Advertisement

  • Bahasa Al-Qur’an dalam Perspektif Psiko-sosio Linguistik




    Oleh : Bahauddin

    A. Teks Bahasa (Al-Quran) dan Muatan Sakralitas
    Sebelum bernjak pada telaah bahasa Al-Qur’an, ada baiknya disini dikemukakan cerita-cerita tentang sakralisasi teks Al-Qur’an. Salah satu ‘ketentuan agama’ yang biasanya diajarkan waktu nyantri di pondok tradisional adalah bahwa kita tidak boleh sekali-kali menyentuh mushaf Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci. Itu melanggar larangan Tuhan. Di daerah tertentu, bahkan bukan hanya pada teks bahasa Al-Qur’an saja, teks-teks Arab pun juga diyakini memiliki nilai magis, semisal rajah (jimat, madura)—semacam tulisan berbahasa Arab dengan komposisi tertentu yang mempunyai kekuatan magis. Syahdan, beberapa jenis tertentu dari ‘resep sakti berhuruf Arab gundul’ itu, yang tentunya juga bersumber dari agama, tidak boleh dibawa saat kita sedang punya hajat di kamar kecil. Jika ternyata kita sampai melakukannya, keampuhannya akan serta-merta menguap dan memudar.salah-salah, kita sendirilah yang kena kualat dan harus menanggung resikonya; entah mendadak sakit, entah kerasukan, atau sekedar tertimpa sial terentu.

    Begitulah, realitas yang sedang bergulir ditrngah masyarakat kita, meski sudah mengalami berbagai perubahan, bahkan distorsi, keyakinan-keyakinan itu masih terus berkanjut hingga sekarang. Pada saat bersamaan, mereka sama sekali tak pernah hirau dan seolah tak punya persoalan samasekali dalam hal perlakuan terhadap barang-barang cetakan yang bertuliskan huruf-huruf selain Arab, seperti majalah, buku sekolah, koran atau semacamnya.



    Oleh karenanya, barangkali mereka akan terkejut jika diberi tahu bahwa sekarang ini Al-Qur’an juga telah dijadikan unit-unit informasi digital yang letaknya dicampuradukkan begitu saja dan bahkan disimpan di situs-situs internet bersama gambar-gambar lelaki-perempuan telanjang. Juga dicampur dengan aneka ragam adegan-adegan persenggamaan paling liar dalam segala posisi, menurut gaya berbagai benua, yang bisa diakses kapan saja, lewat sebuah layar monitor dan kita bisa berpindah-pindah kian kemari hanya meng-klik sebuah tombol mouse saja.

    Dalam istilah yang lebih keren, apa yang menjadi keyakinan mereka itu sebenarnya adalah suatu bentuk sakralisasi terhadap teks (bahasa). Jika benar demikian, untuk kasus Al-Qur’an, sakralisasi itu juga berlangsung melalui pelajaran ilmu tajwid dan makhraj (fonetik-fonologi bahasa Arab) yang kemudian telah menjadi hukum agama tersendiri dengan segala sangsinya. Kata orang-orang linguistic, sakralisasi ini, jika ditelusuri sebetulnya berkait dengan pemahaman tertentu atas bahasa dan manifestasinya. Dalam konsep begini, teks lebih dimengerti sebagai bahasa tertulis (written language), sedang bahasa dipahami sebagai media representasi objektif dari kesunyatan, kenyataan-kebenaran. Semakin tinggi nilai kenyataan yang di representasikan oleh bahasa, karena itu, semakin sakral pula sebuah teks. Teks Al-Qur’an harus dilakukan sedemikian rupa, seperti yang terjadi pada deskrepsi masyarakat diatas, karena ia dianggap sebagai bentuk representasi obyektif dari kesunyatan mutlak, yakni wahyu Tuhan. Teks kitab kuning dan rajah memiliki kesakralanya sendiri-sendiri menurut tingkat yang berbeda, karena apa yang dikandungnya. Dalam kerangka teks yang dimengerti sebagai bahasa tertulis ini, wacana (discourse) diartikan sebagai wilayah dimana pesan-pesan lisan beroperasi.

    Lebih jauh lagi, menurut pandangan ini, kenyataan diyakini sebagai benar-benar maujud, ada dan berdiri sendiri secara penuh, qiyamuhu bi nafsihi, diluar bahasa. Bahasa adalah tatanama, suatu daftar istilah yang mewakili sejumlah hal atau benda-benda. Asumsinya, memang telah ada gagasan sebelum ada kata. Dan bahwa, sekali lagi, bahasa merupakan media yang dapat merepresentasikan kenyataan tadi secara obyektif, apa adanya, tanpa imbas-imbas subyektif, didepan manusia. Dalam kalimat lain, keberadaan kenyataan tidak ditentukan oleh bahasa, dan bahwa representasi kenyataan melalui bahasa pun tidak mempengaruhi obyektifitas dari keberadaan kenyataan tadi.
    Sehingga, kata whedus (kambing-jawa), misalnya, memang betul-betul dipahami sebagai pengertian yang merujuk pada suatu entitas biologis diluar kata itu. Wedus sebagai kenyataan akan tetap ada, baik kata wedus itu ada atau tidak. Dan bahwa berkat kesamaan obyek rujukan diluar bahasa, perbedaan sebutan: kambing, goat, ghanam, embi’ (madura), atau apapun; tidaklah mengubah sesuatu, sehingga sebagai kenyataan ia tetap kita tangkap secara obyektif, apa adanya.

    Dalam kaitan dengan pemahaman bahasa dan kenyataan demikian inilah, teks sebagai bahasa tertulis, lalu dipahami sebagai alat konkretisasi bagi apa yang abstrak, bahkan fisikalisasi bagi apa yang bersifat metafisis, termasuk juga bahasa Al-Qur’an sebagai bahasa tertulis. Ia adalah penambat apa yang terus bergerak dan pengungkap apa yang tersembunyi gampangnya, ia adalah benda berkekuatan gaib, yang bisa membuat kenyataan yang semula tak terbatas menjadi terbatasi. Sejalan dengan itu teks juga dipahami sebagai suatu yang utuh, otonom. Karena itu pula teks kemudian diyakini memiliki kesatuan makna. Di balik keanekaan penanda teks yang fana, tersimpan makna tunggal yang abadi, yang tidak berubah-ubah. Dan itulah kebenaran. Tidak heran, aktifitas membaca pun lalu menjadi ikhtiar untuk menemukan kesatuan makna tadi, yakni demi merengkuh kebenaran yang sejati. Selain itu, teks juga mesti dipelihara dari segala bentuk pencemaran. Sebab begitu ia rusak, maka otomatis jalan menuju kebenaran sejati akan menjadi runyam jadinya. Konsekuensinya, lebih dari upaya penemuan, pembacaan lalu menjadi usaha untuk mempertahankan dan memperjuangkan kebenaran sejati yang tak berubah-ubah itu. Kiranya, inilah yang menjadi pendorong munculnya sakralisasi teks kebahasaan, termasuk Al-Qur’an menjadi suatu keniscayaan.

    B. Ferdinand de Saussure dan Konsep Bahasa
    Ada pertanyaan mendasar dalam kajian linguistik, yakni apakah bahasa merupakan media representasi obyektif atas kenyataan sebagaimana pandangan di atas? Ternyata, ada pendapat lain yang berbeda, kalau tidak dikatakan bertolak sama sekali dengan perspektif yang diuraikan di atas. Adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang Linguis berkebangsaan Perancis dan pencetus konsep “oposisi biner” , yang berpendapat bahwa “bahasa adalah sistem tanda, di antara sistem-sistem yang lain.Yang dimaksudkan dengan ‘tanda’ adalah ‘sesuatu yang merujuk kepada sesuatu yang lain’. Ilmu yang mempelajarinya disebut semiologi atau semiotika: ilmu tanda.{istilah “semiologi” ini umum dipakai di Eropa Daratan, biasanya bermadzhab Saussurean, sedang “semiotika” digunakan di Negara-negara berbahasa Inggris, dengan tokoh perintisnya Charles Sanders Pierce (1839-1914).

    Bagi Saussure, tanda selalu hadir dalam bentuknya yang dwi-muka . Tanda selalu memiliki dua aspek: aspek penanda (signifier) dan aspek pertanda (signified). Penanda adalah aspek material, wujud lahiriyah, dari tanda. Ia bkisa berupa bunyi-bunyi beraturan yang dikeluarkan orang selagi bicara atau bentuk-bentuk sistem perlambangan tertentu yang kemudian laxim disebut “tulisan”. Tapi menurutnya, penenda ini sesungguhnya lebih berwujud citra bunyi (acouistic image), yang tidak harus diucapkan atau dituliskan. Melainkan, keberadaannya lebih sering dibayangkan dalam batin kita sendiri. Bukankah, bahkan selagi diam, kita sering bicara sendiri? Sedang petanda adalah aspek mental dari tanda, yakni konsep mengenai apa yang diacu. Petanda, karena itu, bukanlah referen atau rujukan, melainkan konsep mengenainya. Yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa kaitan dan keberadaan penanda-penanda ini selalu bersifat saling mengandaikan secara niscaya dan tak terpisahkan. Tidak ada penanda tanpa petanda, begitu juga sebaliknya.

    Harus segera ditambahkan pula, pada kenyataannya, apa yang semula dianggap petanda, ketika dilacak lebih jauh, ternyata ia segera berubah mejadi tanda yang lain, yang juga memiliki dua aspek: penanda-petanda. Begitupun petanda berikutnya, juga adalah hal yang sama belaka: tanda yang berdiri dari penanda dan petanda. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem rangkaian tanda yang tak berpangkal dan berujung. Untuk mengatakan kenyataan, tanda yang satu hanya terus saling menunjuk yang lain, tapi mereka tak pernah benar-benar berhenti dan menunjuk langsung pada kenyataan itu sendiri. Makanya, bisa dikatakan, bahwa untuk menerangkan arti sebuah kata sesungguhnya kita membutuhkan seluruh kata lain yang ada dalam kamus bahasa dimana kata itu menjadi bagiannya. Kalau begitu, hubungan antara kata (baca: bahasa) dengan kenyataan (baca: kebenaran) tidaklah sesederhana yang dibayangkan oleh pandangan pertama mengenai bahasa di atas. Menurut pandangan yang kedua ini, yang dihadirkan oleh bahasa ternyata bukanlah kenyataan, melainkan konsep mengenai belaka. Yang termuat dalam bahasa ternyata bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan jejak-jejaknya, kilatan-kilatannya, baying-bayangnya.

    Konsekuensinya, sebagai konsep mengenai kenyataan, bahasa tidak pernah bersifat obyektif dan apa adanya., dalam ‘menghadirkan’ kenyataan. Melainkan, ia selalu berjejal dengan prasangka dan merupakan medan perebutan tak pernah henti dari berbagai kekuatan yang hidup dalam masyarakat. Pendeknya, bahasa selalu memihak. Dan celakanya, kata Derrida, hanya dengan bahasa yang memihak seperti itulah kita bisa membangun apa yang disebut ‘kenyataan’.

    Bersamaan dengan itu, karena bahasa merupakan suatu sistem tanda di antara sistem tanda yang lain, teks tidak lagi dimengerti semata sebagai bahasa tertulis. Gambar, tarian, musik, mode, upacara, fotografi, film dan sebagainya juga dianggap sebagai teks. Disini, berbeda dengan pandangan pertama di atas, pengertian wacana dipahami sebagai ujaran verbal empiris yang disampaikan entah melalui gerak, citra, gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya.

    Dengan kesadaran akan sifat bahasa yang demikian, aktifitas membaca kini tidaklah diorientasikan ke luar guna mendapatkan kesatuan makna di balik teks ataupun demi meemukan kebenaran sejati. Melainkan ia diarahkan ke dalam, yakni, untuk mengungkap pluralitas makna, guna mencari kenikmatan dalam pencarian, demi mengungkap berbagai keberpihakan yang semula diselubungi sedemikian rupa agar tampak alamiah, obyektif dan sebagaimana adanya. Membaca bukanlah aktifitas yang dilakukan dengan takdzim untuk mendengarkan suara kebenaran. Tapi, sebaliknya, untuk mencurigai setiap parsangka yang diselundupkan di balik teks, kemudian sebulat-bulatnya menelanjangi kebohongan-kebohongan yang secara canggih telah disamarkan sedemikian rupa dan dikemas untuk menipu kita.

    C. Al-Qur’an dan Analisis Teks Bahasa Sastra
    1. Mohammad Arkoun dan Metodologi Studi Al-Qur’an
    Mohammad Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia menyatakan:
    “Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci – yang telah diaplikasikan kepada bible ibrani dan perjajian baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat keserjanaan musli. Karya-karya madzhab jerman terus ditolak, dan keserjanaan muslim tidak berani menempuh penelitian seperti itu sekalipun penelitian tersebut akan menguatkan sejarah mushaf dan teologi wahyu.”

    Menurut Mohammad Arkoun, sarjana muslim menolak menggunakan metode ilmiah (biblical criticism) karena alasan politis dan psikilogis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku. Psikologis karena pandangan muktazilah mengenai kemakhlukan al-qur’an di dalam waktu gagal. Akibat menolak pandangan muktazilah, tulis mohammad arkoun, kaum muslimin menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah kalam ilahi. Al-qur’an yang ditulis dijadikan identik dengan al-qur’an yang dibaca, yang dianggap juga sebagai emanasi langsung dari Lawh al-mahfudz.

    Akibat menolak biblical criticism, maka dalam pandangan Mohammad Arkoun, studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Qur’anic studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared). Ia berpendapat metodologi John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini memang ingin ia kembangkan. Mohammad Arkoun berkata: “Intervensi ilmiah wansbrough menemukan tempatnya di dalam framework yang saya usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra, seperti bacaan antropologis-historis, mengiring kepada disiplin-disiplin lain dan sebuah tingkat refleksi yang tidak terbayangkan di dalam konteks fundamentalis saat ini.

    Dalam pandangan Mohammad Arkoun, mushaf ‘utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Untuk mengubah “tak terfikirkan” (unthinkable) menjadi “tefikirkan” (thinkable), Mohammad Arkoun mengusulkan supaya mebudayakan pemikiran liberal (free thinking). Menurutnya, pemikiran liberal merupakan tanggapan kepada dua kebutuhan makro. Pertama, kaum muslimin perlu memikirkan masalah-masalah yang selama ini tidak pernah terfikirkan. Masalah-masalah tersebut dibuat pemikir muslim ortodoks. Kedua, pemikiran kontemporer perlu membuka wawasan baru, melalui pendekatan sistmatis lintas-budaya terhadap masalah-masalah fundamental.

    Mohammad Arkoun mencapai pemikiran libeal dengan dekonstrusi. Baginya, dekonstruksi (membongkar) adalah sebuah ijtihad. Tegasnya, dekonstruksi akan memperkaya sejarah pemikiran dan akan mendinamisir pemikiran islam kontemporer. Masalah-masalah yang selama ini telah ditekan, ditabukan, dibatsi, dilarang, dn semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika dekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka. Arkoun mendekonstruksi dengan menggunakan pendekatan historisitas sebagaimana yang telah digunakan para herneneut barat sepeti Giambattista Vico (1668-1744); J. G Herder (1744-1823); W. Dilthey (1833-1911); M. Heidegger (1889-1976); J. P. Sartre (1905-1980); R. Aron, P. Ricocoeur dan lain-lain.
    Menurut Mohammad Arkoun, pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari barat, namun pendekatan tersebut bukan hanya sesuai untuk warisan budaya barat saja. Bagi Arkoun, pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia. Menurutnya lagi, tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks histories.

    Mohammad Arkoun sangat menyadai jika pendekatan historisitas akan menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Dalam pandangan Mohammad Arkoun, sekalipun muslim ortodoks menganggap pendekatan tersebut sebagai tak terpikirkan (impesible), namun ia justru percaya jika pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap al-qur’an. Metodologi tersebut adalah ijtihad, sekalipun dalam berbagai hal mengguncang cara berfikir konvensional. Menurut Arkoun, pendekatan tersebut dapat memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Qur’an. Pendekatan tersebut adalah baik karena membongkar lapisan-lapisan konsep al-Qu’an yang sudah mengendap lama dalam pandangan geologis kaum muslim ortodoks yang membeku. Padahal, dalam pandangan Arkoun, konsep al-Qur’an merupakan hasil pembakuan dan pembekuan tokoh-tokoh histories, yang mengangkat statusnya menjadi kitab suci.

    Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua peringkat. Peringkat pertama adalah apa yang disebut al-qur’an sebagai Umm al-Kitab (induk kitab) (al-Qur’an 13:39;43:4). Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk bible dan al-qur’an berasal. Pada peringkat pertama (Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun, menurut arkoun, kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam lawh mahfudz (preserved tablet) dan tetap berada bersama dengan tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan “edisi dunia” (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.

    Mengenai sejarah al-Qur’an, Arkoun membaginya menjadi tiga periode, periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 H); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936M) dan periode ketiga berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan periode pertama sebagai prophetic discourse (diskursus kenabian) dan periode kedua sebagai Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup). Berdasarkan pada kedua periode tersebut, arkoun mendevinisikan al-qur’an sebagai “sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4 H/10 M.

    Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk suatu lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status al-qur’an dalam bentuk tulisan telah berkuarang dari kitab yang diwahyukan (alkitab al-muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab ‘adi). Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.

    Pemikiran Mohammad Arkoun yang liberal telah membuat paradigma baru tentang hakekat teks al-qur’an. Pendekatan historitas Mohammad Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Muhammad Arkoun mengakui kebenaran Umm al-kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada sesuatu yang ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang meyakini kebenaran al-Qur’an mushaf utsmani.

    2. Nasr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an
    Menurut Mohammad Arkoun, usahanya menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji al-Qur’an sama dengan apa yang diusakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943), seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasikan pendekatan sastra kontemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an.

    Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (Nahj tahlil al-nusus al-lughawiyah al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur’an. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji islam. Nasr Hamid menyatakan: “oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam (wa lidzalika yakuunu minhaj al-tahlil al-lughawi huwa al-minhaj al-wahid al-insani al-mukmin lifahm al-risalah, wa lifahm al-islam min thamma.”

    Metodologi kritik sastra yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980, ia mengkui hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri, khusunya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku. Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi doktornya pada tahun 1980 dengan judul Falsafah al-Ta’wil:Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din ibn Arabi. Ia mengkalim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiqa wa Mudilat Tafsir al-nas pada tahun 1981. Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Scheeiermacher (1843), Wilhelm Dilthey (1911), Martin Heidegger (1889-1976), Emilio Betti (1890-1968), Hans Georg Gadamar (1900-1998), Paul Ricoeour (1913-), dan Eric D. Hirsch (1928-).

    Setelah akrab dengan literatur hermeneutika barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakekat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. menurut Nasr Hamid, kalam ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka kalam ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu alasan pemikiran islam itu menjadi stagnan, menurut Nasr Hamid, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension). Padahal al-Qur’an adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau kata adalah kalam ilahi. Nasr Hamid menyatakan: “Bagaimanapun, kalam ilahi perlu mengadaptasi diri dan menjadi manusia karena Tuhan berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak mengerti. Jadi, dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an adalah bahasa manusia.
    Menurut Nasr Hamid, teks ilahi berubah menjadi teks manusiawi sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Nasr Hamid menyatakan: teks sejak awal diturunkan ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh nabi, ia berubah dari sebuah teks ilahi menjadi sebuah konsep manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia.

    Dalam pandangan Nasr Hamid, teks al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi). Ia juga menjadi produsen budaya (muntij li al-tsaqafah) karena menjadi teks yang hegemonic dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap Al-Qur’an sebagai teks bahasa (nash lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa mealitas, budaya, dan bahasa mupakan fenomena histories dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur;an adalah teks histories (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani).

    Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuk-bentuknya sama dengan teks-teks yang lain dalam budaya (anna al-nushush al-diniyyah nushush al-lughawiyyah sha’nuha sha’n ayyat nushush ukhra fi al-tsaqafah). Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan. Namun Nasr Hamid, sebagaimana Scheirmacher, berpendapat studi Al-Qur’an tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampau saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan tertutup untuk memamhami teks-teks agama. Nasr Hamid menyalahkakn penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufassir yang selalu menafsirkan Al-Qur’an dengan muatan metafisis islam. Dalam pandangannya, metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah. Nasr Hamid menyatakan, “ Sesungguhnya kepercayaan terhadap wujud matafisik teks (Al-Qur’an) akan mengharuskan upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks. Dengan menyamakan Al-Qur’an dengan teks-teks lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji Al-Qur’an. Ia menyatakan, “Saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum muslim, Kristen maupun Ateis.”

    3. Tanggapan terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu zayd
    Kesimpulan Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah produk budaya adalah tidak tepat. Ketika diturunkan secara gradual, al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab jahiliyah saat itu. Ketika menyampaikan ajaran Islam, Rasulullah saw ditentang dengan menuduh Rasulullah sebagai orang gila. Allah berfirman yang artinya: “Mereka berkata: hai orang-orang yang diturunkan al-Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”(QS. al-Hijr,15:6/al-Qalam, 62:2/al-Takwir,81: 22), sebagai penyair gila (QS. Al-saffat,37:36/al-Qalam,68:51) dan tukang tenun(QS.al-Thur, 52:29) Al-Quran juga menentang budaya jahiliyah yang bangga dengan kemampuan puisi mereka dengan menyatakan:”katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain (QS. Al-Isra’, 17:88).

    Ibnu Ishaq (150 h/767 m) menyatakan orang-orang Quraisy menganggap Quran adalah sesuatu yang sangat asing dengan budaya mereka. Ibnu Ishaq meriwayatkan:”maka dia (Al-nadzr Ibnu Harits) mengatakan wahai orang-orang Quraiys, demi Tuhan, sesungguhnya dia telah menurunkan kepadamu suatu perkara yang tidak datang kepadamu trik sebagai berikut, Muhammad adalah anak muda yang paling luwes, paling benar dalam budi bicara, paling tinggi kejujurannya di antara kamu, seandainya pun rambutnya beruban, dan dia membawa kepadamu apa yang ada padamu, maka kamu mengatakan (Muhammad) adalah penyihir (sahir). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang penyhir karena kita telah melihat komat-kamit dan mantera sihir. Maka kamu mengatkan ia adalah seorang tukang tenun (kahin). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang tukang tenun karena kita telah melihat gemetaran dan telah mendengar prosa dalam tenun. Maka kamu mengatkan ia adalah penyair (syair). Tidak, demi Tuhan, dia bukan penyair. Kita telah melihat syair dan telah mendengar segala jenis-jenisnya: bait dan ukurannya. Maka kamu mengatakan dia adalah orang gila (majnun). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang yang gila. Kita telah melihat orang gila sedangkan ia tidak berkurung, terganggu dengan ketidakwarsan. Wahai orang-orang Quraisy, lihatlah keadaanmu. Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu suatu nperkara yang besar (amr adhim).

    Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan menentang serta menggubah budaya yang ada. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya Arab jahiliyah. Namun kebudayaan jahiliyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw adalah produk dari al-Quran, bukan sebaliknya.
    Al-Quran juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagimana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut Al-Attas, bahasa Arab Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa kata pada saat itu, telah diislamkan maknanya. Al-Quran mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantik dan kata-kata. Khusunya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup islam. Al-quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab., seperti kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah) dan persaudaraan (ikhwah). Kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karim) termasuk kata-kata yang penting dalam pandangan hidup jahiliyyah.

    Kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelekian. Al-Quran mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, yaitu berupa bentuk ketakwaan (taqwa). Al-Quran menyebutkan:”sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa.” Lebih lanjut, orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (word or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. Al-Quran menghasilkan perubahan semantic yang mendasar ketika kemuliaan diasosiasikan degan kitab suci Quran ‘kitab karim’ atau dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qaul karim).

    Jika al-Quran merupakan produk teks bahasa biasa maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah Ibnu Abbas tidak mengetahui makna fathir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim. Sealin itu al-Quran memuat berbagai macam dialek bahasa Arab. Abu Bakr al-Wasitiyy menyebutkan lima puluh ragam dialek bahasa Arab di dalam al-Quran. Al-Suyuti menyebutkan berbagai kosakata asing dalam al-Quran seperti kosa kata Persia, Romawi, Nabatian, Etiopia Barbar, Syiriak, Ibrani, Koptik dan lain-lain. selain itu terdapat juga al -ahruf al-muqathaah di dalam Quran yang semuanya tidak sesuai dengan perkembangan budaya sastra Arab pada saat itu. Jadi, al-Quran bukan produk budaya sastra Arab. Ia adalah “budaya” baru. (istilah budaya sebenarnya tidak begitu sesuai digunakan untuk Quran, karena budaya mengandung makna hasil kreasi manusia, padahal Quran adalah wahyu dari Allah).

    Jika al-Quran teks bahasa biasa, maka logikanya Rasulullah saw ahli di bidang tulisan dan bacaan, yang karena keahliannya itu bisa membawa perubahan sangat mendasar pada masyarakat Arab waktu itu. Padahal, Rasulullah saw itu Ummi kepada umatnya pada abad ke tujuh Masehi, namun ini tak serta merta mengindikasikan bahwa al-Quran terbentuk dalam situasi dan budya yang ada pada abad ke-7 m. al-Quran melampaui historisitasnya sendiri karena al-Quran dan ajarannya adalah trans histories. Kebenarannya sepanjang zaman.

    Al-Qurab juga bukan teks manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan kata-kata Muhammad. Allah befirman yang artinya” seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar kami potong urat tali jantung. Allah juga berfirman yang artinya:”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

    Selain itu, pendapat Nasr Hamid yang mengenyampingan keimanan seseorang untuk mengkaji Quran tidaklah tepat. Di antara syarat para mufassir adalah berkaitan dengan kebergamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan ahklak Islam. Al-Thabari, mislanya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan!(min syartihi sihhat al I’tiqad wa luzum sunnah al-din. Fainna man kaana mag-musan alayhi fi dinihi, la yu’taamana ala al-dunya, fakaifa ala al-din,!) . Senada dengan Attabari, al-Suyuti mengatakan bahwa sikap sombng, cenderung kepada bidah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.

    Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Quran sangat penting bagi seorang mufassir Quran. Ini disebabkan status Quran tidaklah sama dengan teks-teks yang lain. Quran bersumber dari Allah. Sembarang metodologi tidak bisa begitu saja diterapkan kepada al-Quran. Metodologi sekular akan menggiring kepada kesimpulan yang sekuler.

    Selain itu, hermenutika Nasr Hamid akan membawa kepada konsep bahwa tafsir itu relative, padahal para mufasir terkemuka sepakat dalam berbagai perkara. Tidak ada seorangpun mufassir Muslim terkemuka dari 1400 tahun yang lalu hingga sekarang, berpendapat bahwa Nabi Isa as. mati di tiang Salib dan Wanita muslimah boleh nikah dengan laki-laki kafir. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relatif adalah sebuah kekeliruan, sekalipun terdapat ribuan buku tafsir.

    Ilmu tafsir yang telah diformulasikan oleh para ulama yang berwibawa telah mengakar dalam tradisi islam. Ilmu tafsir itu muncul karena bahasa al-Quran memiliki struktur. Ilmu tafsir tidak sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen, atau ilmu interpretasi kitab suci yang lain dari agama dan budaya apapun.

    DAFTAR PUSTAKA
    Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta, Rineka Cipta, September, cet-1, 2003
    Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum al-Nas; Dirasah fi Ulum al-qur’an, edisi-II
    — — — — dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam
    Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut, sDar al-Kitab al-Arabiy, 2003
    Arif, Syamsuddin, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg,” al-Insan 1 (2005)
    Arkoun, Mohammed, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London, Saqi Books, 2002
    — — — — , Min Faysal Al-tariqah ila Fasl al-Maqal: Ayna huwa al-Fikr al-Islami al_Mu’asir, Beirut: Dar al-Saqi, edisi kedua, 1995
    Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalm Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani Press, cet-12005
    Arthur Jeffery, The Qur’ani as Scripture, New York, Russell F. Moore Companya, 1952
    de Saussure, Ferdinand, Penngantar linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1996
    Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, Jild. 1 2004
    Islamia (Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam), vol. III No. 2, dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Memahami Barat
    Nur Ichwan, Moch., Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: teori Hermenuetika Al-Qur’an, Jakarta, Teraju, 2003
    Tashwirul Afkar Jurnal refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, edisi no. 22 Tahun 2007
    http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm

1 comments:

  1. Anonymous says:

    Saya sepakat jika dikatakan bahwa al-Qur'an itu bukan produk budaya, dan saya sepakat bahwa kita harus menolak pendapat para pemikir Liberal itu. T. Buckley dalam bukunya "At The Origin of Modern Atheism" memaparkan bahwa biang keladi dari Atheisme di zaman modern adalah para pemikir rasionalis-skeptis-agnostik.

    Pertama, orang Barat mengkritik sejarah penulisan Bibel, lalu tentang Tuhan Yeses, dan pada akhirnya tentang eksistensi Tuhan itu senidiri.

    Jadi, jangan heran jika akhir-akhir ini fenomena "kekafiran modern" di kalangan mahasiswa seolah bak jamur di musim hujan. So, atheisme ala akademisi adalah atheis epistemologis. Orang bisa menjadi atheis itu bukan hanya karena lemah iman, tetapi juga salah ilmu ...

    Salam ...

Leave a Reply

Buka Semua Folder | Tutup Semua

Kamus Online

Komentar Terbaru