Islam dengan pengaruh tauhid, semuanya memberikan pengaruh yang tampak pada prilaku generasi pertama dari kalangan tasawuf “ )

    Syaikh Ihsan Ilahi Zahir –rahimahullah- dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf, Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya) berkata: “Jika kita amati ajaran-ajaran tasauf dari generasi pertama hingga akhir serta ungkapan-ungkapan yang bersumber dari mereka dan yang terdapat dalam kitab-kitab tasauf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa disana terdapat perbedaan yang sangat jauh antara tasauf dengan ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah, begitu juga kita tidak akan mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah Rasulullah serta para shahabatnya yang mulia yang merupakan makhluk-makhluk Allah pilihan. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan Buda” ).

    Syekh Abdurrahman Al-Wakil –rahimahullah- ber-kata dalam mukadimah kitabnya: Mashra’ut Tashaw-wuf (keruntuhan tasawuf): “Sesungguhnya tasauf rekayasa setan yang paling hina dan pedih untuk memperbudak hamba Allah dalam rangka memerangi Allah dan Rasul-Nya, diapun merupakan tameng orang-orang Majusi dengan berpura-pura seolah-olah bersumber dari Allah, bahkan dia merupakan tameng setiap sufi untuk memusuhi agama yang haq ini. Perhatikanlah, akan anda dapatkan didalamnya kependetaan Buda, Zoroaster, Manuiah dan Disaniah. Andapun akan mendapatkan didalamnya Platoisme, Ghanusiah, didalamnya juga terdapat unsur Yahudi, Kristen dan Paganisme (berhalaisme) Jahiliah “ ).

    B.Penyimpangan Ajaran Tasawuf dari Segi Aqidah
    Awalnya para sufi pertama berkomitmen pada Qur'an dan Sunnah. Namun, selanjutnya, tasawuf dipenuhi filsafat yang memuat paham-paham asing dalam dunia Islam.
    Generasi awal yang terdiri dari para sahabat dan tabi'in menerima dan mengajarkan Islam secara utuh, seimbang, mendalam dan komprehensif. Mereka tidak menonjolkan salah satu bidang, sementara bidang yang lain dilupakan. Ketika mereka memperhatikan aspek batiniyah, mereka tidak melupakan aspek lahiriyah. Ketika mereka mengejar urusan ukhrawi, mereka tidak melalaikan urusan duniawi. Pendek kata, mereka memberi perhatian terhadap akal, ruh, dan jasad secara menyeluruh dan seimbang.

    Waktu terus bergerak, perubahanpun terjadi. Karena faktor internal dan eksternal, mulai didapati individu-individu tertentu atau bahkan sekelompok orang yang mengkhususkan diri untuk mendalami salah satu bidang tertentu dari ajaran Islam. Di antaranya ada yang mengkhususkan diri menelaah masalah-masalah ibadah dan segala urusan perintah dan larangan agama. Mereka ini kemudian dikenal dengan ahli fiqih atau fuqaha. Dari sini lahir empat imam madzhab yang sangat terkenal, yaitu Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.

    Sebelumnya ada segolongan orang yang lebih menitik beratkan perhatiannya pada masalah-masalah iman dan keyakinan. Mereka ini kemudian dikenal sebagai ahli ilmu kalam, filsuf, atau teolog Islam. Bidang ini selain melahirkan tokoh-tokoh besar, juga menghasilkan berbagai aliran pemikiran mengenai pokok-pokok agama (ushuluddin), di antaranya adalah Jabariyah dan Qadariyah yang sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah pemahaman kaum Muslimin.

    Tak lama kemudian segolongan orang lagi memusatkan perhatiannya pada aspek ruhani dan kejiwaan. Mereka itulah yang kemudian hari dikenal sebagai ahli tasawuf atau kaum sufi. Kemunculan mereka sesungguhnya dipicu oleh keadaan di mana sebagian kaum Muslimin sudah tenggelam dalam kemewahan hidup materialistis. Sebagian dari penguasa dan orang-orang kaya mulai terjangkiti penyakit hedonistis.

    Saat itu harta kekayaan ummat Islam melimpah seiring dengan perluasan wilayah yang semakin ekspansif. Serdadu Muslim selain membawa pulang harta rampasan juga gaya hidup baru. Tak heran jika kemudian para penguasa menjiplak gaya hidup kaisar dan kaisar yang berkuasa di negara-negara tiranis. Adapun orang-orang kaya sibuk menambah kekayaannya dan melupakan kehidupan ukhrawi. Gaya hidup baru seperti itu sama sekali tak terlihat pada masa rasulullah dan para sahabatnya.

    Kemunculan ahli tasawuf ini pada mulanya bertujuan untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari pola hidup hedonis yang murkai Allah Subhaanahu wa ta'ala. Mereka menyeru kehidupan sederhana dengan cara memerangi hawa nafsu. Gaya hidup yang ditawarkan kaum sufi itu kemudian dikenal dengan istilah zuhud, yang kemudian pengertiannya meluas hingga meninggalkan ingar bingar kehidupan ramai.

    Tasawuf sebagai pendatang baru segera diterima oleh masyarakat Muslim yang saat itu mulai merasakan kekeringan ruhani. Tasawuf datang mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh fiqih dan ilmu kalam, sebab kedua bidang ilmu yang disebutkan terakhir itu lebih menekankan pada aspek pikir dan segala sesuatu yang bersifat lahir. Sementara tasawuf menawarkan sesuatu yang bersifat batin.

    Sebenarnya pada setiap agama, tidak saja agama Islam mempunyai kecenderungan dan tradisi tasawuf, yaitu arahan untuk memperdalam aspek ruhani. Bahkan pada agama Hindu di India, misalnya, terdapat orang-orang yang menaruh perhatian yang sedemikian rupa terhadap masalah ruhaniyah sampai sampai mereka membiarkan dirinya dalam kefakiran, bahkan ada kecendrungan untuk menyiksa fisik untuk tujuan kesucian jiwa. Demikian halnya dalam agama Mesehi, terutama dalam kehidupan kependetaan.

    Di masa Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wa sallam kecenderungan sebagian sahabat untuk menjalani kehidupan kesufian sebenarnya telah ada. Akan tetapi karena Islam diturunkan bukan untuk menonjolkan satu aspek saja, maka kecenderungan itu telah diposisikan kembali oleh Rasulullah pada titik equilibrium yang tepat. Islam datang membawa keseimbangan antara kehidupan ruhani, kehidupan jasmani, dan akal pikiran.
    Ketika Abdullah bin Amr bin 'Ash melakukan puasa terus menerus setiap harinya, shalat malam hingga tidak tidur, serta meninggalkan kewajibannya sebagai suami terhadap istrinya, maka Rasulullah saw menegurnya secara keras. Beliau bersabda:
    "Wahai Abdullah, sesungguhnya matamu mempunyai hak atasmu, sesungguhnya keluargamu punya hak atasmu, sesungguhnya istrimu mempunyai hak atasmu, dan sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu, maka berikanlah masing-masing yang mempunyai hak atas haknya."

    Potensi kesufian itu sebenarnya telah ada pada setiap orang, oleh karenanya ketika potensi itu dipupuk dan disiram dengan baik, maka ia akan tumbuh subur dan berkembang secara cepat. Bahkan ada kecenderungan pertumbuhannya menjadi tak terkendali.

    Ketika masyarakat Muslim mendewakan akal dan iman tidak lebih dari ungkapan filsafat yang diperdebatkan dalam forum-forum diskusi yang tidak memuaskan ruhani, dan fiqih hanya mempersoalkan amalan badaniyah dan bukan amalan ruhani, maka Tasawuf adalah jawabannya. Tidak ada yang dapat menutup kekosongan dan kehampaan ruhani ini kecuali Tasawuf. Tidak ada yang dapat menghilangkan kelaparan ruhani kecuali kaum sufi. Mereka berusaha membersihkan batin sebelum membersihkan lahirnya. Mereka mengobati penyakit jiwa, memprioritaskan amalan hati, dan menyibukkan diri dengan pendidikan ruhani dan akhlaq.

    Ahli tasawuf periode pertama sebenarnya masih komitmen terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah, mengikuti batas-batas syara', dan menjauhi bid'ah dan khurafat, baik dalam pemikiran maupun perilakunya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya tasawuf beralih dari pendidikan akhlaq dan pendidikan ruhani kepada filsafat yang memuat paham-paham yang asing dalam dunia Islam. Tokoh-tokoh mereka mulai memalingkan ajaran tasawuf dari sumber pokok ajaran islam yang asli dan otentik.

    Saat itu mulia diperkenalkan ajaran tentang hulul, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan ber-reinkarnasi dalam tubuh manusia. Yang lain adalah wihdatul wujud, kesatuan wujud. Bahwa yang ada hanya Allah, yang karenanya Allah adalah alam dan alam adalah Allah. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh Al-Hallaj yang karena telah tertipu oleh syetan sampai ia mengatakan: "anallah", aku adalah Allah. Inilah penyimpangan tasawuf yang paling besar, yang ajarannya mengadop dari ajaran Masehi yang mempercayai bahwa al-Khaliq berinkarnasi dalam tubuh Isa Al-Masih.

    Puncak dari penyimpangan wihdatul wujud itu adalah ketika ajaran ini memperkenalkan bahwa tidak ada lagi yang bernama al-Khaliq (Pencipta), yang dengan sedirinya tidak ada yang disebut makhluq. Tidak ada rabb (Tuhan), juga tidak ada marhub (Yang dipertuhan). Inti dari ajaran ini adalah meniadakan tanggung jawab, baik individual maupun sosial, yang justeru merupakan pilar utama akhlaq Islam. Dalam pandangan ini, tidak ada bedanya antara orang baik dan orang jahat, antara penyembah tauhid dan penyembah berhala, karena semua yang ada merupakan lambang dari wujud Tuhan.

    Di luar penyimpangan yang tidak terampuni itu, kecenderungan orang yang menempuh jalan tasawuf untuk bersikap berlebih-lebihan dalam agama. Kegairahan mereka yang berlebih-lebihan itu akhirnya menjebaknya pada suatu sikap yang sama sekali tidak dibenarkan syari'at. Bahkan ada kalangan tertentu yang berani berdusta atas nama Rasulullah dengan mengeluarkan hadits yang sama sekali tidak berasal dari beliau Saw. Dengan enteng mereka mengatakan, jika untuk fadhailul a'mal dan menganjurkan kebaikan, kenapa dilarang?

    Hal lain bahwa di antara kaum sufi ada yang menjadikan perasaan pribadi atau ilham sebagai tolok ukur untuk mengetahui baik buruk, dan benar salah. Padahal al-Qur'an dan as-Sunnah adalah timbangan yang sebenarnya.

    Di antara mereka ada yang memisahkan antara syari'at dan hakikat. Mereka memandang remeh syari'at dan mengagungkan hakikat, seolah-olah mereka yang sudah sampai pada maqam hakikat tidak memerlukan lagi syari'at.

    Secara tegas, Abdul Qodir mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf, baik teori wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau al-liqa', semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah ajaran Hindu yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke tasawuf Islam lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Kristen zaman kekhalifahan abad kedua Hijriah.

    Demikian halnya dengan kecenderungan para mutasawwif yang meremehkan kehidupan dunia, sementara ajaran Islam sama sekali tidak menghinakan dunia. Bahkan kaum Muslimin dianjurkan berdo'a.

    C.Sekte-Sekte Sesat Dalam Tasawuf dari Segi Aqidah
    Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk /Manunggaling Gusti ing kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.

    Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah- pada tahun 309 H. Di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):
    Maha suci (Allah) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus
    Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya
    dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
    Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
    seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata
    Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:
    Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku
    kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
    Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
    Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami

    Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli Tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini Dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.

    Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena ke-zindiqan-nya sehingga sebagian orang-orang ahli Tasawuf menyatakan berlepas diri darinya-, tetap saja ada orang-orang ahli Tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).

    Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) -maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah wong elek yang bernama Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354) yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus.

    Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal.43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:
    Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba
    duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
    Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
    Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!


    Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah”.
    Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.


    BAB III
    PENUTUP


    Kesimpulan
    1.Dari apa yang diketengahkan oleh para penulis muslim masa kini tentang asal usul tasawuf, dan masih banyak selain mereka yang tidak dise-butkan yang menyatakan hal serupa, maka jelaslah bahwa sufi adalah sesuatu yang dimasukkan ke dalam ajaran Islam yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi pengikutnya dengan cara-cara yang aneh dan jauh dari hidayah Islam.

    Mengenai disebutkannya secara khusus kalangan sufi generasi kemudian (muta’akhirin) adalah karena pada mereka banyak terdapat penyimpangan-penyimpangannya. Sedangkan kaum sufi terdahulu, mereka relatif lebih moderat, seperti Fudhail bin ‘Iad, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain lain.

    2.Pada hakekatnya ajaran tasawuf yang dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi filsafat yang disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya ternyata bersumber dari ajaran Hindu.

    3.Jelaslah bagi kita semua bahwa sebagian ajaran Tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini -na’udzu billah min dzalik- seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.

    Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?”, Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting tentang tasawuf), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla.


    DAFTAR PUSTAKA

    Sholeh Fauzan, Hakekat Sufi & Sikap Kaum Sufi Terhadap Prinsip Ibadah Dan Agama, PT Bina Karya, jakarta 1998.
    Majmu’ Fatawa, Vol 11/5. Jakarta 1996.
    Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta 1999.
    www.geocities.com
    www.muslim.or.id

1 comments:

  1. Anonymous says:

    lebih tepat kalau penulis mendalami dulu arti tashawuf dengan benar dan bijak sebelum menulis, yang seperti ada sebutkan bukanlah seluruh aliran tashawuf seperti itu.
    dalam diri manusia ada badan, hati dan ruh. apakah ibadah hanya terbatas pada badan saja, tentu tidak kan

Leave a Reply

Buka Semua Folder | Tutup Semua

Kamus Online

Komentar Terbaru