Advertisement

  • STUDI HUKUM ISLAM TERHADAP TEST DNA TERHADAP ANAK AKIBAT ZINA UNTUK MENENTUKAN HUBUNGAN NASAB DAN AHLI WARIS

    Oleh : Makmum Anshory


    PROPOSAL SKRIPSI
    STUDI HUKUM ISLAM TERHADAP TEST DNA TERHADAP ANAK AKIBAT ZINA UNTUK MENENTUKAN HUBUNGAN NASAB DAN AHLI WARIS

    BAB I
    PENDAHULUAN


    A.Latarbelakang Masalah
    Hukum islam atau bisa disebut juga dengan syari`at islam yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul yang tertuang dalam al-qur`an maupun hadist telah membawa kita umat islam kedalam ketentaraman dan kedamaian dengan hukum-hukum dan ketentuan yang ada didalamnya. Hukum islam merupakan gabungan dari syari`at dan fiqih yang dapat didefinisikan “seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang terbebani hukum”, menurut Dahlan Tamrin

    Hukum islam mempunyai empat watak yaitu takamaul, harakah, hukum islam sesuai dengan hukum alam, hukum islam berdasarkan pada prinsip etika atau moralitas yang luhur, menurut beliau hukum islam berwatak harakah yaitu hukum islam memiliki tabiat selalu dinamis dan tidak statis, dan juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan berkembang, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
    Sejalan dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan tegnologi yang ada termasuk ilmu kedokteran dalam hal ini adanya test DNA (Deoxyribose Nucleid Acid), dengan ini dapat ditemukannya cara-cara dalam menentukan sifat keturunan atau genetik dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sangatlah berpengaruh dalam sebuah keluarga untuk menetukan stastus keturunannya.

    Praktek tes DNA seperti ini telah banyak dilakukan oleh beberapa kalangan keluarga yang telah mempunyai masalah dalam keluarganya Misalnya jika ada seorang wanita bersuami yang dituduh berselingkuh oleh suaminya hingga melahirkan anak. Atau dalam rangka menetapkan garis keturunan seorang anak kepada ayahnya, agar seorang anak tidak mempunyai masalah keturunan di masa depannya.

    Timbulnya perselingkuhan yang terjadi antara seorang yang sudah kawin seperti yang telah dijelaskan diatas, atau seorang yang melakukan pesetubuhan (zina) diluar perkawinan yang sah sehingga sampai melahirkan anak yang tidak jelas. Telah kita ketahui bahwasanya zina sangat dilarang dalam islam dan hal itu merupakan perbuatan yang sangat tercela dan melanggar norma kesusilaan sesuai dengan firman allah dalam al-qur`an :
    "Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” [Al-Israa : 32]

    Pergaulan bebas pada zaman sekarang ini terutama yang dilakukan oleh remaja dapat berpengaruh dengan adanya zina. Zina dalam hal ini adalah hubungan seksual diluar perkawinan yang sah. telah banyak wanita remaja sekarang ini hamil akibat zina yakni diluar nikah, begitu juga orang yang sudah punya keluarga yang selingkung dan melakukan hubungan sex (zina) dengan orang lain yang juga sudah mempunyai keluarga, apabila hamil akan sulit untuk menentukan status anaknya sehingga banyak diantara mereka melakukan praktek Tes DNA (Deoxyribose Nucleid Acid) untuk menentukannya. Mereka beranggapan bahwasanya tes DNAlah yang dapat menentukan dengan pasti tentang keturunan nasab dan juga ahli warisnya apabila ia meninggal nanti.

    Jadi banyak diatara mereka menyatakan meskipun berzina apabila telah ditentukan dengan tes DNA sudah jelas dapat menentukan keturunan nasab serta ahli waris dari mereka tanpa adanya perkawinan yang sah. Dan seakan-akan mereka mengenyampingkan terhap keharaman zina, dengan mengangap hal itu tidak penting. Fenomena seperti ini telah banyak terjadi dikalangan masyarakat muslim, maka dari itu studi hukum islam terhadap tes DNA terhadap anak akibat zina untuk menentukan keturnan nasab dan ahli waris cukup penting dibahas, apa lagi meskipun hal ini menurut akal secara logika dapat di benarkan tapi dalam hal ini tidak ada nash yang secara jelas menerangkan tentang masalah ini dan ketetapan hukum didalamnya. Maka demi memperjelas tetang masalah tes DNA ini dalam studi hukum islam serta untuk menentukan kedudukan keturunan nasab serta ahli waris sangatlah penting dan dari sinilah mendorong penulis untuk segera membahasnya dengan melalui studi hukum islam.

    B.Rumusan masalah
    1.Bagaimana pandangan hukum islam terhadap tes DNA terhadap anak akibat zina.?
    2.Bagaimana kududukan nasab dan waris terhadap hasil tes DNA akibat zina dalam pandangan hukum islam?

    C.Kajian pustaka
    Kajian tentang test DNA (Deoxyribose Nucleid Acid) ini bukanlah hanya pertama kali ini dikaji tetapi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Maslaha dalam skripisnya yang berjudul “status kewarisan anak yang diingkari oleh ayah setelah hasil DNA diketahui” dan yang kedua telah dibahas juga oleh Asyiqah dengan skripsinya yang berjudul “kontribusi hasil tes DNA sebagai upaya penyelesaian kasus li`an dalam perspektif hukum islam”.

    Peneliti yang pertama oleh maslaha mendiskripsikan tentang status kewarisan anak, seseorang yang menjalani sebuah perkawinan dan mempunyai anak tetapi sang ayah mengingkari anak tersebut meskipun telah diketahui melalui tes DNA bahwa anak itu adalah anaknya. Maslaha menyimpulkan dalam skripsinya tentang masalah tersebut dengan mengungkapakan dasar-dasar hukum serta argumennya bahwasanya status anak tersebut tetap berhak atas hak waris dari bapaknya karena anak tersebut telah lahir dari perkawinan yang sah menurut agama mereka dan undang-undang, apalagi telah dibuktikan melalui tes DNA yang berarti gen yang ada pada anak tersebut adalah generasi dari gen ayahnya.

    Peneliti yang kedua oleh asyiqah, ia hanya menjelaskan tentang masalah pembuktian dalam acara pengadilan agama yang mana tes DNA (Deoxyribose Nucleid Acid) hanya sebagai kontribusi saja untuk menguatkan sebuah pembuktian dalam sebuah kasus lia`an di pengadilan. Ia menganalisis dan memandangnya dari segi hukum islam.

    Dari kedua peneliti tersebut dalam hal tes DNA yang mereka bahas menurut hemat penulis dapat menyimpulkan, mereka hanya mengikut sertakan tes DNA sebagai alasan dan pembuktian saja dalam pandangan hukum islam, bukan dalam hal bagaimana pandangan hukum islam menyikapi tentang praktek tes DNA didalam keluarga. Apalagi kedua pembahasan tersebut memandang tes DNA disini telah dilakukan setelah berkeluarga atau telah kawin dalam perkwinan yang sah menurut agama dan undang-undang.

    Dalam pembahasan penulis yang akan di jelaskan dalam penelitian ini adalah tes DNA (Deoxyribose Nucleid Acid) yang dilakukan akibat zina, yakni tidak terikat perkawinan didalamnya untuk menentukan keturunan nasab dan ahli waris terhadap anak yang dilahirkannya dalam pandang hukum kewarisan islam, Serta akan mengkaji juga dalam hukum perkwinan islam. Penulis akan mencoba menjelaskan masalah ini dengan menggunakan dasar-dasar hukum yang akan diambil dari beberapa buku-buku dan kitab yang berkaitan dengannya sebagai referensi.

    D.Tujuan penelitian
    Sesuai rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
    1.Mengetahui hukum tes DNA menurut islam
    2.Mendiskripsikan masalah tes DNA akibat zina dalam pandangan hukum islam
    3.Untuk mengetahui status keturunan nasab dan ahli waris yang jelas setelah test DNA menurut hukum kewarisan islam

    E.Kegunaan hasil penelitian
    Dari hasil studi ini, diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurannya adalah sebagai berikut :
    1.Kepentingan teoritis, sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu kedokteran khususnya tentang tes DNA dan permasalahannya dalam hukum islam.
    2.Sebagai bahan acuan untuk menyusun hipotesa bagi penelitian berikutnya.

    F.Definisi operasional
    1.Hukum islam
    Peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul yang tertuang dalam al-qur`an maupun hadist. Dan juga kompilasi hukum islam yang diyakini berlaku bagi semua pemeluk agama islam.

    2.DNA (Deoxyribose Nucleid Acid)
    Penyesuaian kimia yang membawa keterangan genetic dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannnya dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa seseorang pria adalah ayah kandung dari seorang anak.

    3.Zina
    Zina menurut Kamus ilmiah adalah hubungan seksua dilur nikah , sesuai apa yang ada dalam hukum islam zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan yang sah.

    4.Nasab
    Hubungan darah antara seorang anak dan ayah yang tidak dapat dipisahkan

    5.Waris
    Berpindahnya hak milik kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggal itu berupa harta, kebun, atau hak-hak syar`iyah

    G.Metode penelitian
    1.Data yang akan dikumpulkan
    Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa di pertanggung jawabkan tentang kwalitas mutunya, maka penulis membutuhkan data sebagai berikut :
    a.Data-data yang menyangkut tentang proses pelaksanaan test DNA yang mungkin akan diambil dari rumah sakit atau laboratorium medis yang pernah melakukan praktek DNA dengan cara wawancara.
    b.Dasar-dasar hukum yang berhubungan dengan tes DNA atau di qiaskan baik dari al-qur`an atau hadist, dan juga pengumpulan semua ilmu-ilmu tentang hukum kewarisan islam sebagai pisau analisis.

    2.Sumber data
    a.Taufiuqul Hulam, Reaktualisasi alat bukti tes DNA perspektif hukum islam dan hukum positif
    b.Fatchur Rahman, Ilmu Waris
    c.Muh. Ali Ash-Shobuni, Hukum Waris Islam
    d.Rachmad Budiono, S.H. M.H. Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
    e.Djakfar, Idris Kompilasi hukum kewarisan Islam
    f.Prof. Dr. Amir Syarifuddin Hukum Kewarisan Islam
    g.Yessi Pratiwi, The divine message of the DNA tuhan dalam gen kita
    h.Syaikh Ibnu 'Utsaimin Tash-hiil Al-Faraaidh
    i.H. Saefuddin Arief, S.H. Hukum Waris Islam
    j.Rhenald Kasali Re-Code Your Change DNA
    k.Kitab suci Al-Qur`an
    l.Hadist-hadist yang berhubungan dengannya

    3.Teknik pengumpulan data
    Metonde yang penulis pergunakan dalam pengumpulan data menggunakan dua metode, pertama pngumpulan data-data yang ada dilapangan dan yang kedua menggunakan metode library reaserch (riset kepustakaan) yaitu mengadakan penelitian terhadap literatur yang ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini.

    4.Teknik analisis data
    1.Editing : Pemeriksaan kemabali data-data yang ada untuk memperbaiki ke khawatiran ada kesalahan pada penulisan dan keautentikan data
    2.Organizing : Penyusunan mulai dari pertama pendahuluan sampai penutup untuk memastikan supaya skripsi ini tersusun secara sistimatis dan mudah difahami oleh para pembaca.
    3.Penemuan hasil dengan menemukan sesuatu hukum yang pasti dengan menggunakan metode analisis hukum islam.

    H.Sistimatika pembahasan
    Sistimatika pembahasan dalam skripsi ini mulai dari bab I pendahuluan menelaskan tentang rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaannya, tata cara penulisannnya dan teknik pengumpulan data serta metodologi penelitian, yang digunakan sampai dengan sumber data yang akan diambil.

    Bab II menerangkan sistimatika pembahasan beberapa pengertian mengenai test DNA serta bagian-bagian tes DNA. Dan cara pelaksanaan Tes DNA yang dilakukan oleh dokter mulai dari pertama yaitu pengambilan sel-sel atau gen-gen sampai dengan penentuan hasil status anak yang di temukan dari gen-gen yang ada.

    Bab III pengambilan dasar-dasar hukum yang diambil dari pedoman hukum syara` baik dari al-qur`an maupun hadist yang berhubungan dengan test DNA dan juga beberapa ayat-ayat tentang waris dan nasab, dasar hukum tentang waris untuk mengkaji dalam masalah ini dengan kajian studi hukum islam.

    Bab IV menganalisis dengan menggunakan metode analisis yang tidak lepas dari dua sumber tersebut diatas untuk menemukan kepastian dan kejelasan hukum tentan adanya tes DNA terhadap anak akibat pelaku zina.

    Bab V penutup menyimpulkan data-data yang telah di kumpulkan serta juga menyimpulkan dari isi skripsi yang telah di bahas didalamnya secara singkat jelas dan logis, dan tidak lupa saran yang sangat diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar lebih baik.


    BAB II
    Praktek tes DNA (Deoxyribose Nucleid Acid)

    A.Pengertian DNA
    B.Tata cara pelaksanaan DNA
    C.Bentuk tes DNA
    D.Faktor-faktor orang terpaksa melakukan tes DNA

    BAB III
    Tes DNA dalam kaitannya dengan hukum islam serta dampak hukumnya terhadap penentuan ahli waris dan nasab seseorang

    A.Tinjauan hukum islam terhadap adanya test DNA
    B.Hukum test DNA beserta pendapat para ulama
    C.Tes DNA dalam kaitannya dengan hukum kewarisan islam

    BAB IV
    Analis hukum islam tentang test DNA

    BAB V
    PENUTUP
    a.Kesimpulan
    b.Saran



    more
  • Murabahah dan Istishna'

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.LATAR BELAKANG

    Paradigma baru yang berkembang pada masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 adalah perlu dikembangkannya ekonomi kerakyatan dimana pertumbuhan ekonomi didorong dari bawah. Hal ini berarti diperlukannya alokasi sumber daya untuk membangkitkan golongan ekonomi lemah dan koperasi. Tingkat bunga yang sangat tinggi pada masa krisis sampai 65 % setahun jelas tidak mendukung berkembangnya ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu diperlukan perangkat lembaga keuangan baru yang tentunya bukan berupa bunga. Karena Itu Pada dekade sekarang ini telah banyak bank bank syariah yang menawarkan produk produknya baik itu produk yang tabarru' ataupun yang tijarah.

    Wajar jika banyak perspektif negatif yang ditujukan oleh masyarakat awam kepada Bank syariah. Sejauh ini mayoritas portofolio pembiayaan oleh Bank Syariah didominasi oleh pembiayaan Murabahah. Sepintas memang ada kemiripan antara pembiayaan Murabahah di Bank Syariah dan kredit pembelian barang di Bank Konvensional. Umumnya mereka mengatakan operasional bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional. Hanya saja jika di Bank Konvensional menerapkan sistim bunga, maka di bank syariah dirubah dengan istilah margin


    B.RUMUSAN MASALAH
    Bagaimana Pembiayaan Murabaha Dan Pembiayaan Istisna' di Bank Syari'ah ?

    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.Pembiayaan Murabaha

    Salah satu skim fiqih yang paling popular digunakan oleh perbankan syariah adalah skim jual beli murabaha. transaksi murabaha ini lazim dilaksanakan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya.secara sederhana murabaha berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati,jadi singkatnya murabaha adalah akad jual beli dengan mengadakan perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli, karena dalam definisinya disebut adanya "keuntungan yang disepakati" karakteristik murabaha adalah si penjual harus membeli tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menambahkan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.

    Syarat syarat ba'I murabaha:
    a.penjual memberitahubiaya modal kepada nasabah
    b.kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
    c.kontrak harus bebas dari riba
    d.penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atau barang sesudah pembelian
    e.penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan demgan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang


    Secara prinsip, jika sarat dalam a,d,dan e. tidak dipenuhi pembeli memiliki pilihan :
    a.melanjutkan pembelian seperti apa adanya,
    b.kembali kepada penjua dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual,
    c.membatalkan kontrak.

    Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. . Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilaisebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual (bank) akan mengurangi nilai akad.

    Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain itu, dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga untuk cara pembayaran yang berbeda.

    Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah:
    a). mempercepat pembayaran cicilan; atau
    b). melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.

    Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.

    Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank.
    Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat.Urbun menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan. Tetapi apabila murabahah batal, urbun dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah.

    Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (qardhul hasan).

    B.Bai’al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
    Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan.
    Dalam fatwa DSN-MUI dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan paembauatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan ( pembeli, mustashni’) dan( penjual, shani’).

    Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”.

    Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang diserahkan belakang. Walaupun uangnya juga sama-sama dibayar secara cicilan.

    Dengan demikian, metode pembayaran pada jual-beli murabahah muajjal sama dengan metode pembayaran dalam jual-beli istishna’, yakni sama-sama dengan sistem angsuran (installment). Satu-satunya hal yang membedakan adalah waktu penyerahan barangya.
    Contoh kasus :
    Pemerintah daerah Jateng mempunyai proyek pengerjaan pembuatan jalan tol Semarang-Solo sepanjang 80 km. kebutuhan total dana untuk proyek itu adalah Rp. 3 Trilliun dengan jangka waktu pengerjaan 3 tahun. Untuk pembangunna ini pada tanggal 1 Mei 2002 Pemda Jateng menunjuk CV. Sukses Makmur sebagai kontraktor tunggal dalam pengerjaan proyek tersebut. CV. Sukses Makmur meminta adanya pembayaran dimuka sebesar 50% dan sisanya dibayar ketika pengerjaan sudah mencapai 75% dan 100%. Pemda tidak mampu untuk membayar dengan term sesuai dengan permintaan kontraktor. Untuk itu Pemda Jateng menghubungi Bank Syari’ah Perkasa untuk mendapatkan pembiyaan proyek tersebut. Pemda bersedia untuk membayar biaya pembuatan proyek tersebut seharga Rp. 3,6 Trilliun dengan pembayaran secara angsuran sebesar Rp. 100.000.000,-/bulan.

    BAB III
    KESIMPULAN


    Murabaha adalah akad jual beli dengan mengadakan perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli, karena dalam definisinya disebut adanya "keuntungan yang disepakati" karakteristik murabaha adalah si penjual harus membeli tahu pembeli tenteng harga pembelian barang dan menambahkan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.

    Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan. Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang diserahkan belakang. Walaupun uangnya juga sama-sama dibayar secara cicilan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ir. Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2008
    Syafri’I Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press), 2001
    http://www.karimsyah.com/imagescontent/article/20050923150928.pdf
    http://www.mailarchive.com/ekonomisyariah%40yahoo.html+definisi+pembiayaan+istishna

    more
  • Monogami, Poligami dan Poliandri dalam Perspektif Hukum Islam

    BAB I
    PENDAHULUAN


    Salah satu bagian yang sampai saat ini masih ramai diperbincangkan dalam ilmu fiqih yaitu fiqih munakahah. Di dalam fiqih munakahah yang sangat laku menjadi bahan diskusi di kalangan kita adalah soal poligami. Poligami merupakan persoalan yang pelik yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya dan Islam pada umumnya.

    Menurut pakar psikologi maupun seksiologi, seorang laki-laki yang memasuki usia 30–40 an mempunyai gairah seks yang meledak-ledak. Umumnya disebut masa puber ke-2 dan punya fasilitas, ia cenderung banyak tingkah. Meskipun tidak semuanya, tetapi kebanyakan mereka yang tergolong sukses, mencoba bermain-main dengan apa yang disebut WIL (wanita idaman lain). Sedangkan bagi yang jujur biasanya merengek-rengek kepada istrinya agar diperbolehkan kawin lagi.

    Sebenarnya keinginan untuk berselingkuh dengan WIL atau terang-terangan ingin kawin lagi bukan semata-mata karena dorongan kebutuhan seksual saja. Tetapi juga dipengaruhi oleh suatu kecenderungan agar ia dianggap hebat. Bagi laki-laki “tukang kawin” akan merasa bangga jika dirinya dianggap berhasil dalam menghidupi beberapa istrinya yang rukun-rukun saja.

    Berpoligami tidak dilarang dalam Islam. boleh saja seorang lelaki mempunyai dua atau tiga bahkan empat orang istri. Tetapi ada syarat-sayarat berat yang harus dipenuhi, yaitu bersikap adil kepada istri-istrinya. Bersikap adil yang dimaksudkan dalam berpoligami adalah adil dalam segala-galanya. Tak sedikit laki-laki “berlindung” pada alasan bahwa keinginannya berpoligami itu meniru cara Nabi Muhammad. Di mana, saat itu Nabi mempunyai istri lebih dari satu. Lalu ketika niatnya menggebu-gebu ia berjanji pada istri pertama bahwa ia akan berlaku seadil-adilnya kepada istrinya yang kedua atau ketiga.

    Ada pula yang beralasan berpoligami itu lebih baik untuk menyalurkan nafsu syahwat yang berlebih-lebihan. Mereka bilang, “daripada berzina lebih baik kawin lagi, walaupun dengan cara siri”.

    Ada seorang lelaki yang mempunyai dua orang istri dengan bangganya ia bercerita katanya ia berhasil manjadi lelaki tulen karena bisa berpoligami dan menyatukan dua hati. Bahkan dua istrinya itu hidup bersama dalam satu rumah. Alasan mengapa ia berpoligami, karena selama kawin dengan istri pertama tak di karuniai anak. Tanpa memeriksakan diri ke doktor, suami itu secara tidak langsung menuduh istrinya yang mandul. Dengan bersenjatakan hal yang demikian itu, ia menekan agar istrinya memperbolehkan ia berpoligami. Meskipun pada awalnya terjadi perdebatan, akhirnya keinginannya terkabul. Ia kawin lagi dengan gadis yang lebih muda dari istrinya. Sampai bertahun tahun lamanya, dengan istri kedua pun mereka tak mendapatkan anak. Kesimpulannya bahwa bukan istri istrinya yang mandul.

    Jadi sebelum memutuskan untuk kawin lagi, hendaknya kita bertanya pada diri sendiri, berpikir dengan nurani yang merdeka tidak terpengaruh nafsu. Sudahkah tujuan kita itu dengan aturan-aturan Islami. Kalau keinginan berpoligami itu masih dipengaruhi oleh nafsu syahwat atau ingin mendapat pujian sebagai lelaki hebat, sebaiknya niat itu di tunda dulu. Karena berpoligami itu tidak semudah yang dibayangkan.

    Selain itu ada kecenderungan hebat yang selama ini muncul sebagai bentuk ketertarikan kaum hawa versus lisensi poligami yang dimunculkan Indonesia. Istilah itu kita kenal dengan poliandri. Bagaimana kita menanggapi masalah ini merupakan main purpose dari pembuatan makalah ini.

    BAB II
    PEMBAHASAN
    A. Pengertian Poligami, Monogami dan Poliandri

    Secara harfiyah, gami beraarti menikahi perempuan, poly berarti banyak sedangkan mono berarti satu. Andri memiliki arti menikahi laki-laki.
    Secara istilah monogami menikahi satu istri, poligami berarti menikahi lebih dari satu istri sedangkan poliandri berarti menikahi lebih dari satu suami.

    B.Poligami di Indonesia
    Berdasarkan UU No.1/1974 tentang perkawinan, maka Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, baik untuk pria maupun untuk wanita (vide pasal 3 (1) UU No.1/1974). Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

    Untuk kelancaran pelaksanaan UU No.1/1974, telah dikeluarkan PP No.9/1975, yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari UU tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan (vide pasal 4 UU No.1/1975 dan pasal 40 PP No.9/1975).

    Pegawai Pencatat Perkawinan dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan (pasal 44 PP No.9/1975).

    Khusus pegawai negeri sipil dan yang dipersamakan, seperti pejabat pemerintahan desa, telah dikeluarkan PP No.10/1983 tentang Izin perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dengan maksud agar pegawai negeri sipil dapat menjadi contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam membina kehidupan berkeluarga.

    PP No.10/1983 secara tidak langsung untuk memperketat dan mempersulit izin perceraian dan izin poligami, sebab selain yang bersangkutan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam UU No.1/1974 dan PP No.9/1975, juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam PP No.10/1983. Misalnya, menurut PP No.10/1983, pegawai negeri sipil yang akan melakukan perceraian dan poligami harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang untuk itu (pasal 3 dan 4).

    Apabila pegawai negeri melakukan perceraian dan poligami tanpa izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang, maka ia dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri tidak atas permintaan sendiri (pasal 16).
    Demikianlah beberapa ketentuan pokok dari PP No.10/1983, yang bertujuan untuk mencegah atau mempersulit poligami di kalangan pegawai negeri, dengan adanya sanksi-sanksi hukuman yang berat dan akibat-akibat yang negatif dari poligami yang harus dipikirkan lebih dahulu secara matang oleh pegawai yang bersangkutan.

    C.Poligami Menurut Hukum Islam
    Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/mudarat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu menjadi sumber konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.
    Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan tersinggung timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.

    Bahkan, kalangan pengamat luar Islam (Islamisis) menganggap dibolehkannya melakukan poligami ini membuktikan bahwa Islam sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan suami istri. Poligami menurut mereka, merupakan salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan (istri).
    Marilah kita perhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah monogami dalam surah an-Nisa ayat 2-3:
    2.Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
    3.Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

    Ayat 2 dan 3 surah an-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah. Sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin Zubair mengenai maksud ayat 3 surah an-Nisa tersebut.

    Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat yatim terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang.
    Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.

    Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surah ini surah an-Nisa, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah ra yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi ialah Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-istrinya.

    Menurut Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi tersebut lemah tetapi ia menganggap benar jika yang dimaksud dengan ayat 3 surah an-Nisa itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jabir, Muhammad Abduh, dan Al-Razi. Artinya dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di atas, maka maksud ayat tersebut ialah unttuk meberantas/melarang tradisi zaman jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyah yang mengawini istri yang banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat ini.

    D.Makna Adil Menurut Tokoh-tokoh Islam
    Apabila kita melihat kembali sejarah teologi-sosial poligami, tampak bahwa hal itu merupakan tindakan yang dikhususkan untuk menolong janda-janda dan anak-anak yatim yang terancam nasibnya. Hendaknya kita memperhatikan pendapat Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa Al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah. Dalam bukunya, Muhammad Syahrur mencoba melakukan reinterpretasi terhadap surah an-Nisa ayat 3, sebagaimana yang umum dilakukan oleh ulama-ulama tafsir maupun fiqih lainnya. Dia memulainya dengan menafsirkan seluruh ayat tersebut secara etimologis. Menurutnya kata “qasthun” dan “adlun” memiliki dua makna yang saling bertentangan. Pertama kata “qasthun” bisa bermakna keadilan sesuai dengan surah al-Maidah ayat 42, al-Hujarat ayat 9, dan al-Mumtahanah ayat 8. Kedua, bermakna kezaliman dan dosa sesuai dengan makna surah al-Jin ayat 15. demikian juga kata “adlun” berarti istawa (sama); dan kedua, berarti a’wajaj (bengkok). Walaupun demikian, antara “adlun” dan “qisthun” ada perbedaan makna. Apabila kata “qisthun” itu berbuat adil pada satu cabang, kata “adlun” berbuat adil kepada dua cabang secara seimbang. Memperhatikan ulasan Syahrur disinilah sebenarnya hakikat keadilan yang dimaksud.

    Prinsip keadilan inilah yang digaris bawahi Muhammad Abduh ketika dia mengeluarkan fatwa yang sangat menghebohkan untuk ukuran zamannya. Fatwa Abduh yang dikeluarkan pada tahun 1298 H tersebut secara panjang lebar dikutip oleh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam bukunya yang sangat terkenal Hikmah Al Tasyri wa Falsafatuhu. Abduh mengatakan bahwa syariat Muhammad saw. Memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan sekaligus, jika laki-laki tersebut mengetahui kemampuan dirinya untuk berbuat adil. Jika tidak mampu berbuat adil, tidak dibolehkan beristri lebih dari satu. Dalam hal ini Abduh mengutip “fain khiftum alla ta’dilu fawahidatan”. Menurut Abduh, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan kacaulah penghidupan keluarga. Padahal, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.

    Dari kutipan Al-Jurjawi atas Fatwa Muhammad Abduh sangat menekankan kepada keadilan kualitatif dan hakiki, seperti rasa sayang, cinta dan kasih, yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang digunakan oleh Al-Qur’an, yaitu “adalah”, yang memang memiliki makna yang lebih kualitatif. Adapun keadilan bersifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat untuk kata “qisthun”. Keadilan kuantitatif ini bersifat rentan karena sifatnya mudah berubah, misalnya tentang pembagian rezeki secara merata diantara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah hari (giliran) dan sebagainya.

    Abdurrahman Al-Jaza’iri dalam kitab Al-Fiqih ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah menyatakan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena, sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan cinta.

    E.Hikmah dan Dampak Poligami
    Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dan keadaan darurat dengat syarat berlaku adil antara lain ialah sebagai berikut:
    1.Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
    2.Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
    3.Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
    4.Untuk menyelamatkaan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.

    Kalau kita perhatikan dalam mengupas hikmah poligami, kebanyakannya lebih cendrung memihak kepada kepentingan laki-laki. Sebagai misal, kalau tidak ada poligami dimungkinkan akan merebaknya perzinaan, dekadensi moral dan sebagainya. Seorang penulis Indonesia Said Thalib Al-Hamadani, tokoh Al-Irsyad, berpendapat bahwa poligami dibolehkan dalam Islam karena untuk kepentingan memperbanyak umat. Jalan untuk ini adalah dengan cara melakukan kawin. Menurutnya, Negara-negara maju banyak membutuhkan sumber daya manusia. Lebih lanjut, ia membuat pernyataan yang belum dibuktikan oleh dunia kedokteran bahwa seorang laki-laki memiliki kemampuan yang lebih kuat dalam membuahkan keturunan dibandingkan kaum perempuan dengan alasan siklus reproduksi laki-laki lebih panjang karena tidak mengenal menopause. Daripada seorang laki-laki melakukan penyimpangan seksual kepada selain istrinya, sebaiknya berpoligami.

    Model penafsiran monolitik terhadap kasus seperti ini memang sering terjadi. Seharusnya dalam menetapkan persoalan poligami terlebih dahulu harus melakukan pengamatan secara objektif, tidak hanya dari sudut pandang laki-laki, tetapi juga dari sudut pandang perempuan. Tidakkah kita berpikir bahwa sebagai seorang muslim, perempuan juga memiliki kepentingan hati nurani. Kepentingan untuk hidup tenang dengan suami yang dicintainya tanpa diributi oleh ketiga (wanita intim lain).
    Salah satu alasan dibolehkannya berpoligami yaitu untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya, ini juga jelas-jelas tidak qurani karena berusaha untuk menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali. Yakni, jika kebutuhan seksual seoarang laki-laki dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Barangkali, jika nafsunya lebih besar daripada dua, maka ia harus mempunyai tiga, dan terus sampai dia mempunyai empat. Baru setelah empat, prinsip Al-Qur’an tentang pengendalian diri, kesederhanaan, dan kesetiaan akhirnya dijalankan.

    Karena pada awalnya istri diisyaratkan untuk mengendalikan diri dan setia, kebajikan moral ini juga penting untuk suami. Al-Qur’an jelas tidak menekankan pada suatu tingkat yang tinggi dan beradab untuk wanita sementara membiarkan laki-laki berinteraksi dengan yang lain pada tingkat yang paling hina.

    Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
    1.Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan.
    2.Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harist kepada suku Bani Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiah, seorang tokoh dari suku Bani Quraidzah dan Bani Nadhir.
    3.Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafsah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda. Tetapi kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda berumur 40 tahun dan pasangan suami istri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia serta mendapatkan keturunan : dua anak laki-laki, tetapi meninggal masih kecil, dan empat anak wanita.

    Setelah Khadijah wafat tahun ke 10 sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi, barulah kemudian Nabi memikirkan kawin lagi. Mula-mula kawin dengan Saudah binti Zum’ah, seorang janda, kemudian disusul dengan istri-istrinya yang lain. Tetapi tidak ada seorang istrinya pun yang dikawini dengan motif untuk pemuasan nafsu seks atau karena harta kekayaannya, melainkan karena motif agama, politik, sosial dan kemanusiaan.

    Sedangkan dampak umum terjadinya poligami bagi istri adalah :
    1.Timbulnya perasaan inferior (menyalahkan diri sendiri)
    2.Ketergantungan secara ekonomi kepada suami.
    3.Sering terjadi adanya kekerasan pada perempuan baik fisik, ekonomi, seksual, maupun psikologis
    4.Dengan lisensi poligami masyarakat sering nikah dibawah tangan
    5.Kebiasaan poligami akan rentan terhadap penyakit menular termasuk HIV/AIDS.

    F.Hukum Poliandri
    Hukum poliandri berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah adalah haram sesuai dengan firman Allah : "Dan (diharamkan juga bagi kamu) mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki".

    Ayat diatas yang berbunyi "wal muhshonat minnan nisaai illa ma malakat aymanukum" menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang hara untuk dinikai adalah wanita yang sudah bersuami.

    Jelaslah bahwa wanita yang bersuami haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas merupakan dalil atas haramnya poliandri.

    G.Hikmah diharamkannya poliandri
    Diantara beberapa hal yang harus diperhatikan dalam larangan poliandri andalah :
    1.Menjaga keturunan (mempermudah menentukan wali bagi anaknya)
    2.Kebiasaan berganti-ganti pasangan bagi suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular.


    BAB III
    PENUTUP

    Kesimpulan

    Hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami. Asas monogami ini telah diletakan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam.

    Adapun poligami hanya dibolehkan bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul. Suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

    Hukum poliandri berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah adalah haram sesuai dengan firman Allah : "Dan (diharamkan juga bagi kamu) mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki".

    DAFTAR PUSTAKA

    Asnawi. Moch., Himpunan Peraturan dan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, (Kudus: Menara Kudus, 1975)
    Husain Haikal, Muhammad, Hayatu Muhammad, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Arabiyah, 1965)
    Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan)
    Mahmud al-Aqqad, Abbas, Haqaiqul Islam wa Abathilu Khushumih, (Cairo: Darul Qalam, 1957)
    Peraturan Pemerintah RI No.10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
    Shiddiq al-Jawi . Muhammad, Dalil Haramnya Poliandri. Hayatul Islam.Net

    more
  • Transaksi Jual Beli Secara Online (Akad Salam Secara E-Commerce)

    BAB I
    PENDAHULUAN


    A.Latar Belakang
    Merupakan kehendak Allah, bahwa manusia diciptakan dalam bingkisan social, dimana manusia dituntut untuk berinterakasi (bermasyarakat, tolong meneolong, dll). Oleh karenanya, manusia harus menyadari akan keterlibatan orang lain dalam suatu kehidupan ini, yaitu saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama-sama, dan mencapai tujuan hidup yang lebih maju.

    Ajaran islam yang dibawa Muhammad ini memiliki sisi keunikan tersendiri, dimana didalam ajaean tersebut tidak hanya bersifat komprehensif, tapi juga bersifat universal. Komprehensip berarti mencakup seluruh aspek kehidupan, baik ritual, ataupun social (hubungan antara sesamam makhluk). Seda ngkan Universal bisa diterapkan kapan saja, hingga hari akhir.

    Landasan ajaram islam Al-Qur’an dan Al-Hadits memiliki daya jangkau dan daya atur, yang secara universal dapat dilihat dari sisi teksnya yang selalu pas untuk diimplementasikan dalam wacana kehidupan actual, misalnya daya jangkau dan daya atur dalam masalah perekonomian. Dalam hal ini ekonomi maupun bidang-bidang ilmu lainnya tidak luput dalam kajian islam, yang bertujuan untuk menuntun manusia agar selalu tetap berada dijalan Allah, jalan kebenaran dan keselamatan.

    Aspek perekonomian merupakan suatu hal yang sangat penting, dimana posisi ini menentukan akan kesejahteraan manusia semuanya. Seiring dengan perjalana sang wasktu dan pertumbuhan masyarakat, serta kemajuan IPTEK (illmu penegetahuan dan tekhnologi), maka dalam hal ini mengarah pada suatu titik, yaitu membentuk dan mewujudkan perubahan terhadap pola kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali dalam bidang ekonomi, yaitu tentang suatu perdagangan, sebagaimana firman Allah :
    يا أيها الذين امنوا ألاتأكلوا اموالكم بينكم باالباطل إلا أنتكون تجارة عن تراض منكم .....
    وأحل الله البيع وحرم الربا

    Konklusi ayat diatas menunjukkan diperbolehkannya jual beli yang saling menguntungkan, dan dilarang merampas harta orang lain dengan cara menipu atau berbuat kecurangan.

    Transaksi salam, sebagaiman model transaksi jual beli lainnya telah ada, bhakan sebelum kedatangan Nabi Muhammad, sebagai bentuk transaksi yang ada sejak lama,dan ipraktekkan dalam masyarakat luas. Dalam transaksi ini terlampir seperangkat aturan yang trcantum dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijma’ para Ulama’. Akan tetapi dengan adanya berkembangnya kemajuan zaman, yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, mebawa manusia pada perubahan secara signifikan. Contoh kecil, perkembangan teknologi elektronik yang berlangsung sangat pesat akhir-akhir ini, telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, bagaimana tidak, kalo adanya digunakan sebagai alat transaksi bisnis jarak jauh (E-Commerce / non face), yang hanya melakukan pertukaran data.

    B.Penegasan Judul
    1.Jual beli : suatu transaksi perdagangan
    2.Salam : dalam islam dikenal sebagai akad pesanan (memesan barang) atau transaksi jual beli dengan cara memesan
    3.Transaksi secar online Ec-Coomerce : transaksi jual beli dengan cara memesan barang secara online, lewat photo shop, secara maya, hanya dengan salintukar data informasi.

    C.Identifikasi Dan Batasan Masalah
    Dalam makalah ini akan membahas tentang “Transaksi Jual Beli Secara Online (akad salam secara E-Commerce) dimana penelitian akan difokuskan pada system perekonomian dagang islam dalam menjawab tantangan global. Dengan landasan al-Qur’an dan al-Hadits, serta kitab-kitab para Ulama’. objek forma.

    Dari penelitian sementara dapat disimpulkan bahwa transaksi salam (pesanan) diperbolehkan, akan tetapi transaksi salam secar onlinemasih belum titik kejelasan, sebab itulah perlu ditelaah ulang untuk mendapatkan bukti apakah adanya kehadiran teks dalam dua wahyu tersebut dapat merubah posisi, hingga aturan dalam islam memang dapat dibuktikan akan ke-aktualan dan faktualnya, serta system perekonomian islam tidak tertinggal jauh oleh zaman.

    kemudian ditela’ah sesuai analisis ilmiah, melalu pertimbangan Al-Qur’anm hadits dan ijma’, yang akhirnya bisa dijadikan hujjah untuk dikonsumsi ditengah-tengah masyrakat. Serta penelitian ini akan membahas sejauh mana dampak dan pengaruh transaksi secara online atau E-Commerce pada kehidupan manusia.

    D.Rumusan Masalah
    1.Pengertian transaksi jual beli dengan akad salam secara Sayr’I (menurut pandangan islam)
    2.Pengartian transaksi jual beli dengan akad salam secara online (E-Commerce)
    3.Bagaimanakah tinjauan hukum islam terhadap pembelian secara Online (E-Commerce)?

    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.Penegertian Jual Beli Dengan Akad Salam Secara Syar’i

    Secara bahasa, transaksi (akad) digunakan berbagai banyak arti, yang hanya secara keseluruhan kembali pada bentuk ikatan atau hubungan terhadap dua hal. Yaitu As-Salam atau disebut juga As-Salaf merupakan istilah dalam bahasa arab yang mengandung makna “penyerahan”. Sedangkan para fuqaha’ menyebutnya dengan al-Mahawi’ij (barang-barang mendesak) karena ia sejenis jual beli barang yang tidak ada di tempat, sementara dua pokok yang melakukan transaksi jual beli mendesak.

    Jual beli pesanan dalam fiqih islam disebut as-salam sedangkan bahasa penduduk hijaz, sedangkan bahsa penduduk iraq as-salaf. Kedua kata ini mempunyai makna yang sama, sebagaimana dua kata tersebut digunakan oleh Nabi, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah ketika membicarakan akad bay’salam, beliau menggunakan kata as-salaf disamping as-salam, sehingga dua kata tersebut merupakan kata yang sinonim.
    Secar terminology ulama’ fiqih mendefinisikannya :
    بيع اجل معاجل او بيع شيئ موصوف في الذمة اي انه يتقدم فيه رأس المال ويتأخر المثمن لأجله
    “manjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang cirri-cirinya jelas dengan pembayaran modal di awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian”.

    Sedangkan Ulama’ Syafi’yah dan Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut :
    عقدعلى موصوف بذمة مقبوض بمجلس عقد
    “akad yang disepakati dengan menentukan cirri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majelis akad”.
    Dengan adanya pendapat pendapat diatas sudah cukup untuk memberikan perwakilan penjelasan dari akad tersebut, dimana inti dari pendapat tersebut adalah; bahwa akad salam merupakan akad pesanan dengan membayar terlebih dahulu dan barangnya diserahkan kemudian, tapi cirri-ciri barang tersebut haruslah jelas penyifatannya.
    Dan masih banyak lagi pendapat yang diungkapkan para pemikir dalam masalah ini, sebagaimana al-Qurthuby , An-Nawawi dan ulama’ malikiyah, serta yang lain, mereka ikut andil memberikan sumbangsih pemikiran dalam masalah ini, akan tetapi karena pendapatnya hampir sama dengan pandapat yang diungkapkan diatas, maka penulis berfikir, bahwa pendapat diatas sudah cukup untuk mewakilinya.

    Dalam islam dituntut untuk lebih jelas dalam memberikan sutu landasan hukum, maka dari itu islam melampirkan sebuah dasar hukum yang terlampir dalam al-Qur’an, al-Hadits dan Al-hadits, ataupun Ijma’. Perlu diketahui sebelumnya mengenai transaksi ini secara khusus dalam al qur an tidak ada yang selama ini dijadikan landasan hokum adalah transaksi jual beli secara global, karna bay salam termasuk salah satu jual beli dalam bentuk khusus, maka hadist Nabi dan ijma’ ulama’ banyak menjelaskannya dan tentunya Al-Qur’an yang membicarakan secara global sudah mencakup atas diperbolehkannya jual beli akad salam. Adapun landasan hokum islam mengenai hal tersebut adalah :
    a.Ayat tentang bay as-salam
    الذين يأكلون الربوا لايقومون إلا كما يقول الذي يتخبطه الشيطن من المس ذلك بأنهم قالوا إنماالبيع مثل الربوا وأحل الله البيع وحرم الربوا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ماسلف وامره إلى الله ومن عاد فالئك اضحاب النار هم فيها خالدون
    ياايهالذين أمنوا إذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه واليكتب بينكم كاتب بالعدل ولا يأب كاتب أنيكتب كماعلمه الله فاليكتب واليملل الذي عليه الحق واليتق الله ربه ......
    b.Hukum tentang bay assalam
    Adapun hadits tentang dasar hokum diperbolehkannya transaksi ini adalah, sebagaimana riwayat Hakim bin Hizam :
    عن حكيم بن حزام ان النبي صلى الله عليه وسلم قال له لاتبع ما ليس عندك
    “dari hakim bin hizam, sesungguhnya Nabi bersabda : janganlah menjual sesuatu yang tidak ada padamu”
    عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة وهم يسلفون في الثمر السنتين والثلاث فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من أسلف في شيئ ففي كيل في ثمر معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم (رواه البخاري)
    “dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, Nabi dating kemadinah, dimana masyrakat melakukan transaksi salam (memesan) kurma selama dua tahun dan tiga tahun, kemudian Nabi bersabda, barang siapa melakukan akad salam terhadap Sesutu, hendaklah dilakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai batas waktu yang jelas.

    Dalam transaksi salam ini diperlukan adanya keterangan mengenai pihak-pihak yang terlibat, yaitu orang yang melakukan transaksi secara langung, juga syarat-syarat ijab qabul, yaitu :

    a.Pihak-pihak yang terlibat
    Adapun pihak-pihak yang terlibat langsung adalah al-muslim dimana posisinya sebagai pembeli atau pemesa, dan juga muslim ilaihi, dimana posisinya sebagai orang yang di amanatkan untuk memesan barang dan Juga barang yang di maksudkan.
    Sedangkan syarat dari penjual dan pemesan, penulis hanya bisa menyimpulkan sedikit, yaitu mereka belum termasuk sebagai golongan-golongan orang-orang yang dilarang bertindak sendiri, seperti anak-anak kecil, gila, pemboros, banyak hutangnya, atau yang lainnya.

    b.Syarat-syarat ijab qabul
    pernyataan dalam ijab qabul ini bisa disampaikan secara lisan, tulisan (surat menyurat, isyarat yang dapat memberi pengertian yang jelas), hingga perbuatan atau kebiasaan dalam melakukan ijab qabul. Adapun syarat-syaratnya adalah :
    -Dilakukan dalam satu tempo
    -Antara ijab dan qabul sejalan
    -Menggunakan kata assalam atau assalaf
    -Tidak ada khiyar syarat (hak bagi pemesan untuk menerima pesanan atau tidak)
    B.Pengertian Jual beli dengan Akad Salam Secar online (E-Commerce)

    Transaksi secara online merupakan transakasi pesanan dalam model bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer data lewat maya (data intercange) via internet, yang mana kedua belah pihak, antara originator dan adresse (penjual dan pembeli), atau menembus batas System Pemasaran dan Bisnis-Online dengan menggunakan Sentral shop, Sentral Shop merupakan sebuah Rancangan Web Ecommerce smart dan sekaligus sebagai Bussiness Intelligent yang sangat stabil untuk diguakan dalam memulai, menjalankan, mengembangkan, dan mengontrol Bisnis.

    Perkembangan teknologi inilah yang bisa memudahkan transaksi jarak jauh, dimana manusia bisa dapat berinteraksi secara singkat walaupun tanp face to face, akan tetapi didalam bisnis adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari keuntungan.

    Adapun mengenai definisi mengenai E-Commerce secara umumnya adalah dengan merujuk pada semua bentuk transaksikomersial, yang menyangkut organisasi dan transmisi data yang digeneralisasikan dalam bentuk teks, suara, dan gambar secara lengkap.
    Sedangkan pihak-pihak yang terlibat sebagaiman yang telah diungkapkan dalam akad salam diatas, mungkin tidak beda jauh, hanya saja persyaratan tempat yang berbeda.

    C.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembelian Secara Online (E-Commerce)
    Sebagaimana keterangan dan penjelasan mengenai dasar hokum hingga persyaratan transaksi salam dalam hokum islam, kalo dilihat secara sepintas mungkin mengarah pada ketidak dibolehkannya transaksi secara online (E-commerce), disebabkan ketidak jelasan tempat dan tidak hadirnya kedua pihak yang terlibat dalam tempat.

    Tapi kalo kita coba lebih telaah lagi dengan mencoba mengkolaborasikan antara ungkapan al-Qur’an, hadits dan ijmma’, dengan sebuah landasan :
    الأصل في المعاملة الإباحة حتى يدل الدليل لعلى تحرمه
    Dengan melihat keterangan diatas undijadikan sebagai pemula dan pembuka cenel keterlibatan hokum islam terhadap permasalahan kontemporer. Karena dalam al-Qur’an permasalahn trasnsaksi online masih bersifat global, selamjutnya hanya mengarahkan pada peluncuran teks hadits yang dikolaborasikan dalam peramasalahan sekarang dengan menarik sebuah pengkiyasan.

    Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud : Bahwa apa yang telah dipandang baik leh muslim maka baiklah dihadapan Allah, akan tetapi sebaliknya.
    Dan yang paling penting adalah kejujuran, keadilan, dan kejelasan dengan memberikan data secara lengkap, dan tidak ada niatan untuk menipu atau merugikan orang lain, sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqarah 275 dan 282 diatas.

    BAB III
    KESIMPULAN

    1.Transaksi salam adalah transaksi pesanan dengan melibatkan penjual dan sipembeli, dengan membayar uang dimuka dan barangnya diserahkan dikemudian hari
    2.Transaksi memesan barang secara online non face atau maya world, dengan cara menular data, dengan menampakkan keperluan, kejelasan barang, baik berupa tulisan atau gambar
    3.Ketika bentuk barang sudah jelas, dengan menampakkan keseluruhan barang, walaupun tidak secara langsung, akan tetapi, dengan tidak adanya niat saling merugikan, hanya sebatas bisnis, agar saling menguntungkan dan memuaskan.

    DAFTAR PUSTAKA


    Asnawi, Haris Faulidi, Transaksi Bisnis E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta : Laskar Press),
    Al-mwardi dalam Manshur ibnu Idris al-Bahiti, Kasaf al-Qur’an, hlm. 288
    Ibn Abidin¸ Ad-Dar Al-Muhtar,
    Hasan, Ali , Bebagai Macam Transaksi Dalam Islam,
    Basyit, Ahmad Azhar, Asas-asa Hukum Mu’amalah. (Yogyakarta : UII pres,1990),
    Daud, Ali Mahmud, Hukum Islam Di Indonesia : pengantar hokum islam dan tata hokum islam di Indonesia, (Jakarta : PT: Grafindo, 1993)

    more
  • PEMBIAYAAN IJARAH DAN IMBT

    Oleh : M. Abduh

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.LATAR BELAKANG
    Dalam kehidupan sehari - hari, masyarakat memiliki kebutuhan kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.
    Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.,Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary functions)

    B.RUMUSAN MASALAH
    Bagaimana Pembiayaan Ijarah Dan IMBT Pada Bank Syariah ?

    BAB II
    PEMBAHASAN

    A. PEMBIAYAAN IJARAH
    Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa,tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah)
    Definisi mengenai prinsip Ijarah juga telah diatuir dalam hokum positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah sebagai transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.Bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim Ijarah, bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.

    Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syarah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas
    suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

    Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan
    melalui Ijarah dibedakan menjadi dua yaitu :
    1.Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan.Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah
    2.Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease ).

    Dalam hal penggunaan prinsip syariah pada pembiayaan ijarah. Ijarah adalah akad sewa menyewa, sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa.

    Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau bukan miliknya. Yang penting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang kemudian disewakannya. Fatwa DSN tentang ijarah ini kemudian diadopsi kedalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 yang menjelaskan bahwa bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali (para 129). Namun tidak seluruh fatwa DSN diadopsi oleh PSAK 59, misalnya fatwa DSN mengatur bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa; sedangkan PSAK 59 hanya mengakomodir objek ijarah yang berupa manfaat dari barang.

    Pada pembiayaan ijarah, bank berkedudukan sebagai penyedia uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam rangka penyewaan barang berdasarkan prinsip ijarah. Mengikuti penjelasan ijarah dalam PSAK 59, maka pembiayaan ijarah dapat digunakan untuk membiayai penyewaan barang yang kemudian disewakannya kembali kepada nasabah, dan dapat pula digunakan untuk membiayai pembelian barang yang kemudian disewakannya kepada nasabah.

    FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN IJARAH

    Pertama : Rukun dan Syarat Ijarah:
    1.Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
    2.Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa, dan penyewa/pengguna jasa.
    3.Obyek akad Ijarah, yaitu:
    a.manfaat barang dan sewa; atau
    b.manfaat jasa dan upah.

    Kedua : Ketentuan Obyek Ijarah:
    1.Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
    2.Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
    3.Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
    4.Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
    5.Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
    6.Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
    7.Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
    8.Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
    9.Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

    Ketiga: Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah:
    1.Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
    a.Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
    b.Menanggung biaya pemeliharaan barang.
    c.Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
    2.Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
    a.Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
    b.Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
    c.Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

    Keempat :
    Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

    Proses pembiayaan ijarah adalah sebagai berikut :
    1.Nasabah mengajukan pembiayaan ijarah ke bank syari’ah
    2.Bank Syari’ah membeli/menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objek ijarah, dari supplier/penjual/pemilik.
    3.Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan baik mengenai objek ijarah, tariff iajarah, periode ijarah dan biaya pemeliharaannya, maka akad pembiayaan ijarah ditandatangani. Nasabah diwajibkan menyerahakan jaminan yang dimiliki.
    4.Bank menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek ijarah tersebut kepada Bank.
    5.a. Bila bank membeli objek ijarah tersebut (al-bai’ wal-ijarah), setelah periode ijarah berakhir objek ijarah tersebut dismpan ooleh bank sebagai asset yang dapat disewakan kembali.
    b.Bila bank membeli objek ijarah tersebut (ijarah parallel), setelah periode ijarah berakhir objek ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepada supplier/penjual/pemilik

    B.Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT/Sewa Pembelian)
    Ijarah Muntahia Bittamlik (sewa dan pembelian) adalah perjanjian antara perusahaan pembiayaan (Muajjir) dengan konsumen sebagai penyewa.(Mustajir). Penyewa setuju akan membayar uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan dan bila sewa berakhir perusahaan (muajjir) mempunyai hak opsi untuk memindahkan kepemilikan obyek sewa tersebut.

    Dalam Ijarah Muntahia Bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini :
    1.Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa;
    2.Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

    Pilihan untuk menjual barang diakhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative kecil. Karena sewa yang dibayarkan relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang diotetapkan oleh bank. Karena itu, untuk mengurangi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode.
    Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir periode mas sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relative besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutupi harga barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.

    Pada aal-Bai’ wal Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada nasabah yang dilakukan secara bulanan juga. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.

    C.Perbedaan Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)
    Perbedaan antara pembiayaan Murabahah dan IMBT dapat dilihat dari aspek :
    1.Aspek akad
    Dari sisi akad, antara pembiayaan Murabahah dan IMBT terlihat jelas mengandung perbedaan. Pembiayaan murabahah menggunakan akad jual-beli (al-ba'i). Oleh karena itu, syarat dan rukun jual-beli dalam pembiayaan Murabahah harus terpenuhi. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT digunakan akad sewa menyewa yang prakteknya disertai wa'ad (janji) dari pihak yang menyewakan untuk memindahkan kepemilikan barang disewakan kepada pihak penyewa. Begitu pula dalam pembiayaan IMBT, syarat dan rukun sewa juga harus terpenuhi di dalamnya. MBT yang secara harfiah berarti sewa yang diakhiri dengan kepemilikan mensyaratkan perpindahan hak milik ada di akhir akad.

    2.Aspek relasi antar pihak
    Sedangkan dari sisi relasi antar pihak yang melakukan akad, dalam pembiayaan murabahah hubungan yang terjalin antara pihak bank syariah dengan nasabah adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT, hubungan yang terjalin antara pihak bank syariah dengan nasabah adalah hubungan antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.

    3.Aspek perpindahan kepemilikan
    Adapun dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam pembiayaan murabahah perpindahan kepemilikannya terjadi di awal akad. Misal, pihak bank syariah melakukan transaksi jual-beli rumah dengan nasabah. Berarti sejak awal akad (kontrak), rumah tersebut telah menjadi hak milik nasabah. Dalam hal ini, nasabah diberi kelonggaran oleh bank syariah melakukan pembayaran secara angsuran sesuai dengan periode waktu yang disepakati. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT, pelaksanaan perpindahan kepemilikan terjadi di akhir kontrak (akad), di mana bank syariah selaku pihak yang menyewakan berjanji untuk memindahkan kepemilikan kepada nasabah.

    4.Aspek risiko yang timbul.
    Dari sisi risiko yang timbul, dalam pembiayaan Murabahah besaran pembayaran yang dilakukan oleh nasabah mulai dari awal sampai akhir jumlahnya sama (fix). Dari sisi risiko, pihak bank syariah dan pihak nasabah tidak dibebani oleh fluktuasi margin murabahah seperti yang terjadi dalam suku bunga di industri perbankan konvensional. Lain halnya dengan IMBT, margin yang diperoleh pihak bank syariah berupa biaya sewa yang dibebankan kepada nasabah. Dalam hal ini, bank syariah dapat mereveiw margin sewa yang berjalan sesuai dengan kondisi makro keuangan di pasar. Akibatnya, risiko yang muncul dalam pembiayaan IMBT memungkinkan adanya fluktuasi cicilan sewa yang dibayarkan oleh nasabah.

    BAB III
    PENUTUP

    Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa. Dalam penyaluran dana (pembiayaan), salah satu kategorinya adalah pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah). Transaksi Ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal Ijarah Muntahiah Bittamlik (IMBT), merupakan sewa menyewa antara pemilik objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek yang disewakan dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai akad.

    DAFTAR PUSTAKA

    M.Antonio Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press), 2001
    Karim, Ir. Adiwarman A., Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2008
    raimondfloralamandasa.blogspot.com/2008/05/praktek-pembiayaan-dalam- perbankan
    http://sewabeli.info/2007/10/samakah-pembiayaan-ijarah-dengan.html
    http://www.tazkiaonline.com/fatwa/09-DSN-MUI-IV-000%20Tentang%20IJARAH.pdf
    http://209.85.173.104/search?q=cache:HhXcJmxe1rYJ:alijarahindonesia.com/prodserv.asp+IJARAH+MUNTAHIA+BITTAMLIK&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id
    http://sewabeli.info/2007/10/samakah-pembiayaan-ijarah-dengan.html
    http://209.85.175.104/search?q=cache:gx14whVzNu0J:www.pkesinteraktif.com/content/view/2804/907/lang,id/+pembiyaan+IMBT&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id

    more
  • Macam-macam Media Pembelajaran, Karakteristik Serta Kelebihan dan Kekurangannya

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.Latar Belakang
    Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk mencapaitujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar melakukan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.

    Harapan yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan guru dapat dikuasai anak didik secaratuntas. Ini merupakan masalah yang cukupsulit yang dirasakan oleh guru. Kesulitan itu dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengansegala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk social dengan latar belakang yang berbeda. Paling sedikit ada tiga aspek yang membedakan anak didik satu dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektual, psikologis, dan biologis.

    Ketiga aspek tersebut diakui sebagai akar permasalahan yang melahirkan bervariasinya sikap dan tingkah lakuanakdidik disekolah. Halitu pula yang menjadikan berat tugas guru dalam menglola kelas dengan baik. Keluhan-keluhan guru sering terlontar hanya karena masalah sukarnya mengelola kelas. Akibat kegagalan guru mengelola kelas,tujan pengajaran pun sukar untuk dicapai. Hal ini kiranya tidak perllu terjadi, karena usaha yang dapat dilakukanmasih terbuka lebar. Salah satu caranya adalah dengan meminimalkanjumlah anak didik di kelas. Meaplakasikan beberapa prinsip pengelolaan kelas. Kelasadalah upaya lain yang tidak bisa diabaikkan begitu saja. Pendekatan terpilih mutlak dilakukan guna mendukung pengelolaan kelas. Disamping itu juga, perlu memanfatkan beberapa media pendidikan yang telah ada dan mengupayakan pengadaan media pendidikan baru demi terwujudnya tujuan bersama.

    B.Rumusan Masalah
    1.Apa saja macam-macam media pembelajaran?
    2.Apakah karakteristik media pembelajaran?
    3.Apa kelebihan dan kekurangan media pembelajaran tersebut!

    C.Tujuan
    1.Mahasiswa mampu menyebutkan, memahami dan mengimplementasikan macam-macam media pendidikan.
    2.Mahasiswa mampu menyebutkan, memahami karakter dari media pembelajaran yang ada.
    3.Mahasiswa mampu menyebutkan, memahami serta bisa mengatasi kesulitan dari masing-masing media pendidkan dan bisa memanfatkan kelebihannya dalam pembelajaran.

    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.Macam-Macam Media Pembelajaran Dan Karakteristiknya
    Media pembelajaran merupakan komponen intruksional yang melliputi pesan, orang, dan peralatan. Menurut syaifulbahri djamarah dan aswan zain,media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau informasi pesan. Dalam perkembangannya media pembelajaran mengikuti perkembangan teknologi. Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, media pembelajaran dikelompokkan kedalam empat kelompok yaitu:

    1.Media hasil teknologi cetak
    teknologi cetak adalah cara untuk menghasilkan atau menyampaikan materi, seperti buku dan materi visual statis terutama melalui prosespercetakan mekanisatau photografis.

    Kelompok media hasil teknologi cetak antara lain: teks, grafik, foto atau representasi fotografik.
    karakteristik media hasil cetak:
    a.Teks dibaca secara linear
    b.Menampilkan komonikasi secarasatu arah dan reseptif
    c.Ditampilkan secara statis atau diam
    d.Pengembangannya sangat tergantung kepada prinsip-prinsip pembahasan
    e.Berorientasi atau berpusat pada siswa.
    Pendekatan yang berorientasi pada siswa adalah pendekatan dalam belajar yang ditekankan pada ciri-ciri dan kebutuhan siswa secara individual. Sedang lembaga pendidikan dan para pengajar berfungsi dan berperan sebagai penunjang saja. Sistem pendekatan yang berorientasi pada siswa ini didesainsedemikian rupa. Sehingga siswa dapat belajardengan sistem yang luwes yang diarahkan agar siswa dapat membenntuk gaya belajarnya masingmasing. Dalam hal ini guru dan lembaga berperan sebagai penunjang, fasilitator dan semangat pada siswa yang sedang belajar.
    f.Informasi dapat diatur atau ditata ulang oleh pemakai

    2.Media hasil teknologi audio-visual
    Teknologi audi-visual cara menyampaikan materi dengan menggunakan mesin-mesin mekanis dan elektronis untuk menyajikan pesan-pesan audio-visual
    penyajian pengajaran secara audio-visual jelas bercirikan pemakaian perangkat keras selama proses pembelajaran, seperti , mesin proyektor film, tape rekorder, proyektor visual yang lebar.

    Karakteristik:
    a.Bersifat linear
    b.Menyajikan visual yang dinamis
    c.Digunakan dengan cara yang telah ditentukan sebelumnya oleh perancang
    d.Merupakan representasi fisik dari gagasan real atau abstrak
    e.Dikembangkan menurut prinsip psikologis behafiorisme dan kognitif
    f.Berorientasi pada guru
    Pendekatan yang berorientasi pada guru atau lembaga adalah sistem pendidikan yang konfensional dimana hampir seluruh kegiatan pembelajaran dikendalikan penuh oleh para guru dan staf lembaga penndidikan. Dalam sistemini guru mengkomunikasikan pengethuannya kepada siswa dalam bentuk pokok bahasan dalam beberapa macam bentuk silabus. Biasanya pembalajaran berlangsung dan selesai dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan metode mengajar yang dipakai tidak beragam bentuknya, biasanya menggunakan metode ceramah dengan pertemuan tatap muka (face to face)

    3.Media hasil teknologi yang berdasarkan computer
    teknologi berbasis computer merupakan cara menghasilka atau menyampaikanmateri dengan menggunakan sumber-suber yang berbasis micro-prosesor.
    Berbagai aplikasi teknologi berbasiskomputer dalampembelajaran ummumnya dikenalsebagai computer assisted instruction. Aplikasi tersebut apabila dilihat dari cara penyajiandan tujuan yang ingin dicapai melipiti tutorial,penyajian materi secara bertahap, drills end practice latihan untuk membantu siswa menguasai materi yang telah dipelajari sebelumnya, permainan dan simulasi(latihanuntukmengaplikaskan pengetahian dan keterampiln yangbaru dipelajari dari, dan basis data(sumber yang dapat membantu siswa menambahh informasi dan penegtahuan sesuai dengan keinginan masing-masing )

    Karakteristik media hasil teknologi yang berdasarkan computer:
    a.Dapat digunakan secara acak, non-sekuensial atau secara linear
    b.Dapat digunakan sesuai keinginan siswa atau perancang
    c.gagasan disajikan dalam gaya abstrak dengan simbol dan grafik
    d.Prinsip-prinsip ilmu kognitif untuk mengembangkan media ini
    e.Beroriatasi pada siswa dan melibatkan interaktifitas siswa yang tinggi
    4.Media hasil gabungan tenologi cetak dan teknologi computer

    Teknologi gabungan adalah cara unntukmenghasilkan dan menyampaikan materi yang menggabungkan pemakaian beberapa bentuk media yang dikendalikan komputer. Komputer yang memiliki kemampuan yang hebat seperti jumlah random akses memori yang besar, hard disk yang besar, dan monitor yang beresolusi tinggi ditambah dengan pararel(alat-alat tambahan), seperti: vidio disk player, perangkat keras untuk bergabung dalam suatu jaringan dan sistem audio.

    a.Dapat digunkan secara acak, sekuensial, linear
    b.Dapat digunakan sesuai keinginan siswa, bukan saja dengan direncanakan dan diinginkan oleh perancangnya
    c.Gagasan disajikan secara realistik sesuai dengan pengalaman siswa, menurut apa yang relefan dengan siswa dan dibawah pengendalian siswa
    d.Prinsip ilmu kognitif dan konstruktifisme ditetapkan dalampengembangan dan penggunaanpelajaran
    e.Pembelajaran ditata dan terpusat pada lingkup kognitif sehingga pengetahuan dikuasai jika pengetahuan itu digunakan
    f.Bahan-bahan pelajaran melibatkan interaktif siswa
    g.Bahan-bahan pelajaran memadukan kata dan visual dari berbagai sumber
    Selain pembagian itu ada lagi pembagian media pembelajaran menurut jenis, daya liput, dan bahannya.

    1.Dilihat dari jenisnya, media terbagi menjadi:
    a.Media auditif
    Media yang hanyamengandalkan suara saja seperi radio,kaset rekoorder, peringan hitam.media ini tidak cocok untuk orang tuli atau mempunyai kelainan pendengaran
    b.Media visual
    Media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip, slides, foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada pula yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, dan film kartun.
    c.Media audio visual
    Media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunya kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua.

    Media ini dibagi dalam:
    1). Audio visual murni yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar derasal dari satu sumberseperti video kaset
    2). Audio visual tidak murni yaitu unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda. Misalnya filmbingkai suara yang unsur gambarnya berasal dari slides proyektor dan unsur suaranya berasal dari tape recorder.


    2.dilihat dari daya liputnya, media terbagi menjadi:
    a.media dengan daya liput luas dan serentak
    Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkaujumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama.seperti radio dan televisi serta internet
    b.Media dengan daya liput terbatas oleh ruang dan tempat
    media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film sound slides film rangkai, yang harus menggunakan empat tertutupdan gelap.
    c.Media untuk pembelajaran invidual
    Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri.termasuk media ini adalh modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.

    3.Dilihat dari bahan-bahannya, media terbagi menjadi:
    a.Media sederhana
    Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatannya mudah, danpenggunaannya tidak sulit.
    b.Media kompleks
    Media ini adalah media yang bahan dasarnya kompleks sulit didapat serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaanya memerlukan keterampilan yang memadai.


    B.Kelebihan dan kekurangan media pembelajaran
    Meskipun dalam penggunaannya jenis-jenis teknologi dan media sangat dibutuhkan guru dan siswa dalam membantu kegiatan pembelajaran, namun secar`umu terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dalam penggunaannya. Diantara kelebihan atau kegunaan media pembelajaran yaitu:
    1.Memperjelas penyajian pesanagar tidak terlalu bersifat verbalistis( dalam bentuk kata-kata, tertulis atau lisan belaka)
    2.Mengatasi perbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti:
    a.Objek yang terlalu besar digantikan dengan realitas, gambar, filmbingkai, film atau model
    b.Obyek yang kecil dibantu dengan proyektor micro, film bingkai, film atau gambar
    c.Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat dibantu dengan tame lapse atau high speed photografi
    d.Kejadian atau peristiwa yang terjadi masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film,video, film bingkai, foto maupun secara verbal
    e.Obyek yang terlalu kompleks (mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dll
    f.Konsep yang terlalu luas (gunung ber api, gempa bumi, iklim dll) dapat di visualkan dalam bentuk film,film bingkai, gambar,dll.


    3.Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi sifat pasif anak didik dapat diatasi. Dalam hal ini media pembelajaran berguna untuk:
    a.Menimbulkan kegairahan belajar
    b.Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan
    c.Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri sesuai kemampuan dan minat masing-masing.


    4.Dengan sifat yang unik pada tiapsiswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa,maka guru akan mengalami kesulitan. Semuanya itu harus diatasi sendiri. Apalagi bila latar belakang guru dan siswa juga berbeda. Masalah ini juga bisa diatasi dengan media yang berbeda dengan kemempuan dalam:
    a.Memberikan perangsang yang sama
    b.Mempersamakan pengalaman
    c.Menimbulkan persepsi yang sama.

    Ada beberapa kelemahan sehubungan dengan gerakan pengajaran visual anatar lain terlalu menekankan bahan-bahan visualnya sendiri dengan tidak menghirukan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan desain,pengembangan,produksi, evaluasi, dan pengelolaan bahan-bahan visual. Disamping itu juga bahan visual dipandang sebagai alat bantu semata bagi guru dalam proses pembelajaran sehingga keterpaduan antara bahan pelajaran dan alat bantu tersebut diabaikan.
    kelemahan audio visual:terlalu menekankan pada penguasaan materi dari pada proses pengembangannya dan tetap memandang materi audio visual sebagai alat Bantu guru dalam proses pembelajaran.
    Media yang beoriantsi pada guru sebernarnya


    BAB III
    PENUTUP
    A.SIMPULAN
    Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa macam-macam media pembelajaran jumlahnya sangat banyak,Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, media pembelajaran dikelompokkan kedalam empat kelompok yaitu:
    a. Media hasil teknologi cetak
    b. Media hasil teknologi audio-visual
    c. Media hasil teknologi yang berdasarkan computer
    d. Media hasil gabungan tenologi cetak dan teknologi computer.

    Dilihat dari jenisnya, media terbagi menjadi:
    a. Media auditif
    b. Media visual
    c. Media audio visual:1). Audio visual murni
    2). Audio visual tidak murni

    Dilihat dari daya liputnya, media terbagi menjadi:
    a. Media dengan daya liput luas dan serentak
    b. Media dengan daya liput terbatas oleh ruang dan tempat
    c. Media untuk pembelajaran invidual
    Dilihat dari bahan-bahannya, media terbagi menjadi:
    a. Media sederhana
    b. Media kompleks
    Setiap media pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan yang antara lain,memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis,dan kelemahan pada media audio visual adalah terlalu menekankan pada penguasaan materi dari pada proses pengembangannya.

    Media sebenarnya akan sangat membantu dalam mewujudkan tujuan pendidikan meskipun banyak kekurangan yanng ada didalamnya. Maka diharapkan kekreatifitasan guru dalam memilih media mana yang lebih cocok untuk diterapkan dalam kelas. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah materi yang akan disampaikan, situasi kelas dan sarana pra sarana.


    DAFTAR PUSTAKA
    Harjanto.1997, peRencanaa pengajAran, Jakarta: PT Rineka Cipta
    Nanna Sudjana dan Ahmad Rivai.2007. Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru Algensindo
    Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006, Strategi Belajar Mengajar ,Jakarta: PT Rineka Cipta
    Arsad Azhar, 2008, Media Pembelajaran ,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
    Fred Percival dan Henry Ellington, 1998, Teknologi Pendidikan, Jakarta: Erlangga

    more
  • Ibadah Ditinjau dari Beberapa Aspek

    BAB I
    IBADAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK

    A.Universalisme Ibadah Untuk Seluruh Deminsi Agama
    Syaikh Al- Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang firman Allah {wahai manusia, sembahlah tuhan kalian yang…; Al-Baqarah 21}. Apa itu ibadah ? apa cabang-cabangnya ? apakah sekumpulan agama masuk didalamnya atau tidak ?. Saikh Al- Islam menjawab pertanyaan-petanyaan itu dengan jawaban sederhana dan terperinci, jawaban-jawabannya itu termuat dalam tulisannya yang terkenal dengan judul “Al- Ubudiyah” Ia memulai jawabannya dengan dengan berkata:

    “ibadah adalah sebuah nama yang menghimpun perbuatan dan perkataan yang di cintai dan diridhai oleh Allah, baik yang Dhahir maupun yang Bhatin. Sholat, Zakat, Puasa, Haji, berkata yang benar, menyampaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, silaturrahmi, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad melawan orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibn al-sabil, budak dan berbagai binatang, berdo’a, berdzikir, dan membaca, adalah contoh-contohnya dari ibadah.

    Demikian juga cinta kepada Allah dan Rosulullah SAW, takut kepada Allah dan kembali kepada-Nya, ikhlas beragama karena Allah, sabar dengan ketentuan-Nya, syukur atas segala nikmat-Nya, ridha dengan segala Qada’ (keputusan)-Nya, tawakkal kepada-Nya, senantiasa mengharap rahmat-Nya, dan takut terhadap siksa-Nya, juga merupakan bentuk-bentuk peribadatan kepada Allah

    Dengan demikian kita menemukan bahwa ibadah seperti yang dijelaskan Ibnu Taimiyah itu mempunyai jangkauan atau dan wilayah yang luas, yaitu bahwa ia mencakup seluruh fardhu dan rukun yang bersifat syi’ar, seperti Sholat, puasa, zakat, dan haji.
    Ibadah mencakup lebih dari sekedar hal-hal yang fardhu, akan tetapi juga meliputi hal-hal yang sunnah, misalnya dzikir, tilawah, do’a, istigfar, tahlil, takbir, dan tahmid.

    Ia juga mencakup pergaulan yang baik dan pemberian hak-hak orang lain seperti berbakti kepada kedua orang tua, sialturrahmi, berbuat baik kepada anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, belas kasihan terhadap orang-orang lemah dan mengasihi binatang.
    Lebih dari itu, selanjutnya ibnu taimiyah berkata : sesungguhnya seluruh aspek agama adalah masuk dalam ibadah, karena agama itu mengandung arti ketundukan dan kerendahan diri, sebagaimana dicontohkan “ Duntuhu fadana ; aku menganggapnya rendah, maka dia pun rendah”, yadninullah wayadinu lillah; ia menyembah Allah, menta’ati dan tunduk kepada-Nya.

    B.Universalisme Ibadah Dalam Perspektif Islam
    Fenomena uneversalisme islam termanifestasi dalam bidang ibadah, sebagaimana terjadi dalam bidang akidahnya.Ibadah dalam islam mencakup seluruh eksistensi dan deminsi manusia. Dengan demikian seorang muslim tidaklah bisa beribadah kepada Allah SWT. Dengan lisannya saja, dengan tubuhnya saja, dengan hatinya saja dengan akalnya saja, ataupun indaranya semata. Akan tetapi seorang muslim harus beribadah kepada Allah dengan semuanya; dengan lisannya dia berdzikir kepada Allah, berdo’a dan membaca kitab sucinya; dengan badannya ia sholat, puasa dan berjihad; dengan hatinya ia takut, mencintai dan bertawakkal kepada Allah;dengan akalnya ia berfikir dan mengamati, dan dengan semua indranya ia memakainya untuk ta’at kepada-Nya.

    Arti lain dari universalisme ibadah dalam konsep islam adalah itu mencakup semua kehidupan ia tidak hanya terbatas kepada ibadah ritual yang telah dikenal seperti : sholat, zakat, puasa dan haji, akan tetapi lebih dari itu, ia mencakup setiap gerakan dan setiap aktifitas yang meningkatkan taraf kehidupan dan membahagiakan manusia.

    Dengan demikian, jihad dijalan allah demi membela kebenaran, melindungi kehormatan, mencegah fitnah, dan meninggalkan kalimat allah juga merupakan ibadah.
    Setiap amal perbuatan bermanfaat yang dilakukan oleh seorang muslim untuk melayani masyarakat atau membantu individu warganya adalah juga merupakan ibadah.

    C.Arti Dan Hakikat Ibadah
    Allah yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena sering kita dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat ridho Allah serta janji-janji yang sudah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya pasti diterima.

    Ingatlah firman Allah, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala.

    Apakah Makna Ibadah?
    Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang secara istilah, ulama banyak memberikan makna. Namun makna yang paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi segala perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan.

    Syarat Diterimanya Amal Ibadah
    Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollAllahu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Allah, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Allah semata.

    Syarat Syah Ibadah
    Ibadah tidak akan diterima kecuali apabila memenuhi dua syarat: ikhlas dilakukan demi Allah ta’ala dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah maka hendaknya dia beramal shalih dan tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

    Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ayat “Supaya Dia menguji kalain siapakah diantara kalian orang yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2) dengan mengatakan: Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Makna dari ikhlas adalah mengerjakan amal itu murni untuk Allah. Sedangkan makna benar adalah mengikuti tuntunan Rasulullah. Kedua syarat ini harus terpenuhi semuanya. Apabila salah satu tidak ada maka ibadah itu tidak akan diterima.

    Ibnu Qasim rahimahullah berkata: Di dalam dakwah ilallah ta’ala harus terpenuhi dua syarat: yaitu harus ikhlas untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau dia kehilangan syarat pertama maka dia adalah seorang musyrik. Dan kalau dia kehilangan syarat kedua maka dia adalah seorang pembuat bid’ah.

    Kesempurnaan Syari’at
    Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku sudah sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku telah cukupkan atasmu nikmat-Ku dan Aku juga telah ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maa’idah: 3). Oleh sebab itu tidak ada sesuatupun yang diperlukan oleh umat ini di masa kini maupun masa depan melainkan sudah dijelaskan oleh Allah dengan gamblang sehingga mereka bisa mengetahui hukumnya haram ataukah halal.

    Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Alif Lam Raa’. Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Rabb mereka menuju jalan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 1)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai umat manusia, sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang dapat mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah kuperintahkan kepada kalian. Dan tidak ada sesuatupun yang mendekatkan ke neraka dan menjauhkan kalian dari surga kecuali telah kularang kalian darinya.” (HR. Al Baghawi dalam Syarhu Sunnah)

    Berpegang Teguh Dengan Tuntunan Adalah Jalan Keselamatan.
    Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak juga celaka.” (QS. Thaha: 123)
    Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan janganlah kalian berpecah belah…” (QS. Ali Imran: 103)
    Yang dimaksud dengan tali Allah adalah al-Qur’an, sebagaimana tercantum dalam hadits. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua buah pegangan : salah satunya adalah Kitabullah; dan itulah tali Allah. Barang siapa yang mengikutinya maka dia akan berada di atas hidayah. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas kesesatan.” (HR. Muslim)

    Konsekuensi berpegang teguh dengan al-Qur’an adalah juga harus berpegang teguh dengan As Sunnah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Apa saja yang dibawa rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa saja yang dilarangnya dari kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)

    Imam Malik mengatakan: “As Sunnah adalah seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya maka dia akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya maka dia akan tenggelam.”

    Peringatan Keras Akan Bahaya Bid’ah
    Bid’ah adalah segala bentuk perbuatan melakukan atau meninggalkan sesuatu yang diniatkan untuk beribadah kepada Allah padahal cara itu bukanlah termasuk bagian dari ajaran agama. Bid’ah bisa juga menyusup dalam bidang adat, bukan ibadah saja. Hal itu karena sesuatu yang pada asalnya adat itu telah dijadikan oleh orang untuk niat beribadah. Karena meyakini sesuatu yang mubah menjadi sunnah atau wajib adalah sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Demikianlah pendapat yang benar dan didukung oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Imam Syathibi. Sehingga perkara-perkara adat pun bisa dimasukkan dalam kategori maksud ibadah. Oleh sebab itu perbuatan semacam memakai wol dalam rangka ibadah kepada Allah adalah termasuk bid’ah, demikianlah yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Contoh lain adalah tidak mau memakan daging adalah sesuatu yang termasuk perkara adat kebiasaan, bukan bagian dari ibadah. Akan tetapi ketika tidak memakan daging itu dijadikan sebagai salah satu cara pendekatan diri dan beribadah kepada Allah maka amalan itu termasuk dalam kategori perbuatan bid’ah.

    Dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah serta ucapan para ulama salaf yang mencela bid’ah sunguuh sangat banyak jumlahnya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bahwasanya yang Kami perintahkan adalah jalanku yang lurus ini, maka ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena itu akan memecah belah kalian dari jalan Allah. itulah yang Allah pesankan kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al An’aam: 153).

    Mujahid menafsirkan kata ‘jalan-jalan yang lain’ di dalam ayat tersebut sebagai bid’ah dan syubhat. Allah ta’ala juga memperingatkan dengan keras di dalam ayat-Nya, “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyimpang dari ajaran Rasul kalau-kalau mereka itu nanti tertimpa fitnah atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An Nuur: 63)
    Yang dimaksud dengan fitnah di dalam ayat ini adalah syirik, kekafiran, kemunafikan atau kebid’ahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Ibnu ‘Umar mengatakan: “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian menciptakan kebid’ahan.” Beliau juga mengatakan: “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.” Sufyan Ats Tsauri mengatakan: “Bid’ah itu lebih disukai iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih mungkin untuk diharap taubatnya. Sedangkan bid’ah susah untuk diharap taubatnya.”

    Imam Ahmad mengatakan: “Landasan As Sunnah dalam pandangan kami adalah: berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meneladani mereka, meninggalkan kebid’ahan-kebid’ahan, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

    BAB II
    IBADAH SECARA IKHLAS

    Seorang ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Niat yang baik atau keikhlasan merupakan sebuah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia ikhlas, di lain waktu tidak. Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ikhlas merupakan suatu hal yang harus ada dalam setiap amal kebaikan kita. Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah?. Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)

    Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.”

    Bagaimana Agar Ikhlas ?
    Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah

    Banyak Berdo’a
    Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
    « اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ »
    “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)

    Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajahmu, dan jangan jadikan sedikitpun dari amalanku tersebut karena orang lain.”

    Menyembunyikan Amal Kebaikan
    Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).

    Apabila kita perhatikan hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang akan Allah naungi kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari Muslim)

    Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan di rumah kecuali shalat wajib, karena hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan, “di antara sebabnya adalah karena shalat (sunnah) yang dilakukan di rumah lebih jauh dari riya, karena sesungguhnya seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh manusia, dan terkadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka hal ini lebih dekat dengan keikhlasan.” Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”

    Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku, marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.

    Memandang Rendah Amal Kebaikan
    Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”

    Takut Akan Tidak Diterimanya Amal
    Allah berfirman:
    وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
    “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)

    Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).

    Hal semakna juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Aisyah ketika beliau bertanya kepada Rasulullah tentang makna ayat di atas. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” adalah orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr kemudian ia takut terhadap Allah?. Maka Rasulullah pun menjawab: Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih )
    Di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.

    Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia
    Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)

    Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita ?

    Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
    Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?

    Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata: “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir kepada Allah, dan dia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk mendapatkan dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa”. Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.

    Ingin Dicintai, Namun Dibenci
    Sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya “ (HR. Muslim)

    Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:
    إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
    Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu Katsir).

    Dalam sebuah hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata: wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah membenci fulan, maka benciilah ia. Maka penduduk langit pun membencnya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari Muslim)

    Hasan Al Bashri berkata: “Ada seorang laki-laki yang berkata : ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata: ‘lihatlah orang yang riya ini’. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, ’sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: ’semoga Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)

    Demikianlah pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
    الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
    (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan)

    Ikhlash dalam Ibadah
    Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Allah berarti mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada Allah saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam.

    Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Allah saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -shollAllahu ‘alaihi wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya). Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Allah semata. Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

    Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah maksud hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Allah, ataukah untuk selain Allah. Perhatikanlah jenis-jenis amalan berikut :
    Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya pantas mendapat murka Allah. Amalan yang ditujukan kepada Allah dan disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan terhapus. Amalan yang ditujukan bagi Allah dan disertai niat lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Allah dan karena menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.

    Amalan yang awalnya ditujukan untuk Allah kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus. Sedang amal yang ikhlash karena Allah kemudian mendapat pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.

    Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang diridhoi Allah, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Allah kecuali setelah Allah kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim).

    Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hal:
    Sebabnya. Ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.
    Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.

    Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu, baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Allah.
    Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.

    Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari tasyriq saja.

    Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.
    Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah dan beramal shalih serta mengatakan; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim’.” (QS. Fushshilat: 33). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada seorangpun yang lebih baik ucapannya daripada orang yang berdakwah ilallah.

    Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku bersama orang-orang yang mengikutiku mengajakmu kepada Allah di atas landasan bashirah, dan Maha suci Allah, aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik’.” (QS. Yusuf: 108)
    Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang menyuruh kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

    Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Ajaklah kepada jalan Rabbmu dengan cara yang hikmah, nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (QS. An-Nahl: 125)
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengajak kepada suatu kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pelakunya.” (HR. Muslim)

    Dengan ayat dan hadits tersebut jelaslah bagi kita bahwa dakwah adalah ibadah.
    Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.

    Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

    Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

    Kedudukan Ikhlas
    Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
    Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

    Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
    Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

    Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

    Makna Ikhlas
    Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

    Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

    Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

    Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

    Buruknya Riya
    Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

    Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).

    Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

    Ciri Orang Yang Ikhlas
    Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
    1.Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.” Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

    2.Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah) Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

    3.Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.

    BAB III
    IBADAH SECARA ISTIQAMAH

    Arti istiqamah tetap pendirian di atas kebenaran tetap di atas keyakinan yang diwajibkan Terus menerus membuat kebaikan yang telah diamalkan yang wajib ditinggalkan, terus ditinggalkan selamanya Apabila diperjuangkan apa yang disebutkan terus-menerus diperjuangkan tidak ada perhentian inilah dia arti istiqamah di dalam Islam istiqamah ada dua bahagian yang lahir dan yang batin atau yang bersifat fisikal dan yang bersifat rohaniah yang lahirnya sebagai contoh jika sudah bersembahyang terus meneruslah bersembahyang kalau sudah berpuassa dan lain-lain amalan dibuat terus menerus Begitu juga amal kebaikan yang lain sekalipun yang sunat amalan terus menerus tanpa ditinggalkan istiqamah amalan lahir agak mudah dan senang tapi sangat susah bagi kebanyakan orang adakalanya istiqamah adakalanya tidak dapat dilakukan jika yang lahiriah pun susah, yang mudah pun payah dan susah melakukan istiqamah berkepanjangan yang batin atau yang bersifat rohaniah lebih susah dan payah untuk diamalkan kita buat beberapa contoh untuk difahami sebagai panduan takutkan Tuhan itu diperintahkan kadang-kadang takut, kadang-kadang bukan saja tidak takut bahkan dilupakan cintakan Tuhan itu disuruh kadang-kadang dirasakan, adakalanya hilang dalam perasaan keyakinan dengan perkara yang diwajibkan kadang-kadang teguh pegangan, adakalanya longgar keyakinan janji Tuhan tentang rezeki kejayaan dan kemenangan di masa depan adakalanya menjadi pegangan di waktu yang lain pula goyang rasa berTuhan dan rasa kehambaan di waktu-waktu tertentu ada dalam perasaan di waktu yang lain perasaan hilang kadang-kadang ketika dapat merendah diri kadang-kadang ada sombong pulakasih sayang sesama manusia kadang-kadang bertimbang rasa adakalanya hati merasakan peduli apa dengan mereka lebih-lebih lagi ikhlas amat susah hendak dikekang.

    Selalu saja apabila berbuat kebaikan sedikit sekali karena Tuhan misalnya karena diri atau selain Tuhan inilah dia arti istiqamah dan sangat susah beristiqamah karena itu, istiqamah itu sifat para wali di dalam kitab dikatakan jangan engkau meminta kewalian tapi mintalah istiqamah istiqamah sangat diperintah sekalipun amalan itu sedikit, itu lebih baik daripada amalan yang banyak tapi tidak istiqamah

    DAFTAR PUSTAKA

    DR. Yusuf Al- Qurdhawi. 2003. ” Menuju Pemahaman Islam Yang Kaffah”. Jakarta : Insan Cemerlang.
    DR. Yusuf Al- Qurdhawi. 2004. “Syistem Pengatahuan Islam”. Jakarta : Restu Ilahi.
    Abul ‘A’la Maududi. 1999. “Menjadi Muslim Sejati”. Yogyakarta : Mitra Pustaka
    H. Moenir Manaf. 1993. “Pilar Ibadah dan Doa’. Bandung : Angkasa
    Abdul Aziz asy-Syannawi. 2005. “Melihat Ibadah Rasulullah Dari Dekat”. Jakarta : Pustaka Azzam

    more

Buka Semua Folder | Tutup Semua

Kamus Online

Komentar Terbaru