Advertisement

  • ASSESMENT Dalam Pembelajaran PAI
    Oleh : Luluk Maghfiroh

    A. PENGERTIAN
    Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang diginakan, yakni pengukuran, assessment, dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Sementara pengertian assessment adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai pada taraf pengambilan keputusan.

    Sedangkan evaluasi sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian, Namun dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni :
    1.Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu
    2.Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan aras tujuan yang jelas
    3.Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.

    Meskipun memiliki banyak definisi, sebenarnya evaluasi pertama kali dikembangkan oleh Ralph Tayler (1950), yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Lalu dikembangkan lagi oleh dua orang ahli lain yakni, Cronbach dan Stuff lebeam .

    Dilihat dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa secara teoritik ketiga istilah tersebut memiliki definisi berbeda. Namun, dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluai pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) dan pembandingan (assessment). Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa, assessment dan evaluasi adalah sama, karena merupakan sistem penilaian hasil belajar.

    Dari uraian diatas sudah jelas sekali pengertian assessment, measurement, dan evaluasi. Adapun assessment dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu : Suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama islam.

    B. TUJUAN DAN FUNGSI ASSESSMENT
    Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut :
    1.Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
    2.Untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran.
    3.Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
    4.Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa fdalam rangka perbaikan.

    Selain memiliki beberapa tujuan seperti yang disebutkan diatas, assessment atau penelitian memiliki fungsi sebagai alat seleksi, penempatan, diagnostik, formatif, dan sumatif. Guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Adapu penjelasannya, sebagai berikut :

    1.Fungsi selektif, dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan.
    2.Fungsi penempatan, dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta didik) dapat mengikutu pendidikan pada jenis atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
    3.Fungsi diagnostik, dilaksanakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
    4.Fungsi formatif, dilaksanakan untuk memberikan umpan balik guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan remedial atau perbaikan bagi murid.
    5.Fungsi sumatif, dilaksanakan untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid.

    Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa assessment merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan assessment atau penilaian, guru dapat mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian peserta didik.

    C. PENDEKATAN, PRINSIP DAN ACUAN ASSESSMENT
    Dalam melakukan assessment, harus dilakukan pendekatan. Adapun pendekatan- pendekatan tersebut adalah :
    •Menggunakan berbagai teknik.
    •Menekankan hasil dengan memperhatikan input dan proses.
    •Melihat dari perspektif taksonomi tujuan pendidikan, menilai perkembangan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesuai karakteristik mata pelajaran.
    •Menerapkan standar kompetensi lulusan.
    •Menerapkan sistem penilaian acuan kriteria dan standar pencapaian yang konsisten.
    •Menerapkan penilaian otentik untuk menjamin pencapaian kompetensi.
    Adapun prinsip-prinsip assessment, yaitu :
    •Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
    •Mencermnkan masalah dunia nyata.
    •Menggunakan berbagai ukuran, metode, teknik, dan kriteria sesuai dengan karakteristik dan essensi pengaloaman belajar.

    Selain pendekatan dan prinsip dalam assessment, hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah acuan dalam assessment, adalah acuan kriteria. Sebab, kriteria digunakan asumsi bahwa hampir semua orang belajar apapun akan mampu, hanya kecepatan dan waktunya yang berbeda. Asumsi tersebut mengindikasikan perlunya program perbaikan atau remidial. Namun demikian, agar sistem assessment memenuhi prinsip kesahihan dan keandalan, maka harus memperhatikan :
    •Aspek menyeluruh
    •Berkelanjutan
    •Berorientasi pada indikator ketercapaian
    •Sesuai dengan pengalaman belajar

    D. OBJEK ASSESSMENT
    Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian adalah apa yang harus dinilai itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu melihat kembali fungsi dari assessment, yaitu sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar peerta didik. Menurut Horward kingsley, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya.

    Selain pendapat Horward, masih banyak pendapat-pendat lain mengenai proses dan hasil belajar .Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut akhirnya diperoleh hasil pengklasifikasian secara garis besar, yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom. Dimana benyamin membaginya menjadi tiga ranah atau objek, yaitu Kognitif, afktif dan psikomotorik.

    1. KOGNITIF
    Ranah kognitif berkenaan engan hasil belajar intyelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
    •pengetahuan (recalling), kemampuan mengingat, misalnya: mengingat nama nabi
    •pemahaman (comprehension), kemampuan memahami, misalnya: menyimpulkan suatu paragraf
    •aplikasi (application), misalnya :menggunakan suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah
    •analisis (analysis), misalnya menganalisis suatu bentuk
    •sintesis (syntesis), misalnya : menformulasikan hasil ceramah dosen dikelas dengan lingkungan sekitar
    •dan evaluasi (evaluation), kemampuan mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.

    2. AFEKTIF
    Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dsb. Jika dalihat lebih dalam, pelajaran yang diberikan lebih banyak mengarah pada ranah kognitif, meskipun demikian ranah afektif tetap harus menjadi bagian intyegral dalam proses pembelajaran.

    Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu :
    •Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginana untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
    •Menanggapi (responding) reaksi yang diberikan, ketepatan aksi, perasaan,dll.
    •Menilai (evaluating) kesadaran menerima apa yang diberikan oleh para pendidik.
    •Mengorganisir(organiation) pengembangab norma dan nilai.
    •Membentuk watak (characterization) sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.

    3. PSIKOMOTORIK
    Psikomotorik merupakan tindakan seseorang yang dilandasi penjiwaan atas dasar teori yang dipahami dalam suatu mata pelajaran. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik diarahkan untuk menggali beberapa gerakan, ucapan, dan pengamalan keagamaan, seperti
    •Gerakan wudlu, shalat
    •Ucapan bacaan Al-Qur'an-qur’an dalam shalat
    •Ucapan kalimat thayyibah
    •Pengamalan, kebiasaan berdzikir, berdoa, maupun membaca Al-Qur'an-qur’an

    Adapun tingkatan ketrampilan alam psikomotorik, yaitu :
    •Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar)
    •Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar
    •Kemampuan perseptual
    •Kemampuan di bidang fisik
    •Gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks
    •Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi

    E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
    Penilaian berbasis kelas(PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasikan pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan
    PBK merupakan arti penilaian sebagai assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur kebrrhasilan suatu program pendidikan.

    Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa sevara individu pada khususnya. Adapun fungsi PBK, yaitu :
    1.Memberikan umpan balik bagi sisa mengenaim kemampuan dan kekurangannya
    2.Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa
    3.Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya
    4.Memungkinkan siswa mencapai kometensi yang telah ditentukan

    Selain fungsi PBK memiliki beberapa tujuan, yaitu :
    1.Mengetahui kemajuan belajar siswa
    2.Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran
    3.Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa
    4.Membantu siswa untuk memilih bidang pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya

    Adpun prinsip-prinsip PBK haruslah sangat diperhatikan, yaitu :
    1.Valid, PBK harus mengukur objek obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih
    2.Mendidik, PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa
    3.Berorientasi pada kompetensi
    4.Adil dan objektif
    5.Terbuka, PBK Hendaknya dilakukan secara terbuka bagi semua kalangan
    6.Berkesinambungan, PBK harus dilakukan secara terus-menerus
    7.Menyeluruh, PBK harus menyeluruh dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
    8.Bermakna, PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak


    DAFTAR PUSTAKA

    •Arikunto suharsini, 2005.Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan.Jakarta: Bumi aksara
    •Zuhairini,1983.Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.Surabaya: Usaha nasional
    •Majid abdul, 2005.Perencanaan Pembelajaran.Bandung: Rosda karya
    •Nasution, 2003.Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar.Jakarta: Bumi aksara
    •Hamalik oemar, 2004.Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Bumi aksara
    •Sudjana nana, 2005.Penilaian hasil proses belajar mengajar.Bandung: Rosda karya
    •Nurkancana wayan, 1986. Evaluasi Pendidikan.Surabaya: Usaha nasional
    •Mulyasa,2003.Kurikilum Berbasis Kompetensi.Bandung:Rosda karya

    more
  • Mengenal Filsafat Fenomenologi
    Pendahuluan

    Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.

    Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.

    Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.

    Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap fenomenologi.

    Pembahasan

    A. Hakekat Fenomenologi
    Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

    Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

    Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

    Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.

    Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

    Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

    Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.

    Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).

    Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

    Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.

    Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

    B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
    Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).

    Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

    Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.

    Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
    1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

    2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.

    3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

    4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

    Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

    C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
    Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.

    Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.

    Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

    Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.

    Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

    Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

    D. Kritik Terhadap Fenomenologi
    Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.

    Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

    Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

    Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

    Penutup
    Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.

    Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles."

    DAFTAR PUSTAKA

    Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.

    Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

    Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.

    Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.

    Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.

    Kasiram, Moh., 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program Pascasarjana UIIS Malang.

    Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

    Sills, David L., (Ed.), 1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell Collier & Macmillan, Inc.

    Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.

    more
  • ILMU-SOSIAL-BERBASIS-HERMENEUTIK. oleh TSANIN A. ZUHAIRY

    Pengantar
    Setiap penelitian dan observasi senantiasa bermuara pada sebuah pengetahuan. Dan pengetahuan yang akan dihasilkan juga bergantung pada objek yang akan diteliti. Meminjam distingsi W. Dilthey, jika obyek yang diteliti dan diobservasibertaut dengan berbagai gejala alam, maka masuk ke dalam tipe ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Tapi, jika obyek yang diteliti dan diobservasi terkait dengan gejala kemanusiaan dan kebudayaan, maka masuk ke dalam tipe ilmuilmu roh/budaya (geisteswissenschaften).

    Persoalannya sekarang, apakah dengan perbedaan obyek itu, juga diperlukan pendekatan yang berbeda? Jawabannya dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini adalah tak perlu ada perbedaan pendekatan.2 Karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi. Diyakini bahawa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan seluruh wilayah kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Pandangan ini dipopulerkan Auguste Comte, Ernst March, para filsuf Lingkungan Wina, yang notabene sebagai tokoh dan penganut aliran Positivisme.

    Pendekatan ilmu-ilmu alam yang meniscayakan adanya distansi penuh, netralitas, bebas kepentingan, universal dan dapat diterapkan secara instrumental diandaikan oleh positivisme dapat diterapkan pada penelitian sosial. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dipahami sebagai potret fakta sosial yang bebas dari kepentingan (free value), tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Siapapun orangnya, asal memenuhi prosedur-prosedur penelitian yang dibuat ilmu alam, tidak akan mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan. Sehingga pengetahuan itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, karena sifatnya yang universal dan instrumental.

    Paradigma-paradigma semacam itu, kini turut mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu di Indonesia. Baik secara canggih atau kasar, pendekatan ilmu alam juga diterapkan dalam penelitian sosial, seolah tanpa persoalan. Padahal, dengan paradigma semacam itu, sebuah penelitian hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu, pengetahuan tidak mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Di sini positivisme mengidap sebuah masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan (episteme), melainkan juga bagi kemanusiaan.

    Memang, dewasa ini positivisme telah mengalami pembaruan dalam beberapa segi, seperti digagas oleh para filsuf Lingkungan Wina (Wiener Kreist) yang dikenal dengan positvisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis,5 namun tetap tidak bisa keluar dari karakter aslinya yang bersifat empiris-obyektif, deduktif-nomologis, instrumental dan bebas nilai. Dengan standar itu, positivisme tetap tidak akan mampu menangkap-menangkap proses-proses sosial, seperti tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.

    Verstehen: Paradigma Ilmu Sosial
    Dunia kehidupan sosial sebagai wilayah operasi ilmu-ilmu sosial dapat dikatakan sebagai pengetahuan pra-teoritis. Dikatakan demikian, karena dunia kehidupan sebagai objek ilmu-ilmu sosial belum terstruktur secara simbolis. Para pelaku kehidupan sosial dalam berbicara bukan dengan silogisme dan juga bertindak bukan menurut pola hubungan subjek-objek, seperti disebut Habermas dengan ‘tindakan instrumental’. Para pelaku dalam kehidupan sosial hanya mampu berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisinal manusia serta bertindak dalam kerangka ‘tindakan komunikatif’: suatu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik.

    Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam ilmu sosial bukanlah ‘kausalitas’, melainkan ‘makna’. Karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak berbeda dengan pelakudalam dunia sosial. Ia harus masuk dan berpartisipasi dalam dunia kehidupan sosial itu.

    Pada titik ini, tampak jelas perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati objeknya. Menyitir pendapat Dilthey, ilmu-ilmu alam hanya berusaha menjelaskan (eklaren) objeknya menurut penyebabnya (kausalitas). Disini pengalaman dan teori berdiri secara diametral. Antara subjek-objek terdapat sebuah distansi. Sementara ilmu-ilmu sosial bertumpu pada verstehen, yakni paduan pengalaman dan pemahaman teoritis. Karena pengalaman dan struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia kehidupan sosial tak bisa tampak ‘dari luar’ seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, tetapi harus melibatkan subjek sosial itu sendiri. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produk-produk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerjasama sosial, dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui ‘dari dalam’.

    Hermeneutik sebagai Alternatif
    Kini, bagaimana seorang ilmuwan sosial dapat mengetahui objeknya ‘dari dalam’? Jurgen Habermas menawarakan Hermeneutik sebagai metode alternatif yang dapat digunakan. Metode ini sudah lama dipakai dalam teologi, filsafat, tafsir teks-klasik, tafsir Kitab Suci, dan seterusnya, dan sekarang ini diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.

    Sejak awal, metode Hermeneutik senantiasa berurusan dengan penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Pengertian “teks” dapat diperluas dalam penelitian sosial menjadi objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks itu dihasilkan oleh “pengarang” yaitu para pelaku sosial—analogi-analogi teks dan dunia sosial perlu diikuti. Sebagai sebuah teks, masyarakat yang hendak ditafsirkan untuk dipahami dan ditangkap maknanya (sinnverstehen), tentu mengharuskan keterlibatan “peneliti dari dalam”. Keterlibatan itu, menurut Fredrich Schleiermacher menyaratkan adanya empati psikologis. Artinya, peneliti harus mampu masuk kedalam isi teks-sosial (yaitu pranata-pranata, tingkah laku, interaksi, dan seterusnya) sampai “mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu pengalaman para plaku sosial. Bagaimanapun harus disadari, peneliti sesungguhnya adalah reproduksi pengalaman para pelaku sosial.

    Namun, teori empati yang dikampanyekan Schleiermacher dianggap terlalu psikologistis oleh Dilthey. Yang direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks-sosial itu terbentuk.9 Kalau anda meneliti upacara inisiasi, kepemimpinan desa, karya seni, sistem kepercayaan religius orang Yogya dan seterusnya, anda harus menemukan kaitan-kaitan antara proses-proses mental para pelaku dan bagaimana semua itu dilahirkan dalam bentuk pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur-praksis, melainkan struktur-struktur simbolis.

    Setelah menemukanketerlibatan metodis itu, peneliti perlu menangkap tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks-sosial (pelaku sosial). Pengalaman adalah unsur-unsur subjektif yang ada dalam penghayatan internal pelaku-sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pengertian, pandangan, gerak hati, dan seterusnya. Itu semua mendapat bentuk lahiriahnya dalam wujud tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan seterusnya. Pemahaman dari konfrontasi, dialog, dan pencapaian konsensus terjadi. Di sini pula pemahaman dialektis antara pengarang dan peneliti tidak hanya menjadi inti penafsiran hermeneutis, melainkan juga praksis komunikasi.

    Catatan
    Tulisan ini secara garis besar disarikan dari buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003.

    Bandingkan dengan tulisan Jujun Suriasumantri “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Cet. Keenambelas, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2006, hal. 19-20.

    F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 23

    ‘Masalah’ terjadi karena peralihan masyarakat dari keaadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Cara berpikir lama (mitis, teologis) ditinggalkan tapi cara berpikir baru (saintis) belum sepenuhnya terintegrasi dalam diri manusia, sehingga hanya menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya welltanschauung.

    Lihat, K. Bertens, Fisafat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, hal 128.
    F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 122

    F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 63

    F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis”, h. 31

    F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik”, hal. 64

    F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis”, h. 32

    more
  • Hakekat Pendidik Dan Peserta Didik
    Oleh : Muhdlar Abdullah*

    BAB I
    Pendahuluan


    Sebelum kami menjelskan Hakekat Pendidik dan Pesrta Didik pelu kiranya kami menjelaskan apa pendidikan itu. Menurut Ki Hajar Dewantara, pengertian secara umum adalah selalu berdasarkan pada apa yang dapat kita saksikan dalam semua macam pendidikan, maka dengan demikian teranglah bahwa yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan dadalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun yang di maksud dengan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak tersebut agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

    Dan perlu kita ketahui bahwa di dalam “pendidikan” mempunyai pengertian suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang didalamnya mengandung beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan, diantaranya adalah :

    1)Didalam bimbingan ada pembimbingnya ( pendidik ) dan yang dibimbing (terdidik).
    2)Bimbingan mempunyai arah yang bertitik tolak pada dasar pendidikan dan berakhir pada tujuaqn pendidikan.
    3)Bimbingan berlangsung pada suatu tempat, lingkungan atau lembaga pendidikan tertentu.
    4)Bimbingan merupakan proses, maka harus proses ini berlangsung dalam jangka waktu terntu.
    5)Didalam bimbingan harus mempunyai bahan yang akan disampaikan pada anak didik untuk mengembangkan pribadi seperti yang di inginkan.
    6)Didalam bimbingan menggunakan metode tertentu.


    BAB II
    PEMBAHASAN


    A. Hakekat Pendidik
    Dikutip dari Abudin Nata, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik.Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.

    Jika menjelaskan pendidik ini selalu dikaitkan dengan bidang tugas dan pekejaan, maka fareable yang melekat adalah lembaga pendidika. Dan ini juga menunjukkan bahwa akhirnya pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada diri seseorang yang tugasnya adalah mendidik atau memberrikan pendidikan.

    a.Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik.
    Tugas-tugas dari seorang pendidik adalah :
    1)Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
    2)Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
    3)Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya.
    Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membaha hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.

    Sedangkan tanggung jawab dari seorang pendidik adalah :
    1)Bertanggung moral.
    2)Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
    3)Tanggung jawab kemasyarakatan.
    4)Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.

    b.Tujuan Pendidik.
    Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.

    Orang yang pertama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan anaknya.
    Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Namun karena mereka tidak mempunayai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira mampu atau berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.

    B. Syarat-syarat dan Sifat-sifat yang Harus dimiliki oleh Seorang Pendidik.
    Syarat-syarat umum bagi seorang pendidik adalah : Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit, syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu :
    1)Harus beragama.
    2)Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
    3)Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya dalam membentuk Negara yang demokratis.
    4)Harus memiliki perasaan panggilan murni.

    Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
    1)Integritas peribadi, peribadi yang segala aspeknya berkembang secara harmonis.
    2)Integritas sosial, yaitu peribadi yang merupakan satuan dengan masyarakat.
    3)Integritas susila, yaitu peribadi yang telah menyatukan diri dengan norma-norma susila yang dipilihnya.

    Adapun menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat tertenru agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, seperti yang diungkapkan oleh beliau adalah :

    1)Memiliki sifat Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari ridha Allah.
    2)Seorang Guru harus jauh dari dosa besar.
    3)Ikhlas dalam pekerjaan.
    4)Bersifat pemaaf.
    5)Harus mencintai peserta didiknya.

    C.Hakekat Peserta Didik
    Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
    Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

    Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :

    1). Aspek Paedogogis.
    Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.

    2). Aspek Sosiologi dan Kultural.
    Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.

    3). Aspek Tauhid.
    Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).


    KESIMPULAN

    Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.

    Seorang pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa" tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.

    Sedangkan peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.


    DAFTAR PUSTAKA
    Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta 2005.
    Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1984.
    Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta :Rineka cipta, 1981.
    H. M. Arifin, Ilmu Pendidian Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
    Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1998.
    Nasution S. Sosialisasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1995


    * Adalah Mahasiswa Jurtusan Pendidikan Bahasa Arab Fak. Tarbiyah IAIN SUnan Ampel Surabaya angkatan 2007.

    more

Buka Semua Folder | Tutup Semua

Kamus Online

Komentar Terbaru