Advertisement

  • Tafsir Al-Qur’an ; Kajian Singkat Atas Metode Tafsir Ijmali

    Oleh : M. Suhaidi RB*

    Pendahuluan
    Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman, sehingga membuat kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini sangat absah menjadi referensi kehidupan umat manusia. Karena menurut Rahman al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia sekaligus sebagai petunjuk bagi umat manusia.

    Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas universal kehidupan dan masalah spritualitas, tetapi juga menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia yang unik dalam sepanjang kehidupan umat manusia.

    Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbun dei (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya. Proses penurunan wahyu dalam kurun waktu tersebut dilakukan dengan cara bertahap sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat pada masa Nabi, sehingga terangkum menjadi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat.

    Sebagai firman Allah, Al-Qur’an merefleksikan firman Allah yang memuat pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, Al-Qur’an memang menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan substansial dari makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.

    Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi rangkaian ayat yang terdiam, karena al-Qur’an yang berwujud mushaf dan tidak lebih dari kumpulan huruf-huruf yang tidak akan mampu memberikan makna apa-apa, sebelum diajak berbicara. Hal ini merupakan konsekwensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an – dalam pandangan kaum hermeneutis – merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.

    Upaya menemukan makna ideal di balik suratan ayat al-Qur’an tersebut membutuhkan kerja-kerja penafsiran yang total, karena kehadiran al-Qur’an yang tersurat tidak disertai dengan kehadiran makna substansial di dalamnya. Allah sepertinya memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk menginterpretasi isi al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya, dengan tetap berpijak pada visi dasar al-Qur’an sebagai rahmatan lil alamin. Artinya setiap penafsiran yang dilakukan harus selalu dirujukkan pada visi dan arah kehadiran al-Qur’an ke muka bumi ini, sehingga setiap penafsiran yang dilakukan minimal mendekati terhadap apa yang ingin disampaikan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya. Oleh karena itu, Islam, al-Qur’an dan penafsiran merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dalam istilah Edward W. Said, tidak akan ada Islam tanpa al-Qur’an ; sebaliknya, tidak akan ada al-Qur’an tanpa Muslim yang membacanya, menafsirkannya, mencoba menerjemahkannya ke dalam adat istiadat dan realitas-realitas sosial.

    Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam adalah metode Ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan tahlili)yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.

    Metode Tafsir Ijmali
    1.Definisi
    Secara definitif, metode ijmali (global) ialah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.

    Dalam metode ini, mufasir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.

    Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.

    2.Tujuan dan Target
    Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.

    3.Mekanisme Penafsiran
    Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :

    1.Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
    2.Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
    3.Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
    4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.

    4.Ciri Metode Ijmali
    Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain. Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’i (tematik).

    Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.

    Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.

    Kritik Metodologis
    Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.

    Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.

    Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.

    Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada proses dan bentuknya yang mudah dibaca, dan sangat ringkas serta bersifat umum, sehingga bisa terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat. Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya.

    Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.

    Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang diganderungi, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.

    Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an.
    Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak.

    Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.

    Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks “ telah diperkosa” untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali.

    Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada uhasa untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun nuzul) secara tepat.

    Kedua, hegemoni penafsir. Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.

    Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).

    Terlihat dengan jelas dari tafsir yang dilakukan oleh Suyuti, penambahan huruf “la” yang berfaidah ‘nahi’, secara otomatis menafikan terhadap keta kerja setelahnya, dan tentu saja sangat berdampak terhadap pembalikan makna yang ada pada teks. Bagaimana mungkin teks yang aslinya berarti “ bagi orang-orang yang mampu”, kemudian harus dimaknai dengan “ bagi orang-orang yang tidak mampu”.

    Apa yang terjadi dalam tafsir Jalalain (yang merepresentasikan penafsiran dengan metode ijmali) di atas, merupakan bagian dari alasan adanya hegemoni berlebihan seorang mufasir dalam menginterpretasi teks. Hal itu terjadi, dalam metode ijmali selain karena metode ini lebih mengedepankan tafsir terhadap kata, metode ijmali juga tidak memberikan ruang yang bebas untuk menginterpretasi, sehingga mufasir cenderung membatasi dalam untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran lain, selain ide dan gagasannya sendiri. Akibatnya, gagasan tafsir sang mufasir menjadi gagasan tafsir yang tampak paling terbenarkan dan sangat hegemonik.

    Penutup
    Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.

    Tetapi, metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.

    Al-Qur’an memberikan hak otonom kepada siapapun untuk menafsirkan ayat-ayatnya secara kreatif guna menemukan makna-makna ideal yang diinginkan oleh al-Qur’an. Kebebasan membaca dan menafsirkan al-Qur’an ini, tentu saja bisa dilakukan dengan cara apapun yang dimiliki oleh setiap individu.

    Dari sinilah, al-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan global, memungkinkan setiap individu menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan dilakukan, karena setiap mufasir bukanlah makhluk super yang tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.

    Akhirnya, penulis sangat sepakat dengan gagasan Abdul Mustaqim, dalam menghadapi berbagai corak penafsiran yang harus dilakukan. Pertama, bersikap kritis dalam melihat produk tafsir tersebut : karena setiap kemungkinan bisa terjadi, baik kemungkinan ada hidden interest dan ada penyimpangan di balik penafsiran yang dilakuakn. Kedua, apabila arguemn tafsir mereka sangat kuat, kita harus menghargai dan menghormati, walaupun tidak harus mengikuti, karena kemungkinan setiap corak (metode) penafsiran tersebut memiliki kemungkinan benar, minimal kebenaran partikuler-realatif tentatif.

    Daftar Pustaka
    Adnan Amal, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an . Jakarta : Alvabet, 2005
    Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir . Bandung, Pustaka Setia, 2008
    adz-Dzahabi, Muhammad Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir, Dar al-Maktub, 1976
    Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an . Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2002
    __________________ Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000
    Hamid Abu Zaid, Nasr. Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyin. Yogjakarta : LKiS,2002
    Hay al-Farmawi, Abdul. Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Mauhu’iy. Kairo : Al-Hadharah aal-Arabiyah, 1977
    Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta : Paramadina, 1996
    Harb, Ali. Kritik Kebenaran. Yogjakarta, LKiS, 2004
    Izutsu, Toshihiku .Realasi Tuhan dan Manusia. Yogjakarta : Tiara Wacana, 2003
    Kholis Setiawan, M. Nur. “Al-qur’an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer”, dalam Studi Al-Qur’an. Vol. 1, No. 1, Januari 2006
    Mustaqim, Abdul. Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarkhi. Yogjakarta : Sabda Persada, 2003
    ________________ Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008
    Rahman, Fazlur . Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996
    Redaksi Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 18 Tahun 2004
    Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi. Jakarta : Teraju, 2002
    Said, Edward W. Covering Islam. Terj. Apri Danarto. Yogjakarta : Jendela, 2002
    Suhaidi RB, Mohammad. Dekonstruksi Tafsir Gender Al-Qur’an : Telaah Kritis Atas Tafsir Feminin Aminah Wadud Muhsin dan Asghar Ali Engineer. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman An-Nuqayah (STIKA), 2007
    Syaba, A. Nasikhin Menafsirkan ‘jalalain’ : Tafsir Bayani dan Problem Substansi”, dalam Jurnal Gerbang, vol. 6. No. 3 Pebruari-April 2000
    Shihab, Qurays. “Membumikan Al-Qur’an” : Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 2006


    * Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

    more
  • Bahasa Al-Qur’an dalam Perspektif Psiko-sosio Linguistik


    Oleh : Bahauddin

    A. Teks Bahasa (Al-Quran) dan Muatan Sakralitas
    Sebelum bernjak pada telaah bahasa Al-Qur’an, ada baiknya disini dikemukakan cerita-cerita tentang sakralisasi teks Al-Qur’an. Salah satu ‘ketentuan agama’ yang biasanya diajarkan waktu nyantri di pondok tradisional adalah bahwa kita tidak boleh sekali-kali menyentuh mushaf Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci. Itu melanggar larangan Tuhan. Di daerah tertentu, bahkan bukan hanya pada teks bahasa Al-Qur’an saja, teks-teks Arab pun juga diyakini memiliki nilai magis, semisal rajah (jimat, madura)—semacam tulisan berbahasa Arab dengan komposisi tertentu yang mempunyai kekuatan magis. Syahdan, beberapa jenis tertentu dari ‘resep sakti berhuruf Arab gundul’ itu, yang tentunya juga bersumber dari agama, tidak boleh dibawa saat kita sedang punya hajat di kamar kecil. Jika ternyata kita sampai melakukannya, keampuhannya akan serta-merta menguap dan memudar.salah-salah, kita sendirilah yang kena kualat dan harus menanggung resikonya; entah mendadak sakit, entah kerasukan, atau sekedar tertimpa sial terentu.

    Begitulah, realitas yang sedang bergulir ditrngah masyarakat kita, meski sudah mengalami berbagai perubahan, bahkan distorsi, keyakinan-keyakinan itu masih terus berkanjut hingga sekarang. Pada saat bersamaan, mereka sama sekali tak pernah hirau dan seolah tak punya persoalan samasekali dalam hal perlakuan terhadap barang-barang cetakan yang bertuliskan huruf-huruf selain Arab, seperti majalah, buku sekolah, koran atau semacamnya.



    Oleh karenanya, barangkali mereka akan terkejut jika diberi tahu bahwa sekarang ini Al-Qur’an juga telah dijadikan unit-unit informasi digital yang letaknya dicampuradukkan begitu saja dan bahkan disimpan di situs-situs internet bersama gambar-gambar lelaki-perempuan telanjang. Juga dicampur dengan aneka ragam adegan-adegan persenggamaan paling liar dalam segala posisi, menurut gaya berbagai benua, yang bisa diakses kapan saja, lewat sebuah layar monitor dan kita bisa berpindah-pindah kian kemari hanya meng-klik sebuah tombol mouse saja.

    Dalam istilah yang lebih keren, apa yang menjadi keyakinan mereka itu sebenarnya adalah suatu bentuk sakralisasi terhadap teks (bahasa). Jika benar demikian, untuk kasus Al-Qur’an, sakralisasi itu juga berlangsung melalui pelajaran ilmu tajwid dan makhraj (fonetik-fonologi bahasa Arab) yang kemudian telah menjadi hukum agama tersendiri dengan segala sangsinya. Kata orang-orang linguistic, sakralisasi ini, jika ditelusuri sebetulnya berkait dengan pemahaman tertentu atas bahasa dan manifestasinya. Dalam konsep begini, teks lebih dimengerti sebagai bahasa tertulis (written language), sedang bahasa dipahami sebagai media representasi objektif dari kesunyatan, kenyataan-kebenaran. Semakin tinggi nilai kenyataan yang di representasikan oleh bahasa, karena itu, semakin sakral pula sebuah teks. Teks Al-Qur’an harus dilakukan sedemikian rupa, seperti yang terjadi pada deskrepsi masyarakat diatas, karena ia dianggap sebagai bentuk representasi obyektif dari kesunyatan mutlak, yakni wahyu Tuhan. Teks kitab kuning dan rajah memiliki kesakralanya sendiri-sendiri menurut tingkat yang berbeda, karena apa yang dikandungnya. Dalam kerangka teks yang dimengerti sebagai bahasa tertulis ini, wacana (discourse) diartikan sebagai wilayah dimana pesan-pesan lisan beroperasi.

    Lebih jauh lagi, menurut pandangan ini, kenyataan diyakini sebagai benar-benar maujud, ada dan berdiri sendiri secara penuh, qiyamuhu bi nafsihi, diluar bahasa. Bahasa adalah tatanama, suatu daftar istilah yang mewakili sejumlah hal atau benda-benda. Asumsinya, memang telah ada gagasan sebelum ada kata. Dan bahwa, sekali lagi, bahasa merupakan media yang dapat merepresentasikan kenyataan tadi secara obyektif, apa adanya, tanpa imbas-imbas subyektif, didepan manusia. Dalam kalimat lain, keberadaan kenyataan tidak ditentukan oleh bahasa, dan bahwa representasi kenyataan melalui bahasa pun tidak mempengaruhi obyektifitas dari keberadaan kenyataan tadi.
    Sehingga, kata whedus (kambing-jawa), misalnya, memang betul-betul dipahami sebagai pengertian yang merujuk pada suatu entitas biologis diluar kata itu. Wedus sebagai kenyataan akan tetap ada, baik kata wedus itu ada atau tidak. Dan bahwa berkat kesamaan obyek rujukan diluar bahasa, perbedaan sebutan: kambing, goat, ghanam, embi’ (madura), atau apapun; tidaklah mengubah sesuatu, sehingga sebagai kenyataan ia tetap kita tangkap secara obyektif, apa adanya.

    Dalam kaitan dengan pemahaman bahasa dan kenyataan demikian inilah, teks sebagai bahasa tertulis, lalu dipahami sebagai alat konkretisasi bagi apa yang abstrak, bahkan fisikalisasi bagi apa yang bersifat metafisis, termasuk juga bahasa Al-Qur’an sebagai bahasa tertulis. Ia adalah penambat apa yang terus bergerak dan pengungkap apa yang tersembunyi gampangnya, ia adalah benda berkekuatan gaib, yang bisa membuat kenyataan yang semula tak terbatas menjadi terbatasi. Sejalan dengan itu teks juga dipahami sebagai suatu yang utuh, otonom. Karena itu pula teks kemudian diyakini memiliki kesatuan makna. Di balik keanekaan penanda teks yang fana, tersimpan makna tunggal yang abadi, yang tidak berubah-ubah. Dan itulah kebenaran. Tidak heran, aktifitas membaca pun lalu menjadi ikhtiar untuk menemukan kesatuan makna tadi, yakni demi merengkuh kebenaran yang sejati. Selain itu, teks juga mesti dipelihara dari segala bentuk pencemaran. Sebab begitu ia rusak, maka otomatis jalan menuju kebenaran sejati akan menjadi runyam jadinya. Konsekuensinya, lebih dari upaya penemuan, pembacaan lalu menjadi usaha untuk mempertahankan dan memperjuangkan kebenaran sejati yang tak berubah-ubah itu. Kiranya, inilah yang menjadi pendorong munculnya sakralisasi teks kebahasaan, termasuk Al-Qur’an menjadi suatu keniscayaan.

    B. Ferdinand de Saussure dan Konsep Bahasa
    Ada pertanyaan mendasar dalam kajian linguistik, yakni apakah bahasa merupakan media representasi obyektif atas kenyataan sebagaimana pandangan di atas? Ternyata, ada pendapat lain yang berbeda, kalau tidak dikatakan bertolak sama sekali dengan perspektif yang diuraikan di atas. Adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang Linguis berkebangsaan Perancis dan pencetus konsep “oposisi biner” , yang berpendapat bahwa “bahasa adalah sistem tanda, di antara sistem-sistem yang lain.Yang dimaksudkan dengan ‘tanda’ adalah ‘sesuatu yang merujuk kepada sesuatu yang lain’. Ilmu yang mempelajarinya disebut semiologi atau semiotika: ilmu tanda.{istilah “semiologi” ini umum dipakai di Eropa Daratan, biasanya bermadzhab Saussurean, sedang “semiotika” digunakan di Negara-negara berbahasa Inggris, dengan tokoh perintisnya Charles Sanders Pierce (1839-1914).

    Bagi Saussure, tanda selalu hadir dalam bentuknya yang dwi-muka . Tanda selalu memiliki dua aspek: aspek penanda (signifier) dan aspek pertanda (signified). Penanda adalah aspek material, wujud lahiriyah, dari tanda. Ia bkisa berupa bunyi-bunyi beraturan yang dikeluarkan orang selagi bicara atau bentuk-bentuk sistem perlambangan tertentu yang kemudian laxim disebut “tulisan”. Tapi menurutnya, penenda ini sesungguhnya lebih berwujud citra bunyi (acouistic image), yang tidak harus diucapkan atau dituliskan. Melainkan, keberadaannya lebih sering dibayangkan dalam batin kita sendiri. Bukankah, bahkan selagi diam, kita sering bicara sendiri? Sedang petanda adalah aspek mental dari tanda, yakni konsep mengenai apa yang diacu. Petanda, karena itu, bukanlah referen atau rujukan, melainkan konsep mengenainya. Yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa kaitan dan keberadaan penanda-penanda ini selalu bersifat saling mengandaikan secara niscaya dan tak terpisahkan. Tidak ada penanda tanpa petanda, begitu juga sebaliknya.

    Harus segera ditambahkan pula, pada kenyataannya, apa yang semula dianggap petanda, ketika dilacak lebih jauh, ternyata ia segera berubah mejadi tanda yang lain, yang juga memiliki dua aspek: penanda-petanda. Begitupun petanda berikutnya, juga adalah hal yang sama belaka: tanda yang berdiri dari penanda dan petanda. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem rangkaian tanda yang tak berpangkal dan berujung. Untuk mengatakan kenyataan, tanda yang satu hanya terus saling menunjuk yang lain, tapi mereka tak pernah benar-benar berhenti dan menunjuk langsung pada kenyataan itu sendiri. Makanya, bisa dikatakan, bahwa untuk menerangkan arti sebuah kata sesungguhnya kita membutuhkan seluruh kata lain yang ada dalam kamus bahasa dimana kata itu menjadi bagiannya. Kalau begitu, hubungan antara kata (baca: bahasa) dengan kenyataan (baca: kebenaran) tidaklah sesederhana yang dibayangkan oleh pandangan pertama mengenai bahasa di atas. Menurut pandangan yang kedua ini, yang dihadirkan oleh bahasa ternyata bukanlah kenyataan, melainkan konsep mengenai belaka. Yang termuat dalam bahasa ternyata bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan jejak-jejaknya, kilatan-kilatannya, baying-bayangnya.

    Konsekuensinya, sebagai konsep mengenai kenyataan, bahasa tidak pernah bersifat obyektif dan apa adanya., dalam ‘menghadirkan’ kenyataan. Melainkan, ia selalu berjejal dengan prasangka dan merupakan medan perebutan tak pernah henti dari berbagai kekuatan yang hidup dalam masyarakat. Pendeknya, bahasa selalu memihak. Dan celakanya, kata Derrida, hanya dengan bahasa yang memihak seperti itulah kita bisa membangun apa yang disebut ‘kenyataan’.

    Bersamaan dengan itu, karena bahasa merupakan suatu sistem tanda di antara sistem tanda yang lain, teks tidak lagi dimengerti semata sebagai bahasa tertulis. Gambar, tarian, musik, mode, upacara, fotografi, film dan sebagainya juga dianggap sebagai teks. Disini, berbeda dengan pandangan pertama di atas, pengertian wacana dipahami sebagai ujaran verbal empiris yang disampaikan entah melalui gerak, citra, gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya.

    Dengan kesadaran akan sifat bahasa yang demikian, aktifitas membaca kini tidaklah diorientasikan ke luar guna mendapatkan kesatuan makna di balik teks ataupun demi meemukan kebenaran sejati. Melainkan ia diarahkan ke dalam, yakni, untuk mengungkap pluralitas makna, guna mencari kenikmatan dalam pencarian, demi mengungkap berbagai keberpihakan yang semula diselubungi sedemikian rupa agar tampak alamiah, obyektif dan sebagaimana adanya. Membaca bukanlah aktifitas yang dilakukan dengan takdzim untuk mendengarkan suara kebenaran. Tapi, sebaliknya, untuk mencurigai setiap parsangka yang diselundupkan di balik teks, kemudian sebulat-bulatnya menelanjangi kebohongan-kebohongan yang secara canggih telah disamarkan sedemikian rupa dan dikemas untuk menipu kita.

    C. Al-Qur’an dan Analisis Teks Bahasa Sastra
    1. Mohammad Arkoun dan Metodologi Studi Al-Qur’an
    Mohammad Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia menyatakan:
    “Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci – yang telah diaplikasikan kepada bible ibrani dan perjajian baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat keserjanaan musli. Karya-karya madzhab jerman terus ditolak, dan keserjanaan muslim tidak berani menempuh penelitian seperti itu sekalipun penelitian tersebut akan menguatkan sejarah mushaf dan teologi wahyu.”

    Menurut Mohammad Arkoun, sarjana muslim menolak menggunakan metode ilmiah (biblical criticism) karena alasan politis dan psikilogis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku. Psikologis karena pandangan muktazilah mengenai kemakhlukan al-qur’an di dalam waktu gagal. Akibat menolak pandangan muktazilah, tulis mohammad arkoun, kaum muslimin menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah kalam ilahi. Al-qur’an yang ditulis dijadikan identik dengan al-qur’an yang dibaca, yang dianggap juga sebagai emanasi langsung dari Lawh al-mahfudz.

    Akibat menolak biblical criticism, maka dalam pandangan Mohammad Arkoun, studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Qur’anic studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared). Ia berpendapat metodologi John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini memang ingin ia kembangkan. Mohammad Arkoun berkata: “Intervensi ilmiah wansbrough menemukan tempatnya di dalam framework yang saya usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra, seperti bacaan antropologis-historis, mengiring kepada disiplin-disiplin lain dan sebuah tingkat refleksi yang tidak terbayangkan di dalam konteks fundamentalis saat ini.

    Dalam pandangan Mohammad Arkoun, mushaf ‘utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Untuk mengubah “tak terfikirkan” (unthinkable) menjadi “tefikirkan” (thinkable), Mohammad Arkoun mengusulkan supaya mebudayakan pemikiran liberal (free thinking). Menurutnya, pemikiran liberal merupakan tanggapan kepada dua kebutuhan makro. Pertama, kaum muslimin perlu memikirkan masalah-masalah yang selama ini tidak pernah terfikirkan. Masalah-masalah tersebut dibuat pemikir muslim ortodoks. Kedua, pemikiran kontemporer perlu membuka wawasan baru, melalui pendekatan sistmatis lintas-budaya terhadap masalah-masalah fundamental.

    Mohammad Arkoun mencapai pemikiran libeal dengan dekonstrusi. Baginya, dekonstruksi (membongkar) adalah sebuah ijtihad. Tegasnya, dekonstruksi akan memperkaya sejarah pemikiran dan akan mendinamisir pemikiran islam kontemporer. Masalah-masalah yang selama ini telah ditekan, ditabukan, dibatsi, dilarang, dn semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika dekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka. Arkoun mendekonstruksi dengan menggunakan pendekatan historisitas sebagaimana yang telah digunakan para herneneut barat sepeti Giambattista Vico (1668-1744); J. G Herder (1744-1823); W. Dilthey (1833-1911); M. Heidegger (1889-1976); J. P. Sartre (1905-1980); R. Aron, P. Ricocoeur dan lain-lain.
    Menurut Mohammad Arkoun, pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari barat, namun pendekatan tersebut bukan hanya sesuai untuk warisan budaya barat saja. Bagi Arkoun, pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia. Menurutnya lagi, tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks histories.

    Mohammad Arkoun sangat menyadai jika pendekatan historisitas akan menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Dalam pandangan Mohammad Arkoun, sekalipun muslim ortodoks menganggap pendekatan tersebut sebagai tak terpikirkan (impesible), namun ia justru percaya jika pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap al-qur’an. Metodologi tersebut adalah ijtihad, sekalipun dalam berbagai hal mengguncang cara berfikir konvensional. Menurut Arkoun, pendekatan tersebut dapat memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Qur’an. Pendekatan tersebut adalah baik karena membongkar lapisan-lapisan konsep al-Qu’an yang sudah mengendap lama dalam pandangan geologis kaum muslim ortodoks yang membeku. Padahal, dalam pandangan Arkoun, konsep al-Qur’an merupakan hasil pembakuan dan pembekuan tokoh-tokoh histories, yang mengangkat statusnya menjadi kitab suci.

    Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua peringkat. Peringkat pertama adalah apa yang disebut al-qur’an sebagai Umm al-Kitab (induk kitab) (al-Qur’an 13:39;43:4). Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk bible dan al-qur’an berasal. Pada peringkat pertama (Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun, menurut arkoun, kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam lawh mahfudz (preserved tablet) dan tetap berada bersama dengan tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan “edisi dunia” (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.

    Mengenai sejarah al-Qur’an, Arkoun membaginya menjadi tiga periode, periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 H); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936M) dan periode ketiga berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan periode pertama sebagai prophetic discourse (diskursus kenabian) dan periode kedua sebagai Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup). Berdasarkan pada kedua periode tersebut, arkoun mendevinisikan al-qur’an sebagai “sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4 H/10 M.

    Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk suatu lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status al-qur’an dalam bentuk tulisan telah berkuarang dari kitab yang diwahyukan (alkitab al-muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab ‘adi). Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.

    Pemikiran Mohammad Arkoun yang liberal telah membuat paradigma baru tentang hakekat teks al-qur’an. Pendekatan historitas Mohammad Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Muhammad Arkoun mengakui kebenaran Umm al-kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada sesuatu yang ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang meyakini kebenaran al-Qur’an mushaf utsmani.

    2. Nasr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an
    Menurut Mohammad Arkoun, usahanya menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji al-Qur’an sama dengan apa yang diusakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943), seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasikan pendekatan sastra kontemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an.

    Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (Nahj tahlil al-nusus al-lughawiyah al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur’an. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji islam. Nasr Hamid menyatakan: “oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam (wa lidzalika yakuunu minhaj al-tahlil al-lughawi huwa al-minhaj al-wahid al-insani al-mukmin lifahm al-risalah, wa lifahm al-islam min thamma.”

    Metodologi kritik sastra yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980, ia mengkui hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri, khusunya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku. Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi doktornya pada tahun 1980 dengan judul Falsafah al-Ta’wil:Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din ibn Arabi. Ia mengkalim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiqa wa Mudilat Tafsir al-nas pada tahun 1981. Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Scheeiermacher (1843), Wilhelm Dilthey (1911), Martin Heidegger (1889-1976), Emilio Betti (1890-1968), Hans Georg Gadamar (1900-1998), Paul Ricoeour (1913-), dan Eric D. Hirsch (1928-).

    Setelah akrab dengan literatur hermeneutika barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakekat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. menurut Nasr Hamid, kalam ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka kalam ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu alasan pemikiran islam itu menjadi stagnan, menurut Nasr Hamid, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension). Padahal al-Qur’an adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau kata adalah kalam ilahi. Nasr Hamid menyatakan: “Bagaimanapun, kalam ilahi perlu mengadaptasi diri dan menjadi manusia karena Tuhan berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak mengerti. Jadi, dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an adalah bahasa manusia.
    Menurut Nasr Hamid, teks ilahi berubah menjadi teks manusiawi sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Nasr Hamid menyatakan: teks sejak awal diturunkan ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh nabi, ia berubah dari sebuah teks ilahi menjadi sebuah konsep manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia.

    Dalam pandangan Nasr Hamid, teks al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi). Ia juga menjadi produsen budaya (muntij li al-tsaqafah) karena menjadi teks yang hegemonic dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap Al-Qur’an sebagai teks bahasa (nash lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa mealitas, budaya, dan bahasa mupakan fenomena histories dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur;an adalah teks histories (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani).

    Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuk-bentuknya sama dengan teks-teks yang lain dalam budaya (anna al-nushush al-diniyyah nushush al-lughawiyyah sha’nuha sha’n ayyat nushush ukhra fi al-tsaqafah). Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan. Namun Nasr Hamid, sebagaimana Scheirmacher, berpendapat studi Al-Qur’an tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampau saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan tertutup untuk memamhami teks-teks agama. Nasr Hamid menyalahkakn penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufassir yang selalu menafsirkan Al-Qur’an dengan muatan metafisis islam. Dalam pandangannya, metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah. Nasr Hamid menyatakan, “ Sesungguhnya kepercayaan terhadap wujud matafisik teks (Al-Qur’an) akan mengharuskan upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks. Dengan menyamakan Al-Qur’an dengan teks-teks lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji Al-Qur’an. Ia menyatakan, “Saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum muslim, Kristen maupun Ateis.”

    3. Tanggapan terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu zayd
    Kesimpulan Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah produk budaya adalah tidak tepat. Ketika diturunkan secara gradual, al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab jahiliyah saat itu. Ketika menyampaikan ajaran Islam, Rasulullah saw ditentang dengan menuduh Rasulullah sebagai orang gila. Allah berfirman yang artinya: “Mereka berkata: hai orang-orang yang diturunkan al-Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”(QS. al-Hijr,15:6/al-Qalam, 62:2/al-Takwir,81: 22), sebagai penyair gila (QS. Al-saffat,37:36/al-Qalam,68:51) dan tukang tenun(QS.al-Thur, 52:29) Al-Quran juga menentang budaya jahiliyah yang bangga dengan kemampuan puisi mereka dengan menyatakan:”katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain (QS. Al-Isra’, 17:88).

    Ibnu Ishaq (150 h/767 m) menyatakan orang-orang Quraisy menganggap Quran adalah sesuatu yang sangat asing dengan budaya mereka. Ibnu Ishaq meriwayatkan:”maka dia (Al-nadzr Ibnu Harits) mengatakan wahai orang-orang Quraiys, demi Tuhan, sesungguhnya dia telah menurunkan kepadamu suatu perkara yang tidak datang kepadamu trik sebagai berikut, Muhammad adalah anak muda yang paling luwes, paling benar dalam budi bicara, paling tinggi kejujurannya di antara kamu, seandainya pun rambutnya beruban, dan dia membawa kepadamu apa yang ada padamu, maka kamu mengatakan (Muhammad) adalah penyihir (sahir). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang penyhir karena kita telah melihat komat-kamit dan mantera sihir. Maka kamu mengatkan ia adalah seorang tukang tenun (kahin). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang tukang tenun karena kita telah melihat gemetaran dan telah mendengar prosa dalam tenun. Maka kamu mengatkan ia adalah penyair (syair). Tidak, demi Tuhan, dia bukan penyair. Kita telah melihat syair dan telah mendengar segala jenis-jenisnya: bait dan ukurannya. Maka kamu mengatakan dia adalah orang gila (majnun). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang yang gila. Kita telah melihat orang gila sedangkan ia tidak berkurung, terganggu dengan ketidakwarsan. Wahai orang-orang Quraisy, lihatlah keadaanmu. Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu suatu nperkara yang besar (amr adhim).

    Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan menentang serta menggubah budaya yang ada. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya Arab jahiliyah. Namun kebudayaan jahiliyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw adalah produk dari al-Quran, bukan sebaliknya.
    Al-Quran juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagimana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut Al-Attas, bahasa Arab Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa kata pada saat itu, telah diislamkan maknanya. Al-Quran mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantik dan kata-kata. Khusunya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup islam. Al-quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab., seperti kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah) dan persaudaraan (ikhwah). Kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karim) termasuk kata-kata yang penting dalam pandangan hidup jahiliyyah.

    Kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelekian. Al-Quran mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, yaitu berupa bentuk ketakwaan (taqwa). Al-Quran menyebutkan:”sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa.” Lebih lanjut, orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (word or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. Al-Quran menghasilkan perubahan semantic yang mendasar ketika kemuliaan diasosiasikan degan kitab suci Quran ‘kitab karim’ atau dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qaul karim).

    Jika al-Quran merupakan produk teks bahasa biasa maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah Ibnu Abbas tidak mengetahui makna fathir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim. Sealin itu al-Quran memuat berbagai macam dialek bahasa Arab. Abu Bakr al-Wasitiyy menyebutkan lima puluh ragam dialek bahasa Arab di dalam al-Quran. Al-Suyuti menyebutkan berbagai kosakata asing dalam al-Quran seperti kosa kata Persia, Romawi, Nabatian, Etiopia Barbar, Syiriak, Ibrani, Koptik dan lain-lain. selain itu terdapat juga al -ahruf al-muqathaah di dalam Quran yang semuanya tidak sesuai dengan perkembangan budaya sastra Arab pada saat itu. Jadi, al-Quran bukan produk budaya sastra Arab. Ia adalah “budaya” baru. (istilah budaya sebenarnya tidak begitu sesuai digunakan untuk Quran, karena budaya mengandung makna hasil kreasi manusia, padahal Quran adalah wahyu dari Allah).

    Jika al-Quran teks bahasa biasa, maka logikanya Rasulullah saw ahli di bidang tulisan dan bacaan, yang karena keahliannya itu bisa membawa perubahan sangat mendasar pada masyarakat Arab waktu itu. Padahal, Rasulullah saw itu Ummi kepada umatnya pada abad ke tujuh Masehi, namun ini tak serta merta mengindikasikan bahwa al-Quran terbentuk dalam situasi dan budya yang ada pada abad ke-7 m. al-Quran melampaui historisitasnya sendiri karena al-Quran dan ajarannya adalah trans histories. Kebenarannya sepanjang zaman.

    Al-Qurab juga bukan teks manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan kata-kata Muhammad. Allah befirman yang artinya” seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar kami potong urat tali jantung. Allah juga berfirman yang artinya:”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

    Selain itu, pendapat Nasr Hamid yang mengenyampingan keimanan seseorang untuk mengkaji Quran tidaklah tepat. Di antara syarat para mufassir adalah berkaitan dengan kebergamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan ahklak Islam. Al-Thabari, mislanya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan!(min syartihi sihhat al I’tiqad wa luzum sunnah al-din. Fainna man kaana mag-musan alayhi fi dinihi, la yu’taamana ala al-dunya, fakaifa ala al-din,!) . Senada dengan Attabari, al-Suyuti mengatakan bahwa sikap sombng, cenderung kepada bidah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.

    Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Quran sangat penting bagi seorang mufassir Quran. Ini disebabkan status Quran tidaklah sama dengan teks-teks yang lain. Quran bersumber dari Allah. Sembarang metodologi tidak bisa begitu saja diterapkan kepada al-Quran. Metodologi sekular akan menggiring kepada kesimpulan yang sekuler.

    Selain itu, hermenutika Nasr Hamid akan membawa kepada konsep bahwa tafsir itu relative, padahal para mufasir terkemuka sepakat dalam berbagai perkara. Tidak ada seorangpun mufassir Muslim terkemuka dari 1400 tahun yang lalu hingga sekarang, berpendapat bahwa Nabi Isa as. mati di tiang Salib dan Wanita muslimah boleh nikah dengan laki-laki kafir. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relatif adalah sebuah kekeliruan, sekalipun terdapat ribuan buku tafsir.

    Ilmu tafsir yang telah diformulasikan oleh para ulama yang berwibawa telah mengakar dalam tradisi islam. Ilmu tafsir itu muncul karena bahasa al-Quran memiliki struktur. Ilmu tafsir tidak sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen, atau ilmu interpretasi kitab suci yang lain dari agama dan budaya apapun.

    DAFTAR PUSTAKA
    Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta, Rineka Cipta, September, cet-1, 2003
    Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum al-Nas; Dirasah fi Ulum al-qur’an, edisi-II
    — — — — dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam
    Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut, sDar al-Kitab al-Arabiy, 2003
    Arif, Syamsuddin, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg,” al-Insan 1 (2005)
    Arkoun, Mohammed, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London, Saqi Books, 2002
    — — — — , Min Faysal Al-tariqah ila Fasl al-Maqal: Ayna huwa al-Fikr al-Islami al_Mu’asir, Beirut: Dar al-Saqi, edisi kedua, 1995
    Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalm Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani Press, cet-12005
    Arthur Jeffery, The Qur’ani as Scripture, New York, Russell F. Moore Companya, 1952
    de Saussure, Ferdinand, Penngantar linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1996
    Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, Jild. 1 2004
    Islamia (Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam), vol. III No. 2, dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Memahami Barat
    Nur Ichwan, Moch., Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: teori Hermenuetika Al-Qur’an, Jakarta, Teraju, 2003
    Tashwirul Afkar Jurnal refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, edisi no. 22 Tahun 2007
    http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm

    more
  • JARIMAH Oleh : Abd. Qadir

    BAB I
    PENDAHULUAN

    Hukum Pidana Islam merupakan salah satu bagian dari syari`at islam yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Dalam hukum ini terdapat beberapa anggapan, diantaranya adanya anggapan yang mengatakan hkum ini tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman modern dikarenakan hukuman ini diangap hanya berlaku pada zaman Rasul, anggapan ini sebenarnya dipengahuri oleh pemikiran orientalis berat pada umumnya, yang mengatakan hukum pidana islam itu hukum yang kejam, tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia dan sebagainya. Kalau kita teliti seksama, tidak ada satupun hukum pidana di dunia ini yang tidak merampas hak asasi manusia.

    Dalam koflik inilah, penulisan mengungkapkan macam-macam hukum pidana islam tersebut seperti gabungan hukuman yang mana hukuman itu terlihat sangat berat karena terdapat beberapa tindakan pidana yang dilakukan seseorang secara berturut-turut sebelum adanya keputusan. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama`, sehingga menimbulkan perbedaan hukuman antara sebelum adanya keputusan. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama`, sehingga menimbulkan perbedaan hukuman antaraa sebelum adanya keputusan. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama`, sehingga menimbulkan perbedaan hukuman antara satu dengan yang lainnya.

    BAB II
    PEMBAHASAN


    a. Pengertian Gabungan Hukuman
    Menurut kamus bahasa indonesia karangan s. Wojo Wasito hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan. ( kesalahan dosa) dalam bahasa arab disebut iqab dan uqubah.
    Sedangka Abdul Qadir Audah memberi definisi hukuman sebagai berikut :
    العقوبة هي الجزاء المقر رالمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
    Artinya :
    Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.

    Jadi gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.

    b. Macam-macam Gabungan Hukuman
    1. Gabungan anggapan (concurcus idealis)
    Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya hanya berbuat satu jarimah.
    Contoh :
    Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.

    2. Gabungan nyata (concurcus realis)
    Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan jelas atau berbeda.
    Contoh :
    Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah sebelulm dijatuhi hukuman sualaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.

    c. Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
    1. Teori saling memasuki atau melengkapi
    Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangan.
    a. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
    Contoh :
    Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.
    b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari bermacam – macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
    Contoh :
    Ali sobri memakan daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
    2. Teori penyerapan
    Yang dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
    Contoh :
    Syaikhon adim dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap oleh hukuman mati.
    Teori penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
    Contoh :
    Hak adami seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
    Hal Allah seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.

    Sekalipun dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu yang dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada prinsipnya ialah demi kemaslahatan manusia.

    BAB III
    KESIMPULAN

    Dalam islam mempunyai berbagai macam halaman, salah satunya gabungan hukuman yang artinya serangkai saksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar telah melakukan tidakan pidana secara berulang-ulang diantara perbuatan perbuatannya tersebut antara yang satu dengan yang lain belum ada keputusan.
    Dalam gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha diantaranya pendapat imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan apabila gabungan hukuman itu berupa hukuman mati, maka dengan sendirinya jarimah-jarimah yang telah di lakukannya terhadapus, berbeda dengan pendapat imam syafi`I yang mengemukakan semua jarimah di hukum satu – persatu. Dan cara pelaksanaan hukumannya didahulukan hak adami kemudian baru hak Allah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Rahmatr Hakim, Hukum Pidana Islam (Bandung : Pusataka setia, 2000 )
    Abd. Al-Qadir Awdah, at-Tasyri…….II
    Mahrus Munajad, Dekontruksi Hukum Pidana Islam (Djogjakarta : Logung Pustaka, 2004)
    Djazuli, Fiqih Jarimah (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2007)
    Ahmad Ali al-Jjurjawi, Hikmah al-tasyri` wa Falsafatubu, (kairo: al-Maktabahalhalabs, (t)
    Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta : bulan bintang, 1968)

    more
  • UTANG PIUTANG BAB I
    PENDAHULUAN


    Berbicara hukum yang teleh diatur dalam bab 19 bagian 1 tentang piutang-piutang yang diistimewakan, yakni suatu hak istemewa yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga ditingkatkan lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Sedangkan pand (gadai) dan hipotek adalah lebih tinggi dari pada hak istemewa itu, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.

    Sebenarnya, Privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand atau hipotek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena Privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan suatu kekuasaan terhadap suatu benda yang mana sebuah istilah umum yaitu, bahwa seorang debitur bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan baik yang sekarang sudah ada, maupun yang masih akan ada dikemudian hari, untuk perutangan-perutangannya.

    BAB II
    PEMBAHASAN


    1.1 Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (Privilege)
    Menurut pasal 1131 KUHPerdata., semua benda dari seseorang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya, dan menurut pasal 1132 bahwa pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi diantara para penagih menurut penimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jika diantara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulukan dari pada penagih-penagih lainnya.

    Pasal 1133 menyatakan bahwa mereka ini ialah penagih-penagih yang mempunyai hak-hak yang timbul dari “privilege”, pand atau hipotek.
    Privilege menurut pasal 1134 yaitu adalah suatu hak istemewa yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga ditingkatkan lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Sedangkan pand (gadai) dan hipotek adalah lebih tinggi dari pada hak istemewa itu, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.

    Selanjutnya mengenai privilege menurut Sri Soedawi, bahwa dalam privilege ada matigingsrecht dari pada hakim. Yaitu adanya kemajuan dari pada hakim untuk untuk mentukan jumlah yang sepatutnya, mengurangi sampai jumlah yang pantas, mengingat kepentingan kedua belah pihak, menjaga agar kedua belah pihak tidak bertindak semaunya sendiri untuk mencari keuntungan.

    Pand dan hipotek tidak pernah bertentangan satu sama yang lain, karena pand hanya dapat diberikan atas barang-barang yang bergerak, sedangkan hipotek sebaliknya hanya mungkin atas benda-benda yang tak bergerak.

    Meskipun Privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand atau hipotek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena Privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan suatu kekuasaan terhadap suatu benda yang mana sebuah istilah umum yaitu, bahwa seorang debitur bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan baik yang sekarang sudah ada, maupun yang masih akan ada dikemudian hari, untuk perutangan-perutangannya.

    Perbedaan pokok antara hak kebendaan dan privilege adalah, bahwa hak kebendaan itu adalah hak atas suatu benda, sedangkan privilege adalah hak terhadap benda yaitu terhadap benda debitur.

    Penghukuman untuk melakukan pembayaran karena itu senantiasa dapat dibebankan pada kekayaan milik debitur, bahkan hanya dapat dibebankan atas kekayaan tersebut saja.
    Jadi, disini halnya mengenai ketentuan-ketentuan tentang yang dapat disebut “hukum eksekusi materiil”, kreditur dapat melakukan eksekusi atas segala barang-barang yang dimiliki oleh debitur dengan jalan bagaimana hal itu dilakukan, hal itu diatur dalam buku ke dua Rv. Title-titel II, III dan IV dalam hasil penjualan adalah cukup (guna melunasi hutangnya), disitu akan tiada kesulitan dan kreditur akan menerima apa yang menjadi haknya dari hasi penjulan tersebut. Dalam pada itu, apabila hasil tidak mencukupi, itu lantas dikurangkan dari piutangnya dan selanjutnya kreditur tetap akan mempunyai piutang untuk jumlah selebihnya.

    Pada ekskusi oleh beberapa orang kreditur belakulah azaz (sebagaimana tertera dalam pasal 1178), bahwa, apabila hasil dari barang-barang yang diekskusi tidaklah cukup, hasil itu lantas dibagi menurut pertimbangan piutang masing-masing, sekedar tidak ada hak dilebih dahulukan.

    1.2. Piutang-piutang yang diistemewakan dalam arti sempit
    Pengistemewaan dalam arti sempit ini telah dijelaskan pada pasal 1180, yaitu: tak sah adalah suatu pembukuan hipotik yang dilakukan pada suatu saat dimana, oleh karena milik atas bendanya telah berpindah kepada seorang pihak ketiga, siberhutang telah kehilangan hakmiliknya. Jadi hal itu tidak dapat diadakan dengan jalan perjanjian dan perjanjian-perjajian yang disitu diluar undang-undang dinamakan privilege.

    Kreditur-kreditur yang mempunyai piutang-piutang yang diistemewakan disebut kreditur-kreditur yang diistemewakan atau kreditur-kreditur yang perferen, berlawanan dengan kreditur-kreditur yang konkuren. Pengistemewaan menurut undang-undang memperoleh dasarnya didalam pertimbangan keadilan. Diambil dari sifat hutang-hutangnya privilege, demikian Hoge Raad (ares 15 juni 1917), adalah bukan bagian dari hak yang ditentukan menurut kehendak sendiri dengan jalan mengadakan perjanjian antara pihak tetapi itu. Adalah suatu akibat hukum yang diletakkan oleh undang-undang untuk kepentingan umum pada perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak terhadap hak-hak, hal mana yang diperkenankan terhadap pihak-pihak ketiga.

    1.3. Macam piutang-piutang yang diberikan privilege
    Menurut undang-undang ada dua macam privilege. Pertama, yang diberikan terhadap suatu benda tertentu (pasal 1139 KUHPer). Kedua, yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang (pasal 1149 KUHPer). Privilege semacam yang pertama itu, mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang.

    a. Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap barang-barang tertentu ialah :
    1. Biaya-biaya perkara yang teleh dikelurkan untuk penyitaan dan penjualan suatu benda atau yang dinamakan biaya-biaya ekskusi; harus diambil dahulukan dari pada privilege lain-lainya, bahkan terlebih dahulu pula dari pada pand dan pypotheek.
    2. Uang-uang sewa dari benda-benda yang tak bergerak (rumah atau persil) beserta ongkos-ongkos perbaikan yang telah dilakukan si pemilik rumah atau persil, tetapi seharusnya dipikul oleh si penyewa, penagihan uang sewa dan ongkos perbaikan ini mempunyai privilege terhadap barang-barang perabor rumah (meubilair) yang berada dalam rumah atau diatas persil tersebut.
    3. Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh sipembeli jikalau disita, sipenjual barang mendapat privilege atas hasil penjualan barang itu.
    4. biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat diambilkan telebih dahulu dari hasil penjualan benda tersebut, apabila benda itu di sita dan dijual.
    5. Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar, sipembikin barang ini mendapat privilege atas pendapatan penjualan barang itu, apabila barang itu disita dan dijual.

    b. Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap semua kekeyaan orang yang berhutang, ialah:
    1. Biaya ekskusi dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan kekayaan yang telah disita itu.
    2. Ongkos penguburang dan ongkos pengobatan sakit yang mengakibatkan matinya orang yang berhutang.
    3. Penagihan-penagihan karena pembelian bahan-bahan makanan untuk keperluan orang yang berhutang beserta kelurganya, selama enam bulan yang paling akhir.
    4. penagihan-penagihan dan “kostschuo lhouders” untuk tahun yang terakhir.

    1.4. Hak-hak istemewa yang ada pada pajak dan lain yang timbul dari dalam hukum public.
    Diantara hak-hak istemewa yang kedudukannya penting ialah hak-hak istimewa yang kedudukannya penting ialah hak-hak istimewa dari perbendaharaan kerajaan, didalam mana terutama termasuk hak-hak istemewa pajak, itu tidak dapat dalam berbagai undang-undang pajak. Dan undang-undang tersebut yang penting kita ikhtisarkan sekedarnya.
    Berbagai undang-undang dimana hak-hak istimewa (atau: privilege, hak utama) telah ditanamkan untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan diantaralain sebagai berikut:
    1. Undang-undang 1845 atas pemungutan pajak-pajak kerajaan yang langsug. Undang-undang yang (di Nederland! red), sangat terkenal ini memberikan dalam pasal 12 kepada negera suatu hak istimewa bagi pajak-tanah dan bagi pajak-pajak lansugn selebihnya.
    2. Yang disebut undang-undang umum tahun 1822 memberikan dalam pasal 290 kepada penerima cukai (=accijns) atau hak istimewa, hal mana menurut hoge raad (23 Maret 1931) bersama-sama dengan hak istimewa yang disebut dalam sub 1 mempunyai derajat yang sama.
    3. Undang-undang “successie” memberikan kepada Negara hak istimewa atas semua benda bergerak dan tak bergerak yang diwaris atau diberoleh karena meninggalnya seseorang.
    4. Yang disebut undang-undang kewenangan tahun 1920 mengatur wewenang subak-subak (daerah pengairan) dan sebagainya untuk membuat peraturan-peraturan dan memberikan kepada badan-badan itu suatu hak istimewa bagi bagian-bagian yang harus dipikul dan beban-beban lain (p. 25 dan 25a)
    5. Undang-undang invaliditas (“invaliditeit” = cacat badan) (p. 210) menyatakan piutang dari bank pertanggungan kerajaan sebagai piutang yang ber-hak-istemewa.

    1.5. Hak istemewa orang yang menyewakan.
    Menurut pasal 1185 sub 2 orang yang menyewakan (dipersamakan dengan orang yang menyewakan ialah orang yang memberikan hak usaha). Adalah berhak istemewa untuk semua apa saja yang harus ia pungut berupa uang sewa, biaya-biaya perbaikan yang wajib dilakukan oleh penyewa dan semua apa selebihnya yang behubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa.

    Berdasarkan kata-kata penutup dari pasal 1186 ayat 1 tidaklah penting apakah benda-benda adalah milik si penyewa ataupun bukan. Hak istimewa itu dengan demikian adalah agak aneh, yaitu, bahwa hak itu juga mengenai benda-benda pihak ketiga dimana dalam pada itu dapat saja diterima, bahwa benda-benda yang hilang atau dicuri dari tangan pemiliknya benda-benda mana ada diantara barang-barang yang berikat pada orang-orang yang menyewakan-tetap menikmati perlindungan pasal 2014 ayat terakhir selam 3 tahun. Maksud perluasan hak istimewa sampai kebarang-barang orang-orang ketiga ialah, agar dapat menggagalkan kongkalikong antara penyewa dan pihak ketiga untuk mengurangi hak-hak dari orang yang menyewakan, suatu keadaan yang tidak terdapat ada terhadap barang-barang yang hilang atau yang dicuri.

    1.6. Biaya exekusi
    Golongan pertama dalam pasal 1185 mengenai biaya-biaya yang timbul karena penghukuman untuk melelang suatu benda. (disingkat: biaya-biaya ekskusi), yang pada umumnya memperboleh urutang yang lebih tinggi. Hal itu atas dasar, bahwa “uitwinning”, hal mana dimaksudkan pensitaan dan/atau penjualan dengan paksa sesuatu benda untuk melunasi suatu piutang, seringkali (uitwinning tersebut! Red.) maksud untuk tidak kehilangan sesuatu benda yang menjadi sasaran pertanggungan jawab, juga untuk kepentingan kreditur-kreditur yang lain-lain. Sebab, dengan tindakan dari kreditur yang menuntut dicegahlah, bahwa debitur memindah tangankan bendanya sendiri dan menghindarkan diri dari pengeksekusian oleh pengadilan. Privilege tersebut mempunyai urutan yang tinggi, sebab itu kedudukannya ada diatas gadai dan hipotik, juga di atas hak-hak istemewa mengenai per-pajak-an. Perlu diperjelas lagi bahwa hak-hak istemewa yang menurut KUHPerdata tertanam atas benda-benda tertentu.

    BAB III
    KESIMPULAN


    Menurut pasal 1131 KUHPerdata., semua benda dari seseorang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya, dan menurut pasal 1132 bahwa pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi diantara para penagih menurut penimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jika diantara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulukan dari pada penagih-penagih lainnya.

    Menurut undang-undang dua macam privilege :
    1. Privilege yang diberikan terhadap suatu benda tertentu (pasal 1139 KUHPer).
    2. Privilege yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang (pasal 1149 KUHPer).

    DAFRTA PUSTAKA

    Tutik triwulan tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), 168
    Sri Soedewi Masjchen sofwan, hukum perdata hukum benda, (Yogyakarta: Liberty)
    H.F.A. Vollmar pengantar studi hukum perdata jlid 1 (Jakarta: CV. Rajawali, 1983)
    Subekti, Tjitrosudibio Kitab undang-undang hukum perdata (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,2006)
    Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003)

    more
  • BANK SPERMA MENURUT HUKUM ISLAM

    Oleh : Makmum Anshory

    BAB I
    PENDAHULUAN


    A. Latar Belakang Masalah
    Perkawinan yang merupakan suatu hubungan yang menimbulkan akibat hukum seperti mempunyai tanggung jawan antara suami isteri, memberi nafkah kepada sang isteri, warisan apabila telah meninggal dunia. Keturunan atau anak adalah suatu yang sangat diidam-idamkan dalam perkawinan, perkawinan tanpa adanya seorang buah hati seakan-akan tidak ada artinya, karena salah satu dari tujuan perkawinan adalah memperoleh keturunan.

    Berdampak dari mungkin terjadinya hal seperti itu maka dengan kemajuan tegnologi dalam bidang kedokteran membentuk bank pserma sehingga orang dapat hanya membelinya saja untuk mempunyai anak dengan cara inseminasi buatan yang diambil dari para pedonor dengan dengan menafikan adanya hubungan perkawinan atau tidak, hal ini akan menjadi kerancuan pada status dan nasab anak tersebut. Sedangkan hukum islam sendiri pada masa lalu tidak mengenal apa itu bank sperma dan inseminasi buatan, maka dari itu demi kemaslahatan dan menegakkan hukum perkawinan dalam dunia islam ini tidak hanya cukup disini saja tapi juga harus berkembang mengikuti perkembangan zaman pula. Oleh karena itu hal ini menarik menurut pemakalah menarik untuk dibahas serta menganalis dengan beberapa sumber-sumber hukum islam yang ada dan juga metode ushulfiqhiyah sehingga kita dapat mengetahuinya.

    B. Rumusan masalah
    1. Apa saja latarbelakang munculnya bank sperma.?
    2. Apa hubungan bank sperma dan perkawinan.?
    3. Bagaimana pendapat para ulama tentang bank sperma dan hukum adanya bank sperma menurut hukum islam.?


    BAB II
    PEMBAHASAN

    A. Pengertian bank sperma
    Bank sperma adalah pengambilan sperma dari donor sperma lalu di bekukan dan disimpan ke dalam larutan nitrogen cair untuk mempertahankan fertilitas sperma. Dalam bahasa medis bisa disebut juga Cryiobanking. cryiobanking adalah suatu teknik penyimpanan sel cryopreserved untuk digunakan di kemudian hari. Pada dasarnya, semua sel dalam tubuh manusia dapat disimpan dengan menggunakan teknik dan alat tertentu sehingga dapat bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu.

    Hal ini dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah. Teknik yang paling sering digunakan dan terbukti berhasil saat ini adalah metode Controlled Rate Freezing, dengan menggunakan gliserol dan egg yolk sebagai cryoprotectant untuk mempertahankan integritas membran sel selama proses pendinginan dan pencairan. Teknik cryobanking terhadap sperma manusia telah memungkinkan adanya keberadaan donor semen, terutama untuk pasangan-pasangan infertil. Tentu saja, semen-semen yang akan didonorkan perlu menjalani serangkaian pemeriksaan, baik dari segi kualitas sperma maupun dari segi pendonor seperti adanya kelainan-kelainan genetik.

    Dengan adanya cryobanking ini, semen dapat disimpan dalam jangka waktu lama, bahkan lebih dari 6 bulan (dengan tes berkala terhadap HIV dan penyakit menular seksual lainnya selama penyimpanan). Kualitas sperma yang telah disimpan dalam bank sperma juga sama dengan sperma yang baru, sehingga memungkinkan untuk proses ovulasi.
    Selain digunakan untuk sperma-sperma yang berasal dari donor, bank sperma juga dapat dipergunakan oleh para suami yang produksi spermanya sedikit atau bahkan akan terganggu. Hal ini dimungkinkan karena derajat cryosurvival dari sperma yang disimpan tidak ditentukan oleh kualitas sperma melainkan lebih pada proses penyimpanannya.

    Telah disebutkan diatas, bank sperma dapat dipergunakan oleh mereka yang produksi spermanya akan terganggu. Maksudnya adalah pada mereka yang akan menjalani vasektomi atau tindakan medis lain yang dapat menurunkan fungsi reproduksi seseorang. Dengan bank sperma, semen dapat dibekukan dan disimpan sebelum vasektomi untuk mempertahankan fertilitas sperma.

    Bank sperma sebenarnya talah berdiri beberapa tahun yang lalu, pada tahun 1980 di Escondido California yang didirikan oleh Robert Graham, si kakek berumur 73 tahun, juga di Eropah, Dan di Guangdong Selatan China, yang merupakan satu di antara lima bank sperma besar di China, Sementara itu, Bank pusat sel embrio di Shanghai, bank besar lain dari lima bank besar di China, meluncurkan layanan baru yang mendorong kaum lelaki untuk menabung spermanya, demikian laporan kantor berita Xinhua. Bank tersebut menawarkan layanan penyimpanan sperma bagi kaum lelaki muda yang tidak berencana untuk punya keturunan, namun mereka takut kalau nanti mereka tidak akan menghasilkan semen yang cukup secara jumlah dan kualitas, ketika mereka berencana untuk memiliki keluarga.

    Latar belakang munculnya bank sperma antara lain adalah sebagai berikut :
    1. Keinginan memperoleh atau menolong untuk memperoleh keturunan pada seorang pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak.
    2. Memperoleh generasi jenius atau orang super
    3. Menghindarkan kepunahan manusia
    4. Memilih suatu jenis kelamin
    5. Mengembangkan kemajuan teknologi terutama dalam bidang kedokteran.

    Menurut Werner (2008), Beberapa alasan seseorang akhirnya memutuskan untuk menyimpan spermanya pada cryobanking, antara lain:
    1. Seseorang akan menjalani beberapa pengobatan terus menerus yang dapat mengurangi produksi dan kualitas sperma. Beberapa contoh obat tersebut adalah sulfasalazine, methotrexate.
    2. Seseorang memiliki kondisi medis yang dapat mempengaruhi kemampuan orang tersebut untuk ejakulasi (misal: sklerosis multipel, diabetes).
    3. Seseorang akan menjalani perawatan penyakit kanker yang mungkin akan mengurangi atau merusak produksi dan kualitas sperma (misal: kemoterapi, radiasi).
    4. Seseorang akan memasuki daerah kerja yang berbahaya yang memungkinkan orang tersebut terpapar racun reproduktif.
    5. Seseorang akan menjalani beberapa prosedur yang dapat mempengaruhi kondisi testis, prostat, atau kemampuan ejakulasinya (misal: operasi usus besar, pembedahan nodus limpha, operasi prostat).
    6. Seseorang akan menjalani vasektomi.
    Adapun beberapa salah satu Tujuan diadakan bank sperma adalah semata-mata untuk membantu pasangan suami isteri yang sulit memperoleh keturunan dan menghindarkan dari kepunahan sama halnya dengan latarbelakang munculnya bank sperma seperti yang telah dijelaskan diatas.

    Tentang proses pelaksanaan sperma yang akan di ambil atau di beli dari bank sperma untuk dimasukkan ke dalam alat kelamin perempun (ovum) agar bisa hamil disebut dengan inseminasi buatan yaitu suatu cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan. Pertama setelah sel telur dan sperma di dapat atau telah di beli dari bank sperma yang telah dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan kedalam rahim. Untuk menghindari kemungkinan kegagalan, penenaman bibit biasanya lebih dari satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang.

    B. Hubungan Bank Sperma Dan Perkawinan
    Perkahwinan di dalam Islam merupakan suatu institusi yang mulia. Ia adalah ikatan yang menghubungkan seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hasil dari akad yang berlaku, kedua-dua suami dan isteri mempunyai hubungan yang sah dan kemaluan keduanya adalah halal untuk satu sama lain. Sebab itulah akad perkahwinan ini dikatakan sebagai satu akad untuk menghalalkan persetubuhan di antara seorang lelaki dengan wanita, yang sebelumnya diharamkan. Q.S. Al Hujuraat : 13 :

    Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

    Q.S Al Qiyaamah : 39:
    Lalu allah menjadikan dari padanya sepasang : laki-laki dan perempuan.

    Namun, hubungan perkawinan yang wujud ini bukanlah semata-mata untuk mendapatkan kepuasan seks, tetapi merupakan satu kedudukan untuk melestarikan keturunan manusia secara sah.
    Agar terciptanya rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan pentunjuk agar sebelum perkawinan memilih calon yang baik. Diantara kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga adalah hadirnya anak seperti yang didambakan sebagai generasi penerus dari keluarganya.

    Oleh sebab itu, mana-mana anak yang dilahirkan hasil dari perkahwinan yang sah adalah anak sah baik menurut syara` atau hukum positif di indonesia. Anak tersebut dikatakan mempunyai nasab yang sah dari segi hukum syara’, berbeda dengan anak zina yang tidak boleh dihubungkan dengan mana-mana nasab. Islam memandang penting akan hubungan perkawinan atau persetubuhan sah ini kerana ia melibatkan banyak lagi hukum lain yang muncul darinya seperti nasab, waris, harta pusaka dan sebagainya.
    Kehadiran bank sperma menjadikan pengaruh yang sangat bersar terhadap seorang suami isteri atau juga pada seorang gadis yang tidak mau kawin tapi pingin punya anak hal itu tidak asing lagi itu bisa terjadi dengan kemajuan tegnologi sekarang ini seperti adanya bank sperma tinggal beli aja lalu di suntikkan kedalam alat kelaimin perempaun di dalam rahimnya yang akan bergabung dengan ovum baru bisa hamil.

    Seperti yang di lakukan oleh Nona Afton Blake. IQ-nya 130+ belum kawin yang melahirkan anak bernama Doron Blake, disebut bayi ajaib sebelum berumur dua tahun, ia sudah lancar berbicara. Ketika pas berusia dua tahun, majalah Newsweek memuat gambarnya sedang bermain piano. Bahkan dia juga sudah menguasai satu alat musik modern kegemarannya, Electronic Music Synthesizer. Dia lahir berkat jasa "Bank Sperma Nobel" -nama populer sebuah badan yang sebenarnya bernama Repository for Germinal Choise. Ayahnya adalah sperma dengan kode nomor 28, berasal dari seorang jenius di bidang komputer dan musik klasik.

    Tapi tidak semudah itu untuk malakukannya islam sendiri telah memberi peraturan dan penjelasan yang tegas seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa antara kaum laki-laki dan perempaun dijadikan berbeda-beda untuk saling berpasang-pasangan, oleh karena itu maka adanya anjuran untuk kawin sekaligus hubungannya dengan perkawinan.
    Dalam sebuah perkawinan seseorang yang telah lama berumah tangga bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya tetapi tidak mempunyai buah hati rasanya perkawinan tidak ada artinya dan hampa rasanya sekaligus tidak punya generasi penerus dan keturunanya, karena perkawinan tersebut selain untuk memenuhi kepuasan sex dan kehalalan untuk behubungan badan antara seorang laki-laki dan wanita juga untuk berkembang biak yakni mempunyai keturunan. oleh karenya banyak alternatif yang akan di pilih seperti : 1. menyerah kepada nasib, 2. adopsi, 3. cerai, 4. poligami, 5. inseminasi buatan dengan membeli spema di bank sperma. Alternatif yang terakhir ini merupakan permasalahan yang sangat besar bagi penentuan hukum islam terutama dalam hal perkawinan dan harus di tanggapi serius mengingat pesatnya kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran.

    Selanjutnya ditegaskan bahwa perkembangan teknologi biologi dewasa ini pelaksanaannya tak terkendali dan teknik-teknik semacam ini dapat menuju ke konsekuensi merusak yang tak terbayangkan bagi masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan, "Apa yang secara teknik mungkin, bukan berarti secara moral dibolehkan". Seperti halnya inseminasi buatan dengan donor yang dibeli dari bank sperma pada hakikatnya merendahkan hakikat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi, padahal manusia itu tidak sama dengan makhluk alinnya seperti yang dijelaskan dalam Q.S. At-Tin Ayat 4 :
    Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

    Jadi kita telah diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya tidak seperti binatang dan lain sebagainya, oleh karena itu untuk memperoleh keturunan juga telah di wajibkan dengan jalan perkawinan yang menghalalkan persetubuhan tidak sama halnya dengan binatang yang selalu melalakukan persetubuhan dimana saja dan kapanpun tanpa adanya ikatan perkawinan yang mengikat.

    C. Hukum Bank Sperma Dan Pendapat Para Ulama
    Berdasarkan pengalaman yang kita tahu yang namanya bank adalah mengumpulkan dan di tabung apabila berupa uang tetapi dalam hal ini berbeda yang di kumpulakan bukan lagi uang tetapi sperma dari pe-donor sebanyak mungkin, yang perlu dinyatakan untuk menentukan hukum ini pertama pada tahap pertama yaitu cara pengamabilan atau mengeluarkan sperma dari dari si pe-donor dengan cara masturbasi (onani). Program fertilisasi in vitro (FIV) fakultas kedokteran UI juga menyaratkan agar sperma untuk keperluan inseminasi buatan diambil atau dikeluarkan di rumah sakit. Jadi sama halnya cara mengeluarkan sperma di bank sperma.

    Persoalan dalam hukum islam adalah bagaimana hukum onani tersebut dalam kaitan dengan pelaksanaan pengumpulan sperma di bank sperma dan inseminasi buatan.? Secara umum islam memandang melakukan onani merupakan tergolong perbuatan yang tidak etis. Mengenai masalah hukum onani fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang mengharamkan pada suatu hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Malikiyah, Syafi`iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Allah SWT memerintah kan menjaga kemaluan dalam segala keadaan kecuali kepada isteri dan budak yang dimilikinya. Hanabilah berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumnya menjadi wajib, kaidah usul :
    ارتكاب اخف الضررين واجب

    Mengambil yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib

    Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka onani hukumnya haram. Ibnu hazim berpendapat bahwa onani hukumnya makruh, tidak berdosa tetapi tidak etis. Diantara yang memakruhkan onani itu juga Ibnu Umar dan Atha` bertolak belakang dengan pendapat Ibnu Abbas, hasan dan sebagian besar Tabi`in menghukumi Mubah. Al-Hasan justru mengatakan bahwa orang-orang islam dahulu melakukan onani pada masa peperangan. Mujahid juga mengatakan bahwa orang islam dahulu memberikan toleransi kepada para pemudanya melakukan onani. Hukumnya adalah mubah, baik buat laki-laki maupun perempuan. Ali Ahmad Al-Jurjawy dalam kitabnya Hikmat Al-Tasyri` Wa Falsafatuhu. Telah menjelaskan kemadharatan onani mengharamkan perbuatan ini, kecuali kalau karena kuatnya syahwat dan tidak sampai menimbulkan zina. Agaknya Yusuf Al-Qardhawy juga sependapat dengan Hanabilah mengenai hal ini, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibnu Muhammad Al-Husainy juga mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteri atau ammahnya karena itu memang tempat kesenangannya:
    لواستمني الرجل بيد امرأمته جاز لأنهامحل استمتاعه

    Seorang laki-laki dibolehkan mencari kenikmatan melalui tangan isteri atau hamba sahayanya karena di sanalah (salah satu) dari tempat kesenangannya.

    Tahapan yang kedua setelah bank sperma mengumpulkan sperma dari bebera pe-donor maka bank sperma akan menjualnya kepada pembeli dengan harga tergantung kwalitas spermanya setelah itu agar pembeli sperma dapat mempunyai anak maka harus melalui proses yang dinamakan enseminasi buatan yang telah dijelaskan diatas. Hukum dan penadapat inseminasi buatan menurut pendapat ulama` apabila sperma dari suami sendiri dan ovum dari istri sendiri kemudian disuntukkan kedalam vagina atau uterus istri, asal keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami isteri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidh hukum fiqh islam :

    الحاجة تنزل منزلة الضرورة والضرورة تبيح المحظورات
    Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukkan hal-hal yang terlarang.

    Diantara fuqaha yang memperbolehkan/menghalalkan inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari suami-isteri ialah Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Ahmad al-Ribashy, dan Zakaria Ahmad al-Barry. Secara organisasi, yang menghalalkan inseminasi buatan jenis ini Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara`a Depertemen Kesehatan RI, Mejelis Ulama` DKI jakarta, dan lembaga islam oki yang berpusat di jeddah.

    Untuk dari suami-isteri dan ditanamkan pada orang lain atau lain sebagainya selain hal yang diatas demi kehati-hatiannya maka ulama dalam kasus ini mengharamkannya. Diantaranya adalah Lembaga fiqih islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy dan zakaria ahmad al-Barry dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya percampuran nasab dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Hal ini sesuai dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung atau enseminasi buatan :

    Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
    MEMUTUSKAN
    Memfatwakan :

    1. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
    2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram beraasarkan kaidah Sadd az-zari'ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
    3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari'ah, sebab hal ini akan menimbulkan masala~ yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
    4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari'ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
    Jakarta, 13 Juni 1979

    DEWAN PIMPINAN
    MAJELIS ULAMA INDONESIA


    Dalam malah munculnya bank sperma ada juga yang berpendapat hal ini, Terdapat dua hukum yang perlu difahami di sini, pertama, hukum kewujudan bank sperma itu sendiri dan kedua, hukum menggunakan khidmat bank tersebut yakni mendapatkan sperma lelaki untuk disenyawakan dengan sel telur perempuan bagi mewujudkan satu kehamilan dengan cara enseminasi buatan. Pertama dari segi hukum kewujudan bank sperma itu sendiri, maka hal ini tidaklah dengan sendirinya menjadi satu keharaman, selama mana bank tersebut mematuhi Hukum Syara’ dari segi operasinya.

    Ini kerana dari segi hukum, boleh saja mana-mana suami menyimpan air mani mereka di dalam bank sperma hanya untuk isterinya apabila keadaan memerlukan, Namun begitu, sperma itu mestilah dihapuskan apabila si suami telah meninggal. Sperma tersebut juga mesti dihapuskan jika telah berlaku perceraian (talaq ba’in) di antara suami isteri. Di dalam kedua-dua kes ini (kematian suami dan talaq ba’in), jika (bekas) isteri tetap melakukan proses memasukkan sel yang telah disimpan itu ke dalam rahimnya, maka dia (termasuk doktor yang mengetahui dan membantu) telah melakukan keharaman dan wajib dikenakan ta’zir. kedua menggunakan khidmat bank sperma tersebut yakni mendapatkan sperma lelaki untuk disenyawakan dengan sel telur perempuan bagi mewujudkan satu kehamilan dengan cara enseminasi buatan hal ini juga sama seperti pendapat yang tela dijelaskan diatas yang dibolehkan hanya percampuran antara sperma suaminya sendiri dengan ovum isterinya sendiri.


    BAB III
    KESIMPULAN


    Permasalahan yang telah dibahas diatas merupakan fenomena yang ada dalam masalah perkwinan untuk membentuk keluarga, dalam hukum islam hal itu telah diatur, munculnya bank sperma antara lain karena untuk mewujudkan keturunan bagi para suami istri yang mandul atau tidak punya anak, menurut pendapat pemakalah dari mengingat dan menimbang beberapa penjelasan di atas kehadiran bank sperma tidak dibenarkan dalam hukum islam, meskipun ada beberapa yang membolehkan dengan alasan bank sperma mematuhi peraturan hukum syara` tapi kami bertolak belakang dari pendapat itu, hal itu memang mungkin tapi kalo di pikir lebih panjang lagi hal itu sangat sulit dilakukan dan lebih banyak madhorotnya (bahayanya), Pertama demi menjaga hubungan nasab agar tidak ada percampuran nasab, Kedua, percampuran sperma dan ovum antara seroang laki dan perempan (bukan suami istri) dengan persetubuhan atau percamuran dengan inseminasi buatan dihukumi zina, Ketiga, bisa saja orang punya anak dan tidak punya suami yang menjadikan seorang perempuan tidak mau kawin, Keempat, menurunnya jumlah perkawinan dalam dalam sebuah negera, Kelima, ketidak bolehan pada langkah yang pertama yang dilakukan bank sperma dalam mengambil sperma dari para pe-donor dengan cara onani seperti dijelaskan diatas, meskipun banyak ulama memperbolehkan hal itu karna kami berpedoman pada al-qur`an 24 An Nuur : 30 :

    Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".


    Menjelaskan mengeluarkan kemaluannya tidak boleh apalagi onani, hal ini halal hanya terhadap istrinya saja. Dan yang terakhir pada proses enseminasinya juga banyak perbedaan pendapat, penulis juga sepakat kebolehan itu hanya terhadap seroang suami istri yang telah terikat perkawinan bukan orang lain sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

    DAFTAR PUSTAKA

    • http://www.mail archive.com/satuxsatu@yahoogroups.com/msg00076.html
    • Werner, MichaelA., 2008. Cryobanking. Diperoleh dari :
    http://www.mazelabs.com/MLcryobanking.htm
    • Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor Chuzaimah. T. Yanggo, Hafiz Anshry, Buku Keempat, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus), 21
    • http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=10147
    • Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor Chuzaimah. T. Yanggo, Hafiz Anshry, Buku Keempat, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus), 21
    • Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung), 21
    • http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=78
    • http://gempurserkamdarat.blogspot.com/2007/08/bank-sperma-apakah-ukuran-sensitiviti.html

    more

Buka Semua Folder | Tutup Semua

Kamus Online

Komentar Terbaru